Di Tiduri Anak Kecil Saat Aku Tertidur Pulas

Di Tiduri Anak Kecil Saat Aku Tertidur Pulas

Di Tiduri
Di Tiduri Anak Kecil Saat Aku Tertidur Pulas

kenangan.xyz, Di Tiduri – Namaku Veronika. Aku adalah seorang ibu rumah tangga. Usiaku 42 tahun. Suamiku namanya Prasetyo, umur 47 tahun, seorang pegawai pemerintahan di kota B. Aku bahagia bersama dengan suami dan ke dua anakku. Suamiku seorang laki-laki yang gagah dan bertubuh besar, biasalah dulu dia seorang tentara. Penampilanku sendiri walau telah berumur tapi amat terawat karena saya rajin ke salon, fitnes dan yoga. Kata orang, saya mirip seperti Donna Harun. Tubuhku masih sanggup dikatakan langsing, walau payudaraku terhitung besar karena telah miliki anak 2.

Anakku yang pertama bernama Rika, seorang gadis remaja yang beranjak dewasa. Dia baru saja masuk ke PTN Favorit. Yang ke dua namanya Sangga, masih sekolah SMA kelas 2. Si Rika walau tinggal serumah bersama dengan kami tapi lebih kerap menghabiskan waktu di daerah kosnya di kawasan Gejayan. Kalau si Sangga, karena cowok remaja, lebih kerap berkumpul bersama dengan teman-temannya atau pun sibuk berkegiatan di sekolahnya.

Semenjak tidak lagi sibuk mengurusi anak-anak, kehidupan sex ku jadi tua justru jadi menjadi-jadi. Apalagi suamiku tak hanya bertubuh kekar, terhitung orang yang amat terbuka soal urusan sex. Akhir-akhir ini, sesudah anak-anak besar, kami berlangganan internet. Aku dan suamiku kerap browsing masalah-masalah sex, baik video, cerita, atau pun foto-foto. Segala macam style terkait badan kami lakukan.

Kami bercinta amat sering, sekurang-kurangnya seminggu 3 kali. Entah mengapa, semenjak kami kerap berseluncur di internet, gairah seksku jadi menggebu. Sebagai pejabat, suamiku kerap tidak ada di rumah, tapi terkecuali tepat di rumah, kami langsung main kuda-kudaan, hehehe.

Sudah lama kami memutuskan untuk tidak miliki anak lagi. Tapi saya amat was-was untuk gunakan spiral. Dulu saya dulu mencoba suntik dan pil KB. Tapi saat ini kami lebih kerap memanfaatkan kondom, atau lebih seringnya suamiku ‘keluar’ di luar. Biasanya di mukaku, di payudara, atau apalagi di dalam mulutku. Pokoknya kami amat hati-hati sehingga Sangga tidak miliki adik lagi. Dan tenang saja, suamiku amat jago mengendalikan muncratannya, jadi saya tidak kuatir dia muncrat di dalam rahimku.

Sebagai wanita berumur, tubuhku terhitung sintal dan seksi. Payudaraku memang telah agak melorot, tapi tentu saja wajar seperti itu karena ukurannya yang memang terhitung besar. Tapi yang jelas, bodiku masih semlohai karena saya masih miliki pinggang walapun pantatku terhitung besar. Aku sadar, terkecuali tubuhku masih senantiasa sanggup sebabkan para pria menelan air liurnya. Apalagi saya terhitung ibu-ibu yang bahagia memanfaatkan baju yang agak ketat. Sudah formalitas sih dari remaja. Apalagi saat ini susuku jadi besar.

Suamiku terhitung seorang pejabat yang baik. Dia ramah pada setiap orang. Di kampung dia terhitung aparat yang disukai oleh para tetangga. Apalagi suamiku terhitung banyak bergaul bersama dengan anak-anak muda kampung. Kalau tepat di rumah, suamiku kerap mengajak anak-anak muda untuk bermain dan bercakap-cakap di teras rumah.

Semenjak setahun yang lalu, di halaman depan rumah kami dibangun semacam gazebo untuk nongkrong para tetangga. Setelah belanja televisi baru, televisi lama kami taruh di gazebo itu sehingga para tetangga betah nongkrong di situ. Yang jelas, banyak bapak-bapak yang curi-curi pandang ke tubuhku terkecuali tepat saya bersih-bersih halaman atau ikutan nimbrung sebentar di daerah itu. Maklumlah, saya khan ibu-ibu yang semlohai, hehehe.

Selain bapak-bapak, ada terhitung pemuda dan remaja yang kerap bermain di rumah. Salah satunya karena gazebo itu terhitung dipergunakan sebagai perpustakaan untuk warga. Salah satu anak kampung yang paling kerap main ke rumah adalah Eki, yang masih SMP kelas 2. Dia anak tetangga kami yang berjarak 3 rumah dari daerah kami. Anaknya baik dan mudah tangan. Sama suamiku dia amat akrab, apalagi kerap membantu suamiku terkecuali lagi bersih-bersih rumah, atau membelikan kami sesuatu di warung. Sejak masih anak-anak, Eki dekat bersama dengan anak-anak kami, mereka kerap main karambol bareng di gazebo. Bahkan sering kadang Eki menginap di situ, karena terkecuali malam gazebo itu diberi penutup oleh suamiku, sehingga tidak terasa dingin.

Pada suatu malam, saya dan suamiku tengah bermesraan di kamar kami. Semenjak kerap lihat adegan blowjob di internet, saya jadi kecanduan mengulum kontol suamiku. Apalagi kontol suamiku adalah kontol yang paling gagah sedunia bagiku. Tidak kalah bersama dengan kontol-kontol yang biasa kulihat di BF. Padahal dulu waktu masih manten muda saya senantiasa menampik terkecuali diajak blowjob. Entah kenapa saat ini di umur yang telah lebih 42, saya justru tergila-gila mengulum batang suamiku. Bahkan saya sanggup orgasme hanya bersama dengan mengulum batang besar itu. Tiap nonton film blue pun mulutku serasa gatal. Kalau tepat tidak ada suamiku, saya senantiasa membawa pisang terkecuali nonton film-film gituan. Biasalah, sambil nonton sambil makan pisang, hehehe.

Malam itu pun saya bersama dengan rakus menjilati kontol suamiku. Bagi mas Prasetyo, mulutku adalah tempik keduanya. Dengan berseloroh, dia dulu bilang terkecuali memang dia mirip saja telah poligami, karena dia miliki dua lubang yang sama-sama hotnya untuk dimasuki. Ucapan itu ada benarnya, karena mulutku telah nyaris menyerupai tempik, baik dalam mengulum maupun dalam menyedot. Karena kami jauhi kehamilan, apalagi beberapa besar sperma suamiku masuk ke dalam mulutku.

Malam itu kami lupa terkecuali Eki tidur di gazebo depan. Seperti biasa, saya teriak-teriak pada waktu kontol suamiku mengaduk-aduk isikan memekku. Suamiku amat kuat. Malam itu saya telah berulang-kali orgasme, waktu suamiku masih segar bugar dan menggenjotku terus-menerus. Tiba-tiba kami tersentak saat kami mendengar suara berisik di jendela.

Segera suami mencabut batangnya dan mengakses jendela. Di luar terlihat Eki bersama dengan muka kaget dan gemetaran ketahuan mengintip kami. Suamiku terlihat marah dan melongokkan badannya terlihat jendela. Eki yang kaget dan kekuatiran meloncat ke belakang. Saking kagetnya, kakinya terantuk selokan kecil di teras rumah. Eki terjerembab dan terjungkal ke belakang. Suamiku tak jadi marah, tapi dia kesal juga.

“Walah, Ndun! Kamu itu ngapain?” bentaknya.

Eki kekuatiran setengah mati. Dia amat menghormati kami. Suamiku yang tadinya kesal pun tak jadi memarahinya. Eki gelagepan. Wajahnya meringis menghambat sakit, sepertinya pantatnya terantuk sesuatu di halaman.

Aku tadinya terhitung amat malu diintip anak ingusan itu. Tapi saya terhitung menyayangi Eki, apalagi seperti anakku sendiri. Aku terhitung sadar, memang kami yang keliru karena bercinta bersama dengan suara segaduh itu. Aku langsung meraih dasterku dan ikut menghampiri Eki.

“Aduh, mas. Kasian dia, gak usah dimarahin. Kamu sakit Ndun?” Aku mendekati Eki dan memegangi tangannya. Wajah

Eki amat memelas, antara takut, sakit, dan malu.

“Sudah gak papa. Kamu sakit, Ndun?” tanyaku. “Sini coba kamu berdiri, sanggup gak?”

Karena gemeteran, Eki gagal mencoba berdiri, dia jadi terjerembab lagi. Secara reflek, saya memegang punggungnya, sehingga kami berdua jadi berpelukan. Dadaku menyentuh lengannya, tentu saja dia sanggup merasakan lembutnya gundukan besar dadaku karena saya hanya memakai daster tipis yang sambungan, waktu di dalamnya saya tidak memakai apa-apa lagi.

“Aduh sorri, Ndun,” pekikku.

Tiba-tiba suamiku tertawa. Agak kesal saya meliriknya, kenapa dia menertawai kami? “Aduh, Mas ini. Ada anak jatuh kok jadi ketawa,”

“Hahaha.. lihat itu, Dik. Si Eki ternyata telah gede, hahaha…” kata suamiku sambil menunjuk selangkangan Eki.

Weitss… ternyata kemungkinan tadi Eki mengintip kami sambil mengocok, karena di atas celananya yang agak melorot, batang kecilnya terlihat mencuat ke atas. Kontol kecil itu terlihat amat tegang dan berwarna kemerah-merahanan. Malu terhitung saya lihat adegan itu, apalagi si Eki. Dia jadi gelagepan.

“Hussh, Mas. Kasihan dia, telah malu tuh,” kataku yang justru tingkatkan malu si Eki.

“Kamu bahagia lihat barusan, Ndun? Wah, hayooo… kamu nafsu ya lihat Bu Veronika?” goda suamiku. Dia jadi ketawa-ketawa sambil berdiri di belakangku.

Tentu saja muka Eki jadi jadi memerah, walau senantiasa saja kontol kecilnya tegak berdiri. Kesal terhitung saya mirip suamiku. Udah gak menolonng jadi menertawakan anak ingusan itu.

“Huh, Mas… mbok jangan godain dia, mbok tolongin nih, angkat dia!”

“Lha dia khan telah berdiri.. ya tho, Ndun? Wakakak,” kata suamiku.

Aku sungguh tidak tega lihat muka anak itu yang merah padam karena malu. Aku langsung berdiri mengangkang di depannya dan memegangi dua tangannya untuk menariknya berdiri. Berat terhitung badannya. Kutarik kuat-kuat, kelanjutannya dia terangkat juga. Tapi baru setengah jalan, kemungkinan karena dia masih gemetar dan saya terhitung tidak cukup kuat, tiba-tiba justru saya yang jatuh menimpanya.

Ohhh… saya berupaya untuk menghambat badanku sehingga tidak menindih anak itu, tapi tanganku jadi menghimpit dada Eki dan membuatnya jatuh terlentang sekali lagi. Bahkan kali ini, saya ikut jatuh terduduk di pangkuannya. Dan… ohhhh!

Sleppp… terasa sesuatu masuk tepat di tempikku.

Waah…!! Aku tersentak dan sementara bingung apa yang terjadi, begitu terhitung bersama dengan Eki, wajahnya terlihat amat ketakutan. “Aduuuhhh!” teriakku. Sementara suamiku justru tertawa lihat kami jatuh lagi.

Tiba-tiba saya mengerti apa yang masuk tepat di lobang tempikku, ternyata kontol kecil si Eki! Kontol itu bersama dengan mudah masuk ke tempikku karena di samping tempikku masih basah sisa persetubuhanku bersama dengan suamiku, terhitung karena saya tidak mengenakan apa-apa di balik daster pendekku.

Ohhhhh… apa yang terjadi? pikirku. Mungkin terhitung karena kontol Eki yang masih imut dan lobang tempikku yang biasa digagahi kontol besar suami, jadinya amat mudah diselipin batang kecil itu.

“Ohhh.. Masss?!!” desisku pada suamiku. Kali ini suamiku berhenti tertawa dan agak mendongal kaget.

“Kenapa, Dek?” tanyanya heran.

Kami bertiga sama-sama kaget, suamiku nampaknya terhitung mengerti apa yang terjadi. Dia mendekati kami, dan lihat bahwa batang Eki telah amblas di lobang tempikku. Beberapa waktu kami bertiga terdiam bingung bersama dengan apa yang terjadi. Aku merasakan kontol Eki berdenyut-denyut di dalam lobangku. Lobangku terhitung langsung meresponnya, mengingat rasa tanggung sesudah persetubuhanku bersama dengan suamiku yang tertunda.

Aku mencoba bangkit, tapi entah kenapa, kakiku jadi gemetar dan lagi selangkanganku menghimpit tubuh si Eki. Tentu saja kontolnya lagi menusuk lobangku. Ohhh… saya merasakan sensasi yang biasa kutemui waktu tengah bersetubuh.

“Ohhh…” desisku.

“Ahhh…” Eki ikut terpekik tertahan. Wajahnya memerah. Tapi saya merasakan pantatnya sedikit dinaikkan merespon selangkanganku.

Slepppp…!! lagi kontol itu menusuk ke dalam lobangku. Yang mengherankan, suamiku diam saja, entah karena dia kaget atau apa. Hanya saya lihat wajahnya ikut memerah dan sedikit mengakses Slot Online mulutnya, kemungkinan bingung terhitung untuk bereaksi bersama dengan keadaan aneh ini.

Aku diam saja menghambat napas sambil menguatkan tanganku yang menghambat tubuhku. Tanganku berada di sisi kanan dan kiri si Eki. Sementara Eki bersama dengan muka merah padam menatap mukaku bersama dengan panik. Agak mangkel terhitung saya lihat mukanya, panik, takut, tapi kok kontolnya senantiasa tegang di dalam tempikku. Dasar anak mesum, pikirku.

Tapi aneh juga, saya justru merasakan sensasi yang luar biasa bersama dengan ada kontol anak yang telah kuanggap saudaraku sendiri itu di dalam tempikku. Agak kasihan terhitung lihat mukanya, dan terhitung terlihat rasa sayang. Pikirku, kasihan terhitung anak ini, dia amat bernafsu mengintip kami, dan terhitung apalagi yang dikawatirkan, karena kontolnya telah terlanjur menusuk ke dalam tempikku.

Aku melirik suamiku sambil senantiasa duduk di pangkuan si Eki. Suamiku senantiasa diam saja. Agak kesal terhitung saya lihat respon mas Prasetyo. Tiba-tiba asumsi nakal menyelimuti. Kenapa tidak kuteruskan saja persetubuhanku bersama dengan Eki, toh kontolnya telah menancap di tempikku. Apalagi terkecuali lihat muka hornynya yang telah di ubun-ubun, kasihan lihat Eki terkecuali tidak diteruskan.

Dengan nekat saya pun lagi menghimpit pantatku ke depan. Tempikku meremas kontol Eki di dalam.

Merasakan remasan itu, Eki terpekik kaget. Suamiku mendengus kaget juga.

“Dik, a-a-apa yang kau lakukan?” kata suamiku gagap.

Aku diam saja, hanya saja saya terasa menggoyang pantatku maju mundur.

Suamiku melongo sekarang. Wajahnya mendekat lihat mukaku setengah tak percaya. Eki tidak berani lihat suamiku.

Dia menatap wajahku keheranan dan penuh nafsu.

“Mas… saya teruskan saja ya, kasihan si Eki. Apalagi khan telah terlanjur masuk, toh mirip saja…” bisikku berani.

Aku tak sanggup lagi menduga perasaan suamiku. Kecelakaan ini amat di luar perkiraan kami semua. Tapi suamiku memegang pundakku, yang kupikir mengijinkan perihal ini. Entah apa yang ada di pikiranku, saya tiba-tiba amat inginkan menuntaskan nafsu si Eki.

“Ahh… hh.. hh… ughh!!” Si Eki mengerang-erang sambil senantiasa berbaring di rerumputan di halaman rumah kami.

Kembali saya memaju-mundurkan pantatku sambil meremas-remas kontol kecil itu di dalam lobangku. Remasanku senantiasa buat suamiku tak tahan karena saya rajin ikut senam. Apalagi ini si Eki, anak ingusan yang tidak berpengalaman.

Tiba-tiba, karena sensasi yang aneh ini, saya merasakan orgasme di dalam vaginaku. Jarang saya orgasme secepat itu. Aku merintih dan mengerang sambil memegang erat lengan suamiku. Banjir mengalir dalam lobangku. Otomatis remasan dalam tempikku menguat, dan kontol kecil si Eki dijepit bersama dengan luar biasa.

Eki meringis dan mengerang. Pantatnya melengkung naik dan… crooooott-crooooott-crooooott…!! Cairan panasnya meledak membanjiri rahimku.

Aku seperti hilang kendali, seluruh tiba-tiba gelap dan saya diserbu oleh badai kenikmatan… Ohh, saya terkulai lemas sambil menunduk menghambat tubuhku bersama dengan ke dua tangan. Nafasku terengah-engah tidak karuan. Sejenak saya diam tak mengerti perlu bagaimana.

Aku dan suamiku saling berpandangan. “Dik, I-Eki gak p-pakai kondom.” kata suamiku terbata-bata.

Kami sama-sama kaget mengerti bahwa percintaan itu tanpa pengaman mirip sekali, dan saya telah terima banyak sekali sperma dalam rahimku, sperma si anak ingusan. Ohh… tiba-tiba saya mengerti dapat risiko dari persetubuhan ini. Aku dalam masa subur, dan amat sanggup jadi saya bakalan mengandung anak dari Eki, bocah SMP yang masih ingusan. Oohhhh…

Pelan-pelan saya berdiri dan mencabut kontol Eki dari tempikku. Kontol itu masih setengah berdiri dan berkilat basah oleh cairan kami berdua. Aku dan suamiku menghela nafas. Cepat-cepat saya memperbaiki dasterku. Dengan gugup, Eki terhitung tingkatkan celananya dan duduk kekuatiran di rerumputan.

“Ma-ma’af, Bu..” kelanjutannya terlihat terhitung suaranya.

Aku menatap Eki bersama dengan muka seramah mungkin. Suamiku yang kelanjutannya pegang peranan.

“Sudahlah, Ndun. Sana kamu pulang, mandi dan cuci-cuci!” perintahnya tegas.

“Iya, om. Ma-maaf ya, Om,” kata Eki sambil menunduk.

Segera dia meluncur pergi lewat halaman samping.

“Masuk!” suamiku lihat ke arahku bersama dengan suara agak keras.

Gemetar terhitung saya mendengar suamiku yang kebanyakan halus dan mesra padaku. Aduuh, apa yang dapat terjadi?

Kami berdua masuk ke rumah, saya tercekat tidak sanggup menjelaskan apa-apa. Tiba-tiba pikiran-pikiran tidak baik menderaku, jangan-jangan suamiku tak memaafkanku. Ohh, apa yang sanggup kulakukan?

Di dalam kamar tangisanku pecah. Aku tak berani menatap suamiku. Selama ini saya adalah istri yang setia dan bahagia bersama dengan suamiku, tapi malam ini… tiba-tiba saya terasa sangat-sangat kotor dan hina. Agak lama suamiku membiarkanku menangis. Pada kelanjutannya dia mengelus pundakku.

“Sudahlah bu, ini khan kecelakaan.” katanya.

Hatiku amat lega. Aku menatap suamiku, dan mencium bibirnya. Tiba-tiba saya jadi amat was-was kehilangan dia. Kami berpelukan lama sekali.

“Tapi, mas… terkecuali saya hamil… gimana?” tanyaku memberanikan diri.

“Ah.. mana mungkin, dia khan masih ingusan. Dan terkecuali pun Dik Idah hamil, khan gak papa, si Sangga terhitung telah siap terkecuali miliki adik lagi,” kata suamiku.

Jawaban itu sedikit menenangkan hatiku. Akhirnya kami bercinta lagi. Kurasakan suamiku begitu mengebu-gebu mengerjaiku. Apa yang ada di pikirannya, saya tak tahu, padahal dia barusan saja lihat istrinya disetubuhi anak muda ingusan. Sampai-sampai saya kelelehan melayani suamiku. Pada orgasme yang ketiga saya pun menyerah.

“Mas, keluarin di mulutku saja ya… saya tak kuat lagi,” bisikku pada orgasme ketigaku saat kami dalam posisi doggy.

Suamiku mengeluarkan kontolnya dan menyorongkannya ke mulutku. Sambil terbaring saya menyedot-nyedot kontol besar itu. Sekitar setengah jam kemudian, mulutku penuh bersama dengan sperma suamiku. Dengan penuh kasih sayang saya menelan seluruh cairan kental itu.

Hari-hari selanjutnya berlalu bersama dengan biasa. Aku dan suamiku senantiasa bersama dengan kemesraan yang sama. Kami seolah-olah meremehkan perihal malam itu. Hanya saja, Eki belum berani main ke rumah. Agak kangen terhitung kami bersama dengan anak itu. Sebenarnya rumah kami dekat bersama dengan rumah Eki, tapi saya terhitung belum berani untuk lihat keadaan anak itu. Hanya saja saya masih kerap ketemu ibunya, dan kerap iseng-iseng nanya keadaan Eki. Katanya sih dia baik-baik saja, hanya saat ini lagi sibuk persiapan berkenan naik kelas 3 SMP.

Seminggu sebelum akan bulan puasa, Eki singgah ke rumah mengantarkan selamatan keluarganya. Wajahnya masih terlihat malu-malu ketemu aku. Aku sendiri bersama dengan riang menemuinya di depan rumah.

“Hai, Ndun, kok kamu jarang main ke rumah?” tanyaku.

“Eh.. iya, bu. Gak papa kok, Bu,” jawabnya sambil tersipu.

“Bilang ke mamamu, makasih ya,”

“Iya, bu,” jawab Eki bersama dengan canggung. Dia apalagi tak berani menatap wajahku.

Entah kenapa saya terasa kangen sekali mirip anak itu. Padahal dia mengerti masih anak ingusan, dan bukan type-type anak SMP yang populer dan gagah kayak yang jago-jago main basket. Jelas si Eki tidak amat gagah, tapi ukuran tengah untuk anak SMP. Hanya badannya memang tinggi.

“Ayo masuk dulu. Aku buatin minum ya,” ajakku.

Eki terlihat masih agak malu dan was-was untuk masuk rumah kami. Siang itu suamiku masih dinas ke Kulonprogo. Anak-anak terhitung tidak ada yang di rumah. Kami bercakap-cakap sebentar mengenai sekolahnya dan sebagainya. Sekali-kali saya terasa Eki melirik ke badanku. Wah, gak mengerti kenapa, saya terasa bahagia terhitung diperhatiin mirip anak itu. Waktu itu saya mengenakan kaos agak ketat karena barusan ikut kelas yoga bersama dengan ibu-ibu Candra Kirana. Tentunya dadaku terlihat amat menonjol.

Akhirnya tidak begitu lama, Eki pamit pulang. Dia terlihat lega sikapku padanya tidak berubah sesudah perihal malam itu.

Hingga pada bulan selanjutnya, saya tiba-tiba gelisah. Sudah nyaris lewat dua minggu saya belum singgah bulan. Tentu saja perihal waktu itu membuatku jadi tambah panik. Gimana terkecuali amat jadi? Aku belum berani bilang pada Mas Prasetyo. Untuk melakukan test saja saya amat takut. Takutnya terkecuali positif.

Hingga pada suatu pagi saya melakukan test kehamilan di kamar mandi. Dan, deg! Hatiku seperti berkenan copot. Lembaran kecil itu menyatakan terkecuali saya positif hamil.

Oh, Tuhan!!

Aku amat kaget dan tak percaya. Jelas ini bukan anak suamiku. Kami senantiasa bercinta bersama dengan aman. Dan mengerti cocok bersama dengan waktu kejadian, ini adalah anak Eki, si anak SMP yang belum lumayan umur. Aku amat bingung.

Seharian saya tidak sanggup berkonsentrasi. Pikiranku berkecamuk tidak karuan. Bukan saja karena saya tidak siap untuk miliki anak lagi, tapi terhitung bagaimana reaksi suamiku bahwa saya hamil dari laki-laki lain. Itulah yang paling membuatku bingung.

Hari itu saya belum berani untuk berikan mengerti suamiku. Dua hari berikutnya, justru suamiku yang merasakan perbedaan sikapku.

“Dik Idah, ada apa? Kok sepertinya tidak cukup sehat?” tanyanya penuh perhatian.

Waktu itu kami tengah tidur bedua. Aku tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Yang kulakukan hanya memeluk suamiku erat-erat. Suamiku membalas pelukanku.

“Ada apa sayang?” tanyanya. Badan kekarnya memelukku mesra. Aku senantiasa terasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu.

Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia mengerti apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya,

“Benarkah?”

Aku mengangguk pelan sambil menangis,

“Aku hamil, mas…”

Jelas suamiku terhitung kaget. Dia diam saja sambil senantiasa memelukku. Lalu dia menjawab singkat,

“Besok kami ke dokter Merlin.”

Aku mengangguk, lantas kami saling berpelukan sampai pagi tiba.

Hari selanjutnya, sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah ditunaikan test, dokter cantik itu berikan selamat pada kami berdua.

“Selamat, Pak dan Bu Prasetyo. Anda dapat memperoleh anak ketiga,” kata dokter itu riang.

Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan selama jalur pulang tidak berbicara sepatah kata pun.

Setelah itu suamiku tidak menyinggung masalah itu lagi, apalagi dia berikan mengerti pada anak-anak terkecuali mereka dapat miliki adik baru. Anak-anak ternyata bahagia terhitung karena telah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil dapat menyemarakkan rumah yang saat ini telah tidak lagi ada suara anak kecilnya.

Malamnya, sesudah mengerti saya hamil, suamiku justru menyetubuhiku bersama dengan ganas. Aku tidak mengerti apakah dia inginkan sehingga anak itu gugur atau karena dia terasa amat bernafsu padaku. Yang mengerti saya menyambutnya bersama dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari sesudah selama malam kami bergelut di atas kasur. Aku tidak mengerti lagi bagaimana wujud mukaku malam itu karena selama malam mulutku disodok-sodok tetap oleh kontol suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai tiga kali membasahi muka dan mulutku.

Aku nyaris tidak sanggup bangun pagi harinya karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok itu hari libur, jadi saya tidak perlu buru-buru mempersiapkan sekolah anak-anak.

Hari-hari selanjutnya berlalu bersama dengan luar biasa. Suamiku jadi tambah hot setiap malam. Aku terhitung senantiasa terasa horny. Wah, untung terhitung terkecuali seluruh ibu-ibu ngidamnya kontol suami seperti kehamilanku kali ini. Hamil kali ini benar-benar beda bersama dengan kehamilanku sebelumnya yang kebanyakan memanfaatkan ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru saya terasa amat santai dan bernafsu birahi tinggi.

Setiap malam tempikku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau tepat ada ya enak, saya tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau tepat gak ada, saya yang jadi kebingungan dan kelanjutannya mencari-cari film-film porno di internet. Sesudah itu tentu saya mainin tempekku memanfaatkan pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe.

Yang jadi masalah adalah perlukah saya berikan mengerti si Eki bahwa saya hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia membantu kehamilanku saja telah amat membahagiakanku. Aku jadi bahagia bersama dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga telah siap menyongsong anggota baru keluarga kami. Itulah perihal yang amat saya syukuri.

Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankan. Dia mengajak Eki untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja saya bahagia karena suamiku telah sanggup terima perihal waktu itu. Aku bahagia lihat mereka berdua bergotong-royong bersihkan halaman dan anggota dalam rumah.

Eki dan Mas Prasetyo terlihat telah bersikap biasa sebagaimana sebelum akan perihal malam itu. Bahkan sesekali Eki lagi menginap di gazebo kami, karena kami terasa sepi terhitung tanpa Kedatangan anak-anak. Si Rika jadi sibuk bersama dengan urusan kampusnya, waktu si Sangga hanya pada malam hari saja menyatakan mukanya di rumah.

Semenjak itu, keadaan di rumah kami jadi lagi seperti sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah kerap ramai dikunjungi orang. Cuma saat ini Eki tidak dulu lagi menginap di sana. Mungkin karena nyaris ujian, jadi dia perlu banyak belajar di rumah.

Beberapa bulan kemudian, tubuhku terasa berubah. Perutku terasa terlihat membuncit. Kedua payudara membesar. Memang terkecuali hamil, saya senantiasa mengalami pembengkakan pada ke dua payudaraku. Hormonku membuatku senantiasa bernafsu.

Mas Prasetyo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya jadi menggebu lihat perubahan di tubuhku. Kalau tepat di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya telah besar jadi jadi tambah besar. Semua bra yang kucoba telah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, saya perlu pesan dulu untuk belanja bra yang tepat di ukuran dadaku sekarang.

Akhirnya saya nekat terkecuali di rumah jarang memakai bra. Kecuali terkecuali keluar, itupun saya jadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku. Aku jadi seperti mesin seks. Dadaku besar dan pantatku membusung. Seolah tak dulu bahagia bersama dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku bersama dengan nafsunya yang terhitung jadi tambah besar.

Eki kelanjutannya mengerti terhitung kehamilanku. Dia kerap curi-curi pandang lihat perutku yang terasa membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia mengerti terkecuali anak dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Eki jadi amat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja.

Pada suatu malam, Mas Prasetyo perlu pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami melepaskan Eki sampai malam di rumah kami, sambil membantu menjaga rumah. Aku perlu ikut pengajian bersama dengan ibu-ibu kampung. Jam setengah sepuluh malam saya baru pulang. Sampai di rumah, saya lihat Eki masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.

“Ndun, Sangga telah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung karena malam itu hujan turun lumayan deras.

“Belum, Bu,”

Aku lantas menelpon anak itu. Ternyata dia tengah mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku yakin bersama dengan Sangga, karena dia tidak seperti anak-anak yang bahagia hura-hura. Dia type anak yang amat benar-benar dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu.

Aku lantas berbicara ke Eki,

“Kamu nginap sini aja ya, saya was-was nih, hujan deres banget dan Mas Prasetyo gak pulang malam ini.” Memang saya senantiasa gak enak hati terkecuali cuaca tidak baik tanpa mas Prasetyo. Takutnya terkecuali ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami telah tidak ada lagi masalah bersama dengan perihal waktu itu.

“Iya, bu, sekalian saya ngerjain tugas di sini,” jawab Eki.

Aku melepaskan kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas terhitung saya ubah daster, dan terhitung ada si Eki, gak enak terkecuali dia nanti keingat perihal dulu. Sambil masih senantiasa memanfaatkan baju muslim panjang saya menyelonjorkan kakiku di sofa, waktu si Eki masih sibuk mengerjakan kalkulus di ruang tamu.

Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah terhitung karena baju panjang itu, kelanjutannya saya masuk kamar dan melepaskan bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku terhitung melepaskan cd ku karena lembab yang luar biasa di celah tempikku. Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat saya malam itu kemungkinan kalian terhitung bakalan nafsu deh, soalnya walau memanfaatkan baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan karena pantat dan payudaraku memang membesar.

Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya saya ingat untuk membuatkan Eki minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu saya duduk menemani anak itu.

“Wah.. makasih, Bu. Kok repot-repot?” katanya sungkan.

“Gak papa, kok.”

Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku. Eki malu-malu lihat perutku.

“Bu, telah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian sambil tempatkan penanya.

“Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.

Tiba-tiba mukanya memerah. Eki lantas menunduk malu. “Ya nggak tahu, bu… Kok saya sanggup mengerti darimana?” jawabnya tersipu.

Tiba-tiba saya amat inginkan berikan tahunya, kabar gembira yang selayaknya terhitung dirasakan oleh papa kandung dari anak dalam kandunganku ini. Dengan santai saya menjawab, “Lha bapaknya masak gak mengerti umur anaknya?”

Eki kaget, gak menyangka saya dapat menjawab sejelas itu. Dia langsung gelagapan, hehehe. Apa yang kau ingin dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba dapat jadi bapak? Wajahnya melongo menatapku takut-takut. Dia tidak mengerti dapat menjawab apa. Aku jadi jadi inginkan menggodanya.

“Kamu sih papa yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak mengerti lagi,” kataku sambil melirik menggodanya.

Aku mengelus-elus perutku. Geli terhitung lihat muka Eki waktu itu. Antara kaget dan bingung dan juga perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya.

“Aku… eee… maaf, Bu… saya tidak tahu…” Eki menyeka keringat dingin di dahinya.

“Memangnya kamu tidak bahagia anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.

“Eh… saya bahagia banget, Bu.. Aku seneng…” Eki amat kalut.

“Ya udah.. terkecuali amat seneng, sini kamu rasakan gerakannya,” kataku manja sambil mengelus perutku.

“Boleh, Bu, saya pegang?” tanyanya khawatir.

“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar kalian dekat,” perutku terlihat amat membuncit karena baju muslim yang kupakai nyaris tidak muat menyembunyikan bengkaknya.

Eki berubah dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk lihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya saya berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Eki mana tahu. Dengan hati-hati dia tempatkan telapaknya di perutku.

“Maaf ya, bu,” ijinnya.

Aku melepaskan telapaknya melekat ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku terasa bahagia sekali karena biar bagaimanapun anak ingusan ini adalah papa dari anak dalam kandunganku ini.

“Kamu bahagia miliki anak, Ndun?” tanyaku.

“Aku bahagia sekali, Bu, miliki anak dari Ibu. Ohh.. Bu, maafkan saya ya, Bu,” jawab Eki nyaris tak kedengaran.

Tangannya gemetar di atas perutku. Eki terlihat amat kebingungan, tak mengerti perlu berbuat apa.

Aku terhitung ikut bingung, bersama dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas.

Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut lihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa mengerti perlu melakukan apa. Tangan Eki terdiam di atas perutku.

“Ndun, gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian.

“Saya bahagia sekali, Bu..” jawabnya.

“Kenapa?”

“Ibu jadi jadi cantik.” jawabnya bersama dengan muka memerah.

“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan telah tua, dan lagian saat ini badanku kayak gini..” jawabku.

Eki mengangkat wajahnya pelan dan menatapku malu-malu.

“Gak kok, Ibu tetep cantik banget…” jawabnya lirih. Tangannya terasa mengelus-elus perutku lagi. Aku terasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasetyo belum sempat menyetubuhiku.

“Kok waktu itu kamu tegang ngintip saya mirip Mas Prasetyo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku amat bernafsu.

Aneh juga, anak kecil ini pun saat ini membuatku pingin disetubuhi. Apa yang keliru bersama dengan diriku?

“Aku nafsu lihat badan Ibu…” kali ini Eki menatap wajahku. Mukanya merah. Jelas dia bernafsu. Aku mengerti banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.

“Kalau sekarang, masa masih nafsu juga? Aku khan telah membukit kayak gini..”

Eki blingsatan.

“Sekarang masih iya..” jawabnya sambil membetulkan celana.

“Idiiih…. mana, coba lihat?” godaku.

Eki jadi berani. Tangannya gemetar mengakses celananya. Dari dalam celananya tersembul terlihat sebatang kontol jauh lebih kecil dari miliki suamiku. Yang jelas, kontol itu telah amat tegang.

“Wah, kok telah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku.

Eki telah menurunkan seluruh celananya. Tapi dia tidak mengerti perlu melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku telah amat horny. Tempikku telah terasa basah. Tak mengerti kenapa sanggup senafsu itu dekat bersama dengan anak SMP ini. Dengan gemes saya pegang kontol Eki.

“Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetaran.

“Iya, bu.. berkenan banget!”

Tanpa tunggu lagi saya tingkatkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera tempikku terpampang mengerti di depan Eki. Rambut hitam tempikku serasa amat kontras bersama dengan kulit putihku. Segera kubimbing kontol anak itu ke dalam lobang tempikku. Eki mengerang pelan, matanya terbeliak lihat kontolnya pelan-pelan masuk ditelan oleh tempikku.

“Ohhhh…. Buuu…” desisnya.

Bless!! Segera kontol itu masuk semuanya ke dalam lobang tempikku. Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, saya amat inginkan isikan lobangku bersama dengan batang kecil itu.

“Diemin dulu di dalam sebentar, biar kamu gak cepat keluar,” perintahku.

“I-iya, Bu..” erangnya. Eki mendongakkan kepalanya menghambat kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja pelan-pelan

kuremas kontol itu bersama dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya.

“Ohhh…” Eki mengerang sambil mendongak ke atas.

Kubiarkan dia merasakan sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Eki menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan dia terasa sanggup mengendalikan diri. Tampak nafasnya terasa agak teratur. Kupegang leher anak itu dan kuturunkan mukanya. Muka kami jadi berdekatan. Bibirku lantas mencium bibirnya.

“Hssh..” kami berdua melenguh, lantas saling mengulum dan bermain lidah.

Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan kenikmatan yang tak ada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu jadi ambles ke dalam tempikku.

“Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku.

Eki terasa memaju-mundurkan pantatnya. Kontolnya walau kecil, terkecuali telah keras ternyata begitu nikmat sekali di dalam tempikku. Aku mengerang-erang sekarang. Tempikku telah basah sekali. Banjir mengalir sampai ke pantatku, apalagi mengenai sofa ruang tamu. Aku mengarahkan tangan Eki untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dia berupaya tidak mengenai perutku karena was-was dapat menyakiti kandunganku.

Ohhh… saya telah amat bernafsu!

Sekitar 15 menit Eki memaju-mundurkan pantatnya. Aku tidak mengira dia saat ini sekuat itu. Mungkin dulu dia panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan orgasme yang luar biasa.

“Ohhhh…” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas. Eki terdiam bersama dengan senantiasa menancapkan kontolnya dalam lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn…” kataku terengah-engah. Sambil senantiasa melepaskan kontolnya di dalam tempikku, saya memeluk

pria kecil itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selama berepa menit sambil berpelukan. Kontol Eki masih keras dan tegang di dalam tempikku.

“Ndun, ubah ke kamar yuk,” ajakku.

Eki mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar karena pengaruh dari orgasme yang menggebu-gebu barusan. Kemudian saya membimbing tangan anak itu, membawanya ke kamarku.

Di dalam, saya berharap dia melepaskan bajuku karena agak sibuk melepaskan baju muslim panjang ini. Di depan pemuda itu saya kini telanjang bulat. Eki terhitung melepaskan bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan. Aku lihat kontolnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasur, lantas saya naik ke atas dan lagi memasukkan kontolnya ke tempikku. Kali ini saya yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Eki meremas-remas susuku.

Ohh, nikmat sekali.

Kontol kecil itu amat hebat. Dia berdiri tegak tetap tanpa mengendor sedikit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku sehingga kontol itu cepat muncrat. Tapi senantiasa saja posisinya sama. Aku lagi orgasme, apalagi sampai dua kali lagi.

Orgasme ketiga saya telah didera kelelahan yang luar biasa. Aku peluk pemuda itu dan kupegang kontolnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta bersama dengan suamiku.

“Aduuuh, Ndun.. kamu kuat terhitung ya. Kamu masih belum terlihat ya?”

“Gak papa, Bu…” jawabnya pelan.

Tiba-tiba saya miliki ide untuk membantu Eki. Kuraih batang kecil itu dan lagi kumasukkan dalam tempikku. Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian.

“Ndun, Ibu telah capek banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, sampai kamu keluar…” bisikku.

Eki mengangguk. Kami lagi berpelukan bagai sepasang kekasih. Tempikku berkedut-kedut terima batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi tempikku, Eki terhitung melepaskan kontolnya tersimpan rapi dalam tempikku. Karena kelelahan, saya tertidur bersama dengan sebatang kontol ada di dalam tempikku.

Gak mengerti berapa jam saya tertidur bersama dengan kontol Eki masih tertanam dalam-dalam, saat jam 1 malam tiba-tiba hapeku terima sms. Aku terbangun dan lihat Eki masih menatap wajahku sambil melepaskan kontolnya diam dalam lobangku.

“Aduh, Ndun. Kamu belum sanggup bobok? Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas kontolnya bersama dengan tempikku.

“Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Eki.

Tanpa mempengaruhi posisi saya meraih hp yang ada di meja samping ranjang. Kubuka bisacuan, ternyata dari Mas Prasetyo:

“Hai Say, telah bobok? Kalau belum, saya pingin telp.”

Aku langsung balas:

“Baru terbangun, telp aja, kangen.”

Segera sesudah kubalas sms, Mas Prasetyo menelponku. Aku terima teleponnya sambil berbaring dan melepaskan kontol Eki senantiasa berada di dalam tempikku.

“Hei… Sorii ganggu, telah bobok belum?” tanyanya.

“Gak papa, Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku.

“Lusa, Dik, ini saya masih di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?”

“Hmmm…. “ saya agak menggeliat.

Eki memajukan pantatnya, was-was lepas kontolnya dari lobangku. Aku tempatkan jariku di bibirnya sehingga dia tak bersuara. Eki mengangguk sambil tersenyum.

“Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen, mas…”

“Sama.. pingin nih,” kata suamiku.

“Sini, berkenan di mulut apa di bawah?” tanyaku nakal.

“Mana aja boleh,”

“Nih, memanfaatkan mulutku aja. Udah lama gak dikasih. Udah gatel, hihi…” godaku.

“Aduh, Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen mirip kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku. Kami memang biasa saling terbuka soal keperluan seks kami.

“Kocok aja, Mas. Aku terhitung mau,” kataku manja.

Kemudian saya menggeser Eki sehingga menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, saya berbisik ke Eki,

“Sekarang kamu genjot saya sekencang-kencangnya sampai terlihat ya. Sekuat-kuatnya!”

Eki mengangguk. Aku lantas menjawab telephone suamiku lagi,

“Ayo, mas, buka celananya..” Aku mengambil cd milikku yang ada di samping ranjang lantas kujejalkan ke mulut Eki.

Eki mengerti maksudku sehingga dia tidak bersuara.

“Oke, Dik. Aku telah menghunus rudalku..”

Sambil menjawab mesra, saya menghimpit pantat Eki sehingga langsung memaju-mundurkan kontolnya dalam tempikku. Eki langsung membalasnya dan terasa menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya. Sementara saya mengangkang bersama dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan pemuda abg itu.

Ohhh, Ya Tuhan. Bagai kesetanan, Eki menggenjotku seperti yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu terhitung suamiku.

“Mas, saya masturbasi kesetanan ini… pingin banget! Kamu kocok kuat-kuat yaaa… ahhhhh!!”

“Iyaah… oohhh, untung saya bawa cdmu, buat ngocok nih…. ohhhhh!!” erang suamiku.

Tak kalah hebatnya, Eki tetap menggasak lobangku bersama dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listrik. Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit karena banjir dan gesekan bersama dengan kontol Eki.

Benar-benar gila malam ini. Aku telah tidak ingat lagi berapa lama saya digenjot Eki. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra bersama dengan suamiku. Eki seolah-olah tak dulu lelah. Tubuhnya telah banjir keringat. Stamina mudanya amat membanggakan. Keringat terhitung membanjiri tubuhku. Sementara suara suamiku terhitung meraung-raung kenikmatan, semoga kamar dia di perjalan dinas itu kamar yang kedap suara.

Beberapa waktu kemudian saya kehabisan tenaga. Kuminta Eki untuk berhenti sejenak. Pemuda itu terlihat terengah-engah sesudah menggenjotku habis-habisan.

Setelah itu kami melanjutkan permainan kami. Eki bersama dengan kuatnya menggenjotku habis-habisan. Aku tak mengerti lagi apa yang kecerecaukan di telepon, tapi nampaknya suamiku terhitung mirip saja. Beberapa waktu kemudian saya dan suamiku sama-sama berteriak, kami sama-sama keluar.

Aku terengah-engah mengatur nafasku. Lalu suamiku berikan salam mesra dan ciuman jarak jauh. Kami benar-benar terpuaskan malam ini. Setelah ngobrol-ngobrol singkat, suamiku menutup teleponnya.

Baca Juga : Cerita Dewasa Pengalaman Bercinta Dalam Toilet

Di kamarku, Eki masih menggenjotku pelan-pelan. Dia belum terlihat rupanya. Wah, gila. Aku kawatir jepitanku kemungkinan telah tidak mempan untuk kontolnya yang masih tumbuh. Kubiarkan kontol pemuda itu mengobok-obok tempikku.

Tiba-tiba kudorong Eki, sehingga lepas kontol dari lobangku. Ohhh, lenguhnya kecewa. Lalu saya tarik dia naik ke daerah tidur dan saya langsung menungging di depannya. Eki mengerti maksudku. Dia langsung mengarahkan kontolnya ke tempikku. Tapi langsung kupegang kontol itu dan kuarahkan ke lobang yang lain. Pantatku! Mungkin di sanalah kontol Eki dapat dijepit bersama dengan maksimal, pikirku tanpa pertimbangan.

Eki mengerti apa yang kulakukan. Disodokkannya kontolnya ke lobang pantatku. Tapi lobang itu ternyata masih amat kecil apalagi buat kontol Eki. Aku berdiri dan menyuruhnya menunggu. Lalu saya turun dan mengambil jelli organik dari dalam rak obat di kamar mandi. Dengan setia Eki tunggu bersama dengan kontol yang terhitung setia mengacung. Jelli itu kuoleskan ke seluruh batang Eki, dan beberapa kuusap-usapkan ke kurang lebih lobang pantatku. Kembali saya menunggingkan pantatku. Eki mengarahkan kotolnya lagi dan pelan-pelan lobang itu berhasil diterobosnya.

“Ohhhhh…” desisku. Sensasinya amat luar biasa. Pelan-pelan batang kontol itu menyusup di lobang yang sempit itu.

“Aaughhh…” Eki mengerang keras. Setengah perjalanan, kontol itu berhenti. Baru separo yang masuk. Eki terengah-engah, begitu terhitung aku.

“Pelan-pelan, Ndun…” bisikku.

Eki memegangi bongkahan pantatku dan lagi menyodokkan kontolnya ke lobangku. Dan kelanjutannya seluruh batang itu masuk dalam lobang pantatku. Ohhh, Tuhan… rasanya amat luar biasa, antara sakit dan nikmat yang tak terceritakan. Aku mengerang.

Kami berdiam beberapa menit, melepaskan lobangku jadi biasa bersama dengan batang kontol itu. Setelah itu Eki terasa memaju-mundukan pinggangnya. Rasanya luar biasa. Pengalaman baru yang membuatku ketagihan.

Beberapa waktu kemudian, Eki mengerang-erang keras. Dia memaksakan menggejot pantatku bersama dengan cepat, tapi karena amat sempit, genjotannya jadi tidak sanggup lancar. Kemudian, ohhhhhhhh…

Eki memuncratkan spermanya dalam pantatku!! Crooooott… crooooott… crooooott…

Aku tersungkur dan Eki terlentang ke belakang. Muncratannya beberapa mengenai punggungku. Kami sama-sama terengah-engah dan didera kelelahan yang luar biasa. Aku membalikkan tubuhku dan memeluk Eki yang terkapar tanpa daya. Kami berpelukan bersama dengan telanjang bulat selama malam.

Esoknya, saya bangun jam 6 pagi. Eki masih ada dalam pelukanku. Oh, Tuhan. Untung saya mengunci pintu kamar. Mbok Imah, tetangga yang biasa bantuin ngurusin anak-anak, telah terdengar suaranya di belakang.

Oh.. apa yang telah kulakukan tadi malam? Aku amat tidak habis pikir. Kalau malam waktu itu amat hanya sebuah kecelakaan. Tapi malam ini, saya dan Eki amat melakukannya bersama dengan penuh kesadaran. Apa yang kulakukan pada anak abg ini? Aku jadi gelisah memikirkannya, saya was-was sebabkan anak ini jadi anak yang keliru jalan. Rasa bersalah itu membuatku terasa jadi tambah sayang pada anak kecil itu. Kurangkul lagi tubuh kecil itu dan kuciumin pipinya. Tubuh kami masih sama-sama telanjang.

Aku lihat si Eki masih nyenyak tidur. Mukanya terlihat manis sekali pagi itu. Aku mengecup pipi anak itu dan membangunkannya.

“Ndun, bangun. Kamu sekolah khan?” bisikku.

Eki terlihat kaget dan langsung duduk.

“Oh, Bu.. maaf, saya kesiangan.” katanya gugup.

“Gak papa, Ndun, saya yang keliru mengajakmu tadi malam.” Kami berpandangan.

“Maaf, Bu. Aku amat tidak sopan,”

“Lho, khan bukan kamu yang mengajak kami tidur bersama. Aku yang salah, Ndun.” bisikku pelan.

Eki menatapku,

“Aku sayang mirip Ibu…” katanya pelan.

“Ndun, kamu miliki pacar?”

“Belum, bu,”

“Kamu janji ya jangan cerita-cerita ke siapa-siapa soal kita,”

“Iya, bu, gak mungkinlah,”

“Aku was-was kamu rusak karena aku,”

“Gak kok, Bu. Aku sayang mirip Ibu.”

“Kamu jangan melakukan ini ke sembarang orang ya,” kataku khawatir.

“Tidak, Bu, saya bukan cowok seperti itu. Tapi terkecuali mirip Ibu, masih boleh kan?” katanya pelan.

Tiba-tiba saya amat inginkan memeluk anak ini.

“Aku terhitung sayang kamu, Ndun. Sini Ibu peluk.”

Eki mendekat dan kami berpelukan sambil berdiri. Tangannya merangkul pinggangku dan saya memegang pantatnya. Kami berpelukan lama dan saling berpandangan. Lalu bibir kami saling berpagutan. Gila, saya amat serasa berpacaran bersama dengan anak kecil ini. Mulut kami saling bergumul bersama dengan panasnya.

Aku lihat kontol anak itu masih tegak berdiri, kemungkinan karena pengaruh pagi hari. Tanganku meraih batang itu dan mengocoknya pelan-pelan. Aku berpikir cepat, karena pagi ini Eki perlu sekolah, saya perlu langsung menuntaskan ketegangan kontol itu.

Maka saya langsung membalikkan tubuhku dan berpegangan pada meja rias. Sambil lihat Eki lewat cermin, saya menyuruhnya,

“Ndun, kamu memanfaatkan jeli itu lagi. Cepat masukin lagi kontolmu ke pantat Ibu.”

Eki buru-buru melumasi batangnya. Aku menyorongkan bongkahan pantatku. Dari cermin saya sanggup lihat muka dan badanku sendiri. Ohh… agak malu terhitung saya lihat tubuhku yang terasa membengkak di sana-sini, tapi masih penuh bersama dengan nafsu birahi.

“Cepat, Ndun, nanti kamu terlambat sekolah,” perintahku.

Sambil memeluk perutku, Eki mendorong kontolnya masuk ke lobang pantatku. Lobang yang semalam telah disodok-sodok itu langsung terima batang yang mengeras itu.

Segera kami telah melakukan persetubuhan lagi. Aku sanggup lihat adegan seksi itu lewat cermin, di mana mukaku terlihat amat bernafsu dan terhitung muka Eki yang mengerang-erang di belakangku.

“Ayo, Ndun, sodok yang kuat!”

“I-iya, Bu..”

“Terusss… lebih cepat!”

Sodokan-sodokan Eki jadi bersemangat. Lobang pantatku jadi elastis terima batang imutnya. Sungguh kenikmatan yang luar biasa. Tidak berapa lama kemudian kami berdua sama-sama meraih puncak kenikmatan. Eki melepaskan cairan spermanya meluncur deras dalam pantatku. Kami sama-sama terengah-engah menikmati puncak yang barusan kami daki.

“Ohhh…” Sejenak kemudian saya lepaskan pantatku dari kontolnya.

“Udah, Ndun. Sana kamu mandi, pulang. Nanti kamu terlambat lho sekolahnya,” kataku sambil tersenyum.

Eki mencari-cari pakaiannya. Tiba-tiba kami mengerti terkecuali celana Eki ada di ruang tamu. Aku suruh si Eki nunggu di kamar, waktu saya langsung berpakaian dan terlihat ke ruang tamu. Moga-moga belum ada yang menemukan celana itu. Untungnya celana itu teronggok di bawah sofa dan terselip sehingga Mbok Imah yang kebanyakan sibuk dulu mempersiapkan sarapan belum sempat membereskan ruang tamu. Celana itu langsung kuambil dan kubawa ke kamar. Si Eki yang tadinya terlihat panik, kini berubah tenang.

Setelah memakai celananya, Eki kusuruh cepat-cepat terlihat ke ruang tamu dan mengambil tas belajarnya yang semalam tergeletak di meja. Setelah itu dia pamit pulang.

Aku sendiri langsung mandi. Di kamar mandi saya merasakan sedikit perih di anggota lobang pantatku. Baru kali ini lobang itu jadi alat seks, itu pun justru bersama dengan anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Ada sedikit rasa sesal, tapi langsung kuguyur kepalaku untuk menyingkirkan rasa gundah di dadaku.

Sorenya Eki lagi main ke rumah. Dia telah sibuk membereskan buku-buku di gazebo kami.

Malam itu Eki tidur lagi di kamarku. Mas Prasetyo baru pulang besok harinya. Selama berjam-jam kami lagi bercinta. Kami saling berpelukan dan sharing kasih seharusnya sepasang kekasih. Tapi sebelum akan jam 1, saya suruh Eki untuk langsung tidur. Aku kuatir sekolahnya dapat terganggu karena aktivitasku.

“Ndun, tadi kamu di sekolah gimana?” bisikku sesudah kami selesai ronde ke tiga. Kami berpelukan bersama dengan mesra di tengah ranjang.

“Biasa aja, Bu.”

“Kamu gak kelelahan atau ngantuk di sekolah?”

“Iya, Bu, sedikit. Tapi gak papa, saya tadi sempat tidur siang.”

“Aku was-was menganggu sekolahmu,”

“Gak kok, Bu. Tadi saya sanggup ngikutin pelajaran,”

“Okelah terkecuali gitu. Tapi sesudah ini kamu tidur ya, gak usah diterusin dulu.”

“Iya, Bu.”

“Besok Mas Prasetyo pulang, kamu gak sanggup nginap disini,”

“Iya, Bu. Tapi kapan-kapan saya siap menemani Ibu di sini,”

“Yee…. maunya. Ya, gak papa,” kataku sambil mencubit pinggangnya.

“Aku berkenan jadi pacar Ibu,”

“Lho, saya khan telah bersuami?”

“Ya gak papa, jadi apa saja deh,”

“Aku justru kasihan mirip kamu. Besok-besok terkecuali kamu telah siap, kamu cari pacar yang bener ya?”

“Iya, Bu. Aku senantiasa sayang mirip Ibu. Mau dijadiin apa saja terhitung mau,”

“Idihh.. ya udah, bobok yuk!” kataku kelelahan. Kami tidur berpelukan sampai pagi.

Setelah malam itu, saya jadi kerap bercinta bersama dengan Eki. Kapan pun ada kesempatan, kami berdua dapat melakukannya. Eki amat menyimak bayi dalam kandunganku. Setiap ada kesempatan, dia menciumi perutku dan mengelus-elusnya. Kasihan terhitung saya lihat anak kecil itu telah terasa perlu jadi bapak.

Herannya, saya terhitung kecanduan bersama dengan kontol kecil anak ini. Padahal saya telah miliki kontol yang jauh lebih besar dan ada untukku.

Bayangkan, beda usiaku bersama dengan Eki kemungkinan kurang lebih 27 tahun. Bahkan anak itu lebih cocok jadi adik anak-anakku. Tapi pertalian kami jadi tambah mesra bersamaan umur kehamilanku yang jadi membesar. Eki apalagi kerap ikut menemaniku ke dokter tatkala suamiku tengah dinas keluar. Eki jadi perhatian padaku dan anak dalam kandunganku. Kami amat bahagia karena bayi dalam kandunganku berada dalam keadaan sehat.

Aku senantiasa mengingatkan Eki untuk senantiasa fokus pada sekolahnya, dan jangan amat berkhayal anaknya. Yang paling tidak sanggup dicegah adalah, Eki jadi lama jadi kecanduan lobang pantatku. Lama-lama saya terhitung merasakan perihal yang sama. Seolah-olah lobang pantatku jadi eksklusif punya Eki, waktu lobang-lobangku yang lain dibagi antara Eki dan suamiku. Sampai sekarang, suamiku tidak dulu mengerti terkecuali pantatku telah dijebol oleh Eki.

Lama-lama saya kuatir terhitung bersama dengan cerita mengenai pertalian kelamin lewat pantat sanggup mengundang beragam penyakit, terhitung AIDS. Aku kelanjutannya sediakan kondom untuk Eki terkecuali dia minta lobang pantatku. Eki sih oke-oke saja.

Dia terhitung khawatir, walau dia amat bahagia saat masuk ke lubang pantatku.

Untung saya dan suamiku terhitung sering kadang memakai kondom, sehingga saya tidak canggung lagi belanja kondom di apotik. Bahkan saya kerap mendapat kondom gratis dari kelurahan.

Mungkin karena masih masa pertumbuhan dan kerap kupakai, saya lihat lama kelamaan kontol Eki terhitung mengalami pembesaran. Kontol yang jadi berpengalaman itu tidak lagi seperti kontol imut pada waktu pertama kali masuk ke tempikku, tapi telah menjelma jadi kontol dewasa dan berurat saat tegang. Aku sadar, terkecuali saya adalah keliru satu karena dari pertumbuhan instant dari kontol Eki. Kekuatan kontolnya terhitung jadi luar biasa. Dia tidak lagi mudah keluar, apalagi terkecuali dipikir-pikir, dia kemungkinan lebih kuat dari suamiku.

Karena perutku jadi membesar, saya jadi kerap memakai celana legging yang lentur dan baju kaos ketat yang berbahan amat lentur. Kalau di rumah saya apalagi hanya memanfaatkan kaos panjang tanpa bawahan. Orang tentu mengira saya senantiasa memanfaatkan cd, padahal kerap saya malas memakainya. Entah karena bawaan ibu hamil atau karena nafsu birahiku yang jadi gila.

Waktu ibu Eki berkenan naik haji, saya ikut sibuk bersama dengan ibu-ibu kampung untuk mempersiapkan pengajian haji. Biasalah, terkecuali berkenan naik haji tentu hebohnya minta ampun. Aku terhitung dekat bersama dengan ibu Eki. Namanya bu Masuroh, yang biasa dipanggil Bu Ro. Karena keluarga Eki terhitung keluarga yang terpandang di desa kami, maka acara pengajian itu jadi acara yang besar-besaran. Banyak ibu-ibu yang ikut sibuk di rumah Bu Ro. Kalau saya ke sana saya lebih kerap karena inginkan ketemu Eki.

Acara pengajian dan keberadaan Mas Prasetyo di rumah sebabkan kesempatanku bersua bersama dengan Eki jadi amat terbatas. Sudah lama Eki tidak merasakan lobang pantatku. Aku sendiri bingung bagaimana melacak peluang untuk ketemu Eki. Walaupun saya kerap pergi ke rumahnya dan sering kadang terhitung diantar Eki untuk berbelanja sesuatu untuk kepentingan pengajian, tapi senantiasa saja kami tidak miliki peluang untuk bercinta. Akhirnya pada waktu pengajian besar itu saya memperoleh ide.

Sorenya, langsung kutelepon Eki memanfaatkan telephone rumah, karena saya amat hati-hati memakai hp, apalagi untuk urusan Eki.

“Assalamu’alaikum, Bu. Ini Bu Veronika. Gimana Bu persiapan nanti malam, telah beres semua?”

“Oh, Bu Veronika. Sudah Bu. Nanti datangnya agak sorean ya, bu. Kalau gak ada Ibu, kami bingung nih,” jawab Bu Ro.

“Iya, beres, Bu. Saya mirip Bu Anjar telah janjian sesudah maghrib langsung kesitu. Eki ada, Bu Ro?”

“Ada, Bu, sebentar ya,”

Setelah Eki yang memegang telepon, saya langsung bilang: “Ndun, nanti malam kamu pake celana yang sanggup diakses depannya ya,” kataku pelan.

“Iya, Bu,” jawab Eki agak bingung.

“Terus kamu memanfaatkan kondom kamu…”

Eki mengangguk lagi, dan telephone langsung kututup.

Malam itu pengajian dilangsungkan bersama dengan besar-besaran. Halaman RW kami yang luas nyaris tidak sanggup menampung jama’ah yang singgah dari seluruh penjuru kota. Bu Ro memang tokoh yang disegani masyarakat. Aku singgah bersama dengan ibu-ibu RT. Aku memakai kerudung, bersama dengan baju atasan longgar yang menutup sampai bawah pinggang. Bawahannya saya memakai legging ketat, karena memang lagi biasa dipakai ibu-ibu pada waktu ini. Apalagi saya lagi hamil, tentu orang-orang pada maklum dapat kondisiku.

Yang tidak biasa adalah bahwa saya tidak memakai apa pun di balik celana leggingku. Sengaja saya tinggalkan cd-ku di rumah, karena saya miliki sebuah ide untuk Eki.

Setelah seluruh urusan kepanitiaan beres, saya langsung join bersama dengan ibu-ibu jama’ah pengajian. Tapi kemudian saya dan beberapa ibu yang lain ubah ke halaman, karena lebih bebas dan sanggup berdiri. Hanya saja halaman itu telah amat penuh dan berdesak-desakan. Justru saya memilih daerah yang paling ramai oleh pengunjung. Di kejauhan saya lihat Eki dan memberinya kode untuk mengikutiku.

Eki beranjak menuju ke arahku, waktu saya mengajak Bu Anjar untuk ke sebuah lokasi di bawah pohon di lapangan RW. Lokasi itu agak gelap karena bayangan lampu tertutup rindangnya pohon. Walaupun demikian, banyak anggota jama’ah di situ yang berdiri berdesak-desakan.

“Kita sini aja, Bu, terkecuali Ibu mau. Tapi terkecuali ibu keberatan, silakan Ibu ubah ke sana,” kataku pada Bu Anjar.

“Gak papa, Bu, di sini lebih bebas. Bisa bolos terkecuali telah kemaleman, hihihi..” kata Bu Anjar.

“Iya, ya. Biasanya pengajian ginian sanggup sampai jam 12 lho,”

Kami lantas bercakap-cakap bersama dengan seru sambil mendengarkan pengajian. Ternyata di sebelah Bu Anjar adan Bu Kesti yang juara negrumpi. Kami langsung terlibat pembicaraan benar-benar sambil sekali-kali mendengarkan ceramah terkecuali tepat ada cerita-cerita lucu. Kami berdiri agak di barisan tengah, Bu Anjar dan Bu Kesti mendapat daerah duduk di sebelahku.

“Bu, monggo terkecuali berkenan duduk,” tawarnya padaku.

“Wah, gak usah, Bu. Saya lebih bahagia berdiri gini aja,” jawabku. Padahal saya tengah tunggu Eki yang tengah berupaya menyibak kerumunan menuju ke arah kami.

Akhirnya Eki tiba di belakangku. Dua ibu-ibu sebelahku tidak menyimak Kedatangan Eki, tapi saya melirik anak muda itu dan menyuruhnya berdiri tepat di belakangku. Aku berubah berdiri sedikit di belakang bangku Bu Anjar dan

Bu Kesti. Sementara Eki bersama dengan langsung berdiri tepat di belakangku.

Dengan diam-diam saya menempelkan pantatku ke badan Eki. Eki tersenyum dan memajukan badannya. Pantatku yang semlohai langsung melekat pada kontol Eki yang telah tegang di balik celananya.

Aku berbisik pada Eki, “Buka, Ndun. Udah memanfaatkan kondom?”

Eki mengangguk dan mengakses risliting celananya. Segera tersembul batangnya yang telah mengeras. Segera kusibakkan baju panjangku ke atas dan nampaklah leggingku telah kuberi lobang di anggota belahan pantat. Eki terlihat terkejut, dan sekaligus mengerti maksudku.

Dengan pelan-pelan diarahkannya batang kerasnya ke lobang pantatku. Dan, slepppp… masuklah batang itu ke lobang favoritnya. Tangan Eki masuk ke dalam baju kurungku sambil mengelus-elus perutku. Batangnya berada di dalam lobangku sambil sesekali dimaju-mundurkan. Kami bercinta di tengah keramaian bersama dengan tanpa ada yang menyadari. Walaupun begitu saya senantiasa bercakap-cakap bersama dengan dua ibu-ibu tetanggaku, waktu di kanan kiri kami orang-orang sibuk mendengarkan ceramah bersama dengan berdesak-desakan.

Sekitar satu jam Eki memelukku dalam gelap dari belakang. Tiba-tiba tempikku berkedut-kedut, pingin ikut disodok. Kalau dari belakang artinya saya perlu lebih menunduk lagi. Pelan-pelan kutarik terlihat kontol Eki dan kulepas kondomnya. Aku lagi mengarahkannya, kali ini ke lubang tempikku. Eki mengerti. Lalu, bless… bersama dengan lancarnya kontol itu masuk ke tempikku dari arah belakang.

Ohh, enak sekali. Aku terasa tidak konsentrasi pada ceramah maupun pembicaraan dua ibu-ibu itu. Karena hanya sesekali kami bergoyang, maka adegan persetubuhan itu berjalan lumayan lama. Kepalaku telah terasa berkunang-kunang penuh kenikmatan. Di tengkukku saya merasakan nafas Eki jadi ngos-ngosan.

Beberapa waktu kemudian, saya mengalami orgasme hebat, tanganku gemetar dan langsung memegang sandaran bangku di depanku. Eki terhitung kemudian memuncratkan maninya dalam tempikku. Kami berdua nyaris bersamaan mengalami orgasme itu.

Setelah agak reda, saya mendorong Eki dan mengeluarkan kontolnya.

Cepat-cepat Eki memasukkan lagi ke dalam celana, dan kuturunkan baju anggota belakangku. Aku dan ibu-ibu itu memutuskan untuk pulang sebelum akan acara selesai. Untung saja saya dan Eki telah selesai. Dengan mengedipkan mata, saya menyuruh Eki untuk meninggalkan lokasi. Akhirnya terpuaskan terhitung kemauan kami sesudah hari-hari yang sibuk yang menengahi kami.

CeritaDewasa