Mendapat Kenikmatan Di Saat Bingung

kenangan.xyz – Namaku Roni. Aku saat ini duduk di bangku kuliah tingkat dua, di keliru satu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Sewaktu masih saya SMU dulu, tepatnya kelas tiga, saya dulu mempunyai pacar. Vivi namanya. Ia tidak cantik, kemungkinan manis lebih tepat, bersama kulit putihnya. Sayangnya, baru beberapa bulan kami menjalin hubungan, keluarganya pindah ke luar Jawa. Jadilah kami bersama hanya bersua beberapa bulan, harus menerima kenyataan. Percuma saya melarangnya ikut, sebab saya juga terbeban bersama tanggungan sekolahnya. Walaupun Mama Vivi selamanya tinggal di sini sebab telah bercerai, tetapi tanggungan biaya sekolahnya tidak dapat dibiayai sang Mama.
Sejak saat itu, hubungan kami berlanjut lewat surat. Entah hingga kapan berakhir, saya tidak tahu. Saat itu saya hanya menginginkan lekas-lekas membereskan sekolahku, dan mengadu nasib di pulau yang mirip bersama Vivi. Sungguh, saya benar-benar rindu padanya.
Setahun lewat hubungan kami masih selamanya harmonis, meskipun kadang terganggu oleh lambatnya surat yang sampai. Tiba-tiba, di suatu hari yang cerah dalam bulan Desember, saya menerima telepon penting. Kakak Vivi, yang telah lebih dulu ulang ke kotaku, berikan kabar mengejutkan. Ia menyebutkan kecuali Vivi saat ini berada di kota ini. Bukan main saya kaget bercampur gembira. Kalau jodoh sebenarnya tidak bakal lari jauh, pikirku senang.
Bergegas kudatangi Vivi. Betul-betul hari yang indah. “Kamu kangen saya nggak?” tanyanya manja. Tangannya membelai-belai rambutku. Aku tersipu. Kucium pipinya. “Kamu lebih gemuk”, cetusku gembira, “Tapi menjadi lebih item”, tambahku menggodanya. Ia tersenyum sambil mencubit lenganku. “Jahat”, katanya selamanya manja. Lalu kucium ulang pipinya. Aku menjadi bergairah. Tubuhnya kupeluk. Bibirnya kulumat bersama mesra, membebaskan kerinduan yang tertahan berbulan-bulan. Vivi meraba dadaku, dan kurasakan nafasku tertahan karenanya. “Jangan pulang, ya?” ucapnya memelas. Aku kaget. Ini tidak layaknya biasanya. Aku tahu dan tahu kecuali kami sebenarnya benar-benar saling merindukan, tetapi untuk tinggal di rumah itu? Kenapa ia dapat menyebutkan layaknya itu? Keinginannya tak kupenuhi. Aku masih berpegang norma dan agama. Aku selamanya pulang meskipun bersama konsekuensi harus singgah ke rumahnya tiap tiap hari. Toh, saya bahagia bersamanya.
Ternyata, apa yang berlangsung hari itu, hanya bertahan selama satu minggu saja. Setiap kali kudatangi rumah Vivi, Mamanya menyebutkan kecuali Vivi tengah keluar, tengah tidur, baru pulang dari dokter. Terakhir, saya singgah bersama seorang teman. Kakaknya yang membukakan pintu mengatakan, bahwa Vivi hendak pergi saat itu juga. Bagai disambar petir, kemarahanku langsung tertumpah pada kata-kataku yang nampak bersama tenang. “Oh…” ucapku menghindar marah, “Jadi, mirip sekali saya nggak dapat ketemu Vivi?” tanyaku memastikan. Kakaknya ragu. Tapi, ia langsung masuk ke dalam rumah. Dan Vivi lantas nampak bersama mengucapkan perihal yang sama. “Oh, iya, nggak apa-apa, kok, kalo rela pergi”, kataku ketus, “Tapi, nampak dulu, kek, kasih tau langsung aja. Jangan nyuruh-nyuruh Kak Voni. Emangnya saya temen anda apa?” Aku marah, dan Vivi tak tahu apa yang harus diperbuatnya saat itu.
Sejak hari itu, saya tidak dulu rela tahu berkenaan Vivi lagi. Aku telah dibuang. Sebulan kemudian, Vivi meneleponku ke rumah. Ia mengatakan, bahwa ia harus bersua denganku. Setelah mendorong-dorongku kecuali apa yang ia katakan tidak dapat disampaikan lewat telepon, saya kelanjutannya mengalah. Setelah sebulan, saya ulang bersua bersama Vivi. Orang yang kusayangi dalam beberapa bulan, dan setahun lebih lewat surat. “Kamu jadi gemuk aja”, kataku ketika kami bersua kembali. Dalam hatiku, saya menyimpan sebuah pertanyaan yang menginginkan kupastikan sendiri.
Vivi menjadi menceritakan apa yang ada di balik seluruh moment kemarin. Aku sedikit paham, dan tersenyum sendiri. Tebakanku benar, ia tengah hamil. Ruwetnya, suami Vivi tidak berada di kota ini, tetapi di tempatnya yang dulu. Ia ulang ke kota ini bersama alasan kabur. Aku tidak tahu alasan minggatnya sebab persoalan apa. Kupikir itu pasti aib keluarga. Sesuatu yang menarik justru di sini, sebab saya justru diminta oleh orang tuanya untuk menyelamatkan aib keluarga Vivi di kota ini, bersama menikahinya.
Kubayangkan saat itu, kemungkinan layaknya hujan es yang memecahkan genteng rumah, di saat kami tengah menyaksikan film Bart Simpson’s. Jadi ibarat buah simalakama. Aku menginginkan menikahinya, tetapi anak yang dikandung Vivi bukan milikku. Tapi, Vivi orang yang kusayangi. Anehnya, ia dapat terkait intim bersama orang lain. Aku menolak secara halus keinginan itu. Ternyata, orang tuanya tidak kalah strategi. Aku diperbolehkan tinggal di rumah Vivi sekamar dengannya. Tawaran menggoda iman dan penasaranku. Sungguh, saya penasaran.
Malam itu, kami ditinggal berdua di area tengah. Seperti biasa kami berciuman bersama mesra. Tapi, saya lantas menjadi coba menyusupkan tanganku ke balik dadanya. Ternyata Vivi tidak menolak, bahkan makin lama erat merangkulku. “Enak Sayang”, Vivi mendesah lirih di telingaku. Rambutnya kuremas-remas bersama penuh birahi. Lalu mulutku turun ke lehernya, dan Vivi mengiyakan bersama desahan-desahannya yang makin lama tersendat.
Beberapa menit ke depan, saya menjadi bosan bersama permainan itu. Aku perlu permainan yang lebih fresh. Maka, bersama sedikit ragu, kuselipkan tanganku ke balik celananya. Dan… Ternyata Vivi mengijinkannya. Ia jadi tidak berhenti mendesah. Apalagi ketika kutembuskan jari tengahku ke dalam kemaluannya. Vivi betul-betul mendesah hebat. “Oh, Roni.. Roni.. enak.. sedap Sayang…” Seperti yang kubayangkan, ketika kuajak ia masuk ke dalam kamarnya, Vivi tidak menolak. Langsung kubaringkan ia di area tidur, dan menindihnya. Aku masih awam lakukan persetubuhan, tetapi keberanianku saja yang menuntun. Roknya kulepaskan ke bawah. Dengan referensi film-film yang kutonton, kuciumi alat vitalnya bersama bergairah. Vivi hingga merintih tidak karuan dibuatnya.
Saat saya telah tidak kuat menginginkan merasakan burungku memasuki sarangnya, celanaku kubuka hingga setengah paha. Kusiapkan kejantananku dibantu bimbingan tangan Vivi. Dan kurasakan ulang indahnya terkait intim sejak saat itu. Aku sebenarnya dulu mencobanya bersama seorang pelacur, tetapi tidak dulu terulang kembali. Aku enggan. Dan Saat ini, saya sedikit kecewa pada Vivi akibat sikap dan pilihannya. Aku sedih lakukan dosa itu. Tapi, tiap tiap kali Vivi mengajakku ke rumahnya, saya selamanya tidak dapat menolak. Dan kelanjutannya saya ulang bersenggama dengannya. Ingin kutinggalkan ia seorang diri, tetapi rasa sayangku masih tersisa untuknya.
Anak yang dikandungnya telah lahir. Umurnya kemungkinan telah dua tahun. Sayangnya, Mama Vivi tidak menginginkan ia memelihara anak itu. Kata Vivi, anak itu diberikan pada keluarganya yang lain. Tapi, Mamanya berbicara padaku, bahwa Vivi tidak dapat mengurus anaknya. Aku tidak ambil peduli. Aku capek bersama hubunganku yang layaknya ini. Setiap kali saya sendirian di rumah, saya selamanya terbayang tubuh Vivi, dan setengah jam lantas saya telah berada dalam perjalanan menuju rumahnya. Satu-satunya jalan, sebenarnya saya harus mencegah dari darinya. Tapi, saat ternyata belum menambahkan apa yang kuinginkan. Sampai saat ini saya masih belum terlepas dari persoalan ini.
Seandainya ada diantara para pembaca yang menginginkan membantuku, tolong berikan petunjuk anda ke e mail saya.