Mengejar Cinta Yang Dulu Pernah Ada
kenangan.xyz, Mengejar Cinta – Beberapa bagian dari cerita fiksi ini bakal dianggap tidak layak dikonsumsi kalangan bersama umur dibawah 17 tahun, serta melanggar standar kebiasaan sopan santun dan budaya di area anda. Harap diinggat bahwa karya fiksi non ilmiah ini hanya sebagai hiburan untuk anda yang telah dewasa. Kesamaan nama, area atau urutan bersama kehidupan nyata anda sekedar kebetulan semata.
Sinar matahari yang tengah tenggelam menerobos kamar hotel bernomor 718. Lukisan kapal VOC yang tengah menerjang ganasnya Samudera Hindia nampak makin dramatis terkena cahaya jingga. Sella terbangun bersama mata yang tetap menjadi berat. Handphone yang ditaruhnya pada meja nakas di samping area tidur bergetar konsisten menerus. Tangannya yang seputih susu menggapai handphone yang tengah di-charge.
“Berita duka, istri bapak meninggal tadi subuh di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung sebab kanker. Mohon do’a nya, nak.”
Pesan singkat yang dibacanya itu mempunyai dirinya ke jaman lalu di tahun 2000. Itulah kenangan terakhir bersama bapak saat dirinya berusia 10 tahun. Namun demikian, jarak yang mengantarai tidaklah sebabkan komunikasi terputus. Dirinya tetap ingat sang bapak berikan sebuah handphone Nokia sebagai hadiah perpisahan. Sejak saat itu hampir tiap-tiap hari mereka bertukar kabar melalui pesan singkat. Tetapi makin lama komunikasi yang berjalan makin jarang. Dan saat ini mereka hanya berkabar setahun dua kali saja yakni saat lebaran dan natal.
“Siapa sayang, kok maksa banget nelponnya ?” Dari balik selimut seseorang bertanya.
“Bukan telepon, sekedar SMS. Keluarga ngasih kabar ada yang meninggal.” Sella buru-buru memasukkan handphone ke tas tangan.
“Siapa ? Hari gini tetap menggunakan SMS ?” Donny bertanya sambil menggeliat dan tangannya menggapai pinggang pacarnya yang telanjang.
“Ah, anda gak bakal kenal. Keluarga yang telah lama ngga dulu ketemu.” Sella tak mendambakan memberitahu pacarnya berkenaan urusan jalinan pada dia dan bapaknya. Terlalu rumit untuk diceritakan dan dirinya belum rela bercerita.
“Oooh…..” Donny seperti mengetahui keberatan Sella yang tak bercerita lebih lanjut, namun sesungguhnya dia tak terlampau perduli bakal hal itu. Buatnya lebih penting menggunakan saat di Jumat sore ini sebaik-baiknya untuk bermesraan bersama pacar yang jarang bertemu.
Sella menyibakkan selimut yang tetap menutupi setengah badannya lalu duduk di pinggiran area tidur hotel yang empuk. Telapak kakinya yang hangat bersua bersama lantai yang dingin sebab di hotel ini tak ada karpet. Perlahan dia bangkit dan melangkah menuju sofa. Donny yang tetap tiduran menatap tubuh telanjang pacarnya yang berjalan bak peragawati. Pantat Sella yang putih bersih berbalut celana didalam hitam nampak makin bening menggoda bersama goyangan kiri-kanannya. Pantat Sella kecil condong tepos seperti seperti perempuan-perempuan keturunan tionghoa lainnya. Tetapi berpadu bersama kaki yang jenjang bersama warna kulit yang begitu bening dan bersih sebabkan kejantanannya perlahan menggeliat dan tegang. Sejak tadi siang mereka telah dua kali bercinta, namun menambah satu kali kembali terhitung Donny tak bakal menjadi keberatan.
Sella mengambil alih sebatang rokok slim diatas meja, menyalakannya bersama korek api kayu yang disediakan hotel, lalu duduk di ujung sofa sambil menatap matahari yang kian jingga. Jantung Donny berdesir lihat pose Sella yang artistik seperti didalam lukisan para seniman. Dia ikut bangun dan melangkah menghampiri pacarnya yang tengah termenung sambil merokok.
“Minta rokok anda sayang, roko saya habis tadi.” Donny mencomot sebatang rokok yang buatnya berukuran terlampau kecil, namun sebab rokoknya habis terpaksalah dihisapnya juga. Dia duduk di sebelah Sella, menatap matahari yang makin tenggelam didalam keheningan. Pikiran mereka berdua melayang sendiri-sendiri.
“Sayang, cobalah berdiri di balkon. Aku rela membuat foto anda kayanya bagus.” Donny tiba-tiba mendapat ide, dia langsung menyimpan rokok yang tetap menyala di asbak lalu mengambil alih sebuah kamera.
“Tar dulu, saya pake baju dulu.” Jawab Sella sedikit malas pada hobby Donny yang senantiasa memotret dirinya.
“Cepetan, moment-nya bagus banget nanti keburu hilang. Udah pake celana dalem doang aja jadi bagus banget.” Donny mengatur parameter di kameranya untuk mengatur bersama cahaya matahari.
“Banyak orang di bawah ah.” Komplain Sella.
“Dah… gapapa… amal dikit….” Kata Donny kembali sambil cengengesan.
Sella sesungguhnya sedikit heran bersama sikap pacarnya yang sering sekali memotretnya didalam beraneka keadaan khususnya pose yang sensual.
Kamu cantik banget jadi mesti diabadikan, begitu alasannya. Dasar berondong mesum, pikir Sella.
“Disini aja.” Sella berdiri menempatkan posisi sensual di pintu balkon.
“Aaah mundur kembali sana deket pagar.” Donny berikan arahan.
“Ogah, banyak orang dibawah.” Sella menyatakan kembali keberatannya.
Donny mengambil alih sebagian foto didalam beraneka pose. Tubuh Sella yang setengah telanjang sesungguhnya indah sekali diterangi cahaya matahari sore di belakangnya.
“Nih simak fotonya siluet kaya gini seksi banget sayang.” Donny menghampiri Sella yang tetap berdiri di pintu balkon.
Hasil jepretan Donny sesungguhnya senantiasa bagus, maklum dia telah hobi fotografi dari sejak dulu. Kalau saja Donny bukan seorang anak entrepreneur yang kaya raya mungkin dia telah jadi fotografer profesional. Mereka telah lima tahun berpacaran dan belum mengetahui bakal dibawa kemana jalinan itu sebab orang tua Donny tak setuju bersama jalinan mereka. Alasannya adalah sebab Sella lebih tua lima tahun dari Donny yang sekarang berusia 27. Sella sendiri telah memasuki umur 32, sebuah umur yang telah kelewat matang untuk seorang perempuan.
Sella bukan tak mendambakan mencari pacar lain yang sanggup lebih terima usianya, namun Donny senantiasa mengejarnya manakala dirinya menghendaki putus sebab jaman depan yang tak jelas. Dipadu bersama beraneka hadiah dan gelimang uang yang teratur diberikan, Sella selanjutnya terima saja jalinan yang menggantung itu, backstreet dari orang tua.
Donny menyimpan kamera di lantai lalu memeluk Sella. Matahari sekarang telah terlampau tenggelam di Selat Sunda dan dunia jadi temaram diterangi lampu balkon yang berwarna kekuningan.
“Yang…. nanti diliat orang….” Sella berusaha terlepas dari pelukan Donny. Tetapi Donny konsisten saja memeluk dan menahannya.
“Kita ML disini yang…. uhh… napsuin….” Donny sebabkan Sella merunduk berpegangan pada pintu. Celana didalam Sella diperosotkan hingga menggantung di lutut.
“Ahhhhhh…… anda seksi banget….” Gumamnya disaat menancapkan kejantanannya dari belakang.
“Sayang…. aduh nanti diliat orang…” Sella senantiasa melancarkan protes saat kejantanan Donny menerobos vaginanya dari arah belakang.
“Biarin…. biar pada terangsang…. mereka terhitung tentu rela ngentot cewek chinese kaya kamu….” Donny tertawa sambil menghajar vagina Sella yang mumbul dari sela-sela pantatnya yang nungging.
Beberapa orang di pinggir pantai lihat apa yang tengah mereka jalankan di kejauhan. Donny jadi jadi bernafsu seakan bangga pada dunia bahwa dia mempunyai pacar cantik dan seksi untuk disetubuhinya bersama sesuka hati. Akhirnya asumsi bahwa mereka bersetubuh bersama ditonton orang di pantai sebabkan birahi Donny memuncak dan cepat selesai. Sella tertawa disaat cairan hangat menjadi membasahi rahimnya.
“Kamu senantiasa cepet nampak kalo berfantasi gitu……”
“Hahaha….” Donny hanya tertawa saja menanggapi komentar Sella yang masuk kedalam untuk mengambil alih tissue.
Donny kembali duduk di sofa dan menghisap rokok yang tadi ditaruhnya di asbak didalam keadaan menyala.
“Sayang…. sebentar kembali kami pulang….” Kata Donny.
Sella langsung cemberut.
“Pulang ke istri anda ?” Tanyanya entah meyakinkan, entah menyindir.
Donny hanya tertawa.
“Sayang… anda mesti ngerti… Christine itu pilihan bapak sama mamaku, dan saya ngga cinta sama dia.”
Sella tak menanggapi.
**********
Bersambung.
Langsung update deh, mumpung sempet.
Btw cerita ini tidak melibatkan adegan ihik ihik dibawah 17 tahun ya. Semua pemeran telah dewasa.
Selamat menikmati.
*********************************
1. Sendiri
Ki Ardayat terpekur sendiri di rumahnya yang sederhana, sesederhana baju yang dikenakannya bersifat sarung motif kotak-kotak bersama atasan batik coklat yang telah memudar lengkap bersama peci hitam yang pinggirannya telah berwarna pirang saking tua-nya. Tetangga yang tadi berkumpul untuk jalankan tahlil doa bersama sekarang seluruh telah pulang. Ki Ardayat tetap belum percaya bahwa saat ini dirinya tinggal seorang diri di dunia tanpa istri, tanpa anak, apalagi cucu. Dulu dia dulu mempunyai anak Laki-laki hanya satu namun anaknya meninggal sebelum saat memberikan cucu pada dirinya. Dan sekarang istrinya terhitung pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya.
Warung kelontongan yang sepanjang ini menghidupi dirinya beserta istri mungkin tak bakal sanggup dia lanjutkan. Dulu dia dibantu Hanum istrinya yang meninggal lantaran mengidap sakit jantung yang diderita sejak muda. Selama itu Hanum bertahan bersama bulak-balik ke rumah sakit, namun di usianya yang 58 tahun Hanum selanjutnya menyerah juga. Sekarang dia mesti hidup bersama siapa ? tak mungkin dia terus-terusan menghendaki pemberian Siti menantunya yang sejak dulu telah berkeluarga lagi. Menantu yang baik itu tak dulu lupa pada dia dan istrinya biarpun saat telah berlalu lama sejak anak Laki-laki Ardayat meninggal.
Ingatan Ki Ardayat terbang ke jaman silam lebih kurang tahun 1990, tiga puluh tahun lalu di mana dia merantau ke Jakarta untuk mencari nafkah. Ada sebagian hal yang membuatnya merantau, yang khususnya sebab pengobatan Hanum perlu ongkos yang memadai tinggi dan teratur supaya tak mungkin dia biayai dari hasil buruh tani di kampungnya. Walaupun usianya saat itu menginjak 40 tahun, namun selanjutnya keperluan uang memaksanya menggadu nasib di Jakarta sebagai karyawan toko. Lebih tepatnya adalah kuli toko sebab Koh Joni lebih perlu tenaganya untuk mengangkat-angkat barang dagangan di gudang.
Ki Ardayat tersenyum mengingat Koh Joni yang berkepala plontos bersama tubuh gemuk. Setiap hari Koh Joni hanya mengenakan celana hitam setengah tiang bersama kaos putih bermerek angsa merah. Suara Koh Joni tetap terngiang di telinganya.
“Dayat…. lu olang jangan wanyak ngeloko haaaa…. nanti kalo kewakalan owe amsiooong !” Kata Koh Joni sambil mengipas-ngipas tubuhnya yang kegerahan. Lidahnya yang cadel senantiasa menyebut ‘kebakaran’ bersama ‘kewakalan’, dan kebakaran adalah keliru satu kecemasan terbesar Koh Joni. Daerah Tamansari di Jakarta adalah area yang panas baik secara fisik maupun secara moral. Daerah itu tenar dekat bersama pusat maksiat para hidung belang di Jakarta. Tapi dari para hidung belang itulah sesungguhnya ekonomi disana jadi hidup.
Toko Koh Joni adalah toko grosir kelontongan yang jadi area warung-warung kecil di Tamansari belanja. Dagangannya tak ada lain adalah keperluan sehari-hari seperti beras, minyak, rokok, susu, mi instan. Harga jual Koh Joni yang miring sebabkan warung-warung kecil belanja untuk dijual lagi.
“Yaat… lu olang siapin belanjaan Bu Haji nih…” Kata Koh Joni sambil berikan secarik kertas bersama postingan tangan sama cakar ayam. Ardayat terima kertas itu dan masuk ke gudang penyimpanan di bagian belakang toko sekaligus rumah Koh Joni. Dia terlampau suka untuk buat persiapan belanjaan yang umumnya dimasukkan kedalam kardus-kardus bekas untuk dibawa pembeli. Hanya dirinya yang dipercaya untuk masuk ke gudang sebab dia adalah karwayan yang jujur tak dulu mengutil barang di gudang. Karyawan sebelumnya senantiasa mempunyai masalah bersama mengambil barang. Ardayat suka tertawa didalam hati kalau mengingat Koh Joni percaya dirinya jujur, namun Koh Joni tak tau bahwa dirinya tak sejujur yang dikira. Bukan berkenaan mencuri, namun berkenaan lain.
Ardayat masuk ke Gudang yang sumpek bersama tumpukan barang berkardus-kardus. Hati Ardayat suka sebab ada suatu hal yang sebabkan dia suka untuk masuk ke gudang. Dia sanggup sedikit beristirahat di gudang tanpa ocehan Koh Joni yang bawel.
Satu per satu barang yang ada di secarik kertas itu dia ambil dan kumpulkan. Total belanjaan ada dua kardus yang didalam saat tiga menit telah selesai dia masukkan dan kardusnya diikat bersama tali rafia.
Hmm…. saya kerja memadai cepat, tetap ada saat lima menit untuk sebuah hiburan.
Ardayat menyelinap ke sebuah pintu kecil yang menghubungkan gudang bersama bangunan yang jadi area tinggal Koh Joni.
“Li….. Lily….” Ardayat memanggil seseorang bersama sebuah bisikan.
Seorang gadis bersama rambut lurus berkepang dua tengah asik bermain boneka. Ardayat menghampiri.
“Lily…. kembali apa ?” Gadis kurus itu kaget dan berbalik ke arah Ardayat.
“Bang Dayaaaat….. ini Sinta sakit mesti di cek dokteeeer….”
Lily adalah hasil product gagal dari budaya pernikahan sesama sepupu yang ditunaikan dari generasi ke generasi. Keinginan untuk pelihara supaya kekayaan dan harta benda tidak jatuh ke tangan orang lain sebabkan saudara kami dari suku keturunan Chinese enggan menikahkan anaknya bersama pihak lain. Mereka lebih suka untuk menikahkan anaknya pada pihak yang tetap mempunyai jalinan sepupu. Dan hasilnya sehabis sekian generasi keliru satunya adalah Lily yang kurang lengkap secara mental.
Lily yang berusia 18 tahun tetap berlaku seperti anak kecil, khususnya kembali secara fisik matanya agak jereng.Tetapi tak hanya dari itu fisik Lily normal tak kurang suatu apa kalau badannya yang kurus kurang gizi.
“Oooh gituuu…. sini Sinta mesti di cek sama Dokter Dayat.” Tangan Ardayat mengambil alih sebuah boneka barbie dari tangan Lily. Boneka itu ditidurkan di kursi sofa yang telah usang. Ardayat berpura-pura memeriksa kesegaran boneka yang diberi nama Sinta itu.
“Waaah ini Sinta sakit perut, makan permen melulu ya ?” Ardayat pintar bermain boneka-bonekaan.
Lily mengangguk mengiyakan.
“Dokter periksa perutnya yaaaa…..” Ardayat tetap konsisten bersandiwara.
“Naaaah… Sinta telah pulih niiiih.” Ardayat memberikan kembali boneka Sinta ke tangan Lily yang kegirangan sebab ada rekan bermain.
“Eeeh…. ini temennya Sinta terhitung sakit perut.” Ardayat memegang kepala Lily memeriksa suhunya. Kalau difikir sih aneh, jaman yang sakit di perut namun yang di cek di kening ? Tapi begitulah, dokter betulan terhitung sering begitu, pikir Ardayat.
“Ayo sini Lily di cek sama Dokter Dayat.” Kata Ardayat sembari menuntun Lily untuk tidur terlentang di sofa usang. Koh Joni sesungguhnya keterlaluan, uang banyak namun tak dulu rela mengganti perabotan biarpun telah usang.
Sayang luwit, sofa balu halganya mahal, oe oe oe….. Begitu biassanya alasan Koh Joni yang hidup simpel condong kikir.
Lily kegirangan diajak bermain dokter-dokteran. Dia langsung mengikutin wejangan Ardayat untuk tidur terlentang di sofa.
“Coba dokter periksa mulutnya. Aaaaaa ….” Lily membuka mulutnya lebar-lebar, dan Ardayat berkomentar.
“Waduuh ini terhitung umumnya makan permen.” Dokter Ardayat mengambil alih pemikiran sementara.
“Ini mesti di cek perutnya. Coba matanya merem dulu biar ngga malu.” Dokter Ardayat berikan perintah, dan Lily yang mentalnya kurang sehat menurut bersama riang gembira.
Setelah Lily memejamkan mata, giliran Ardayat yang kegirangan.
“Niih dokter periksa dulu perutnya yaaaa.” Kata Ardayat sembari mengangkat bagian bawah baju terusan Lily yang mengenakan kostum seperti Cinderella. Perlahan bagian rok Lily terangkat, namun Lily senantiasa diam menghayati dirinya tengah di cek dokter.
“Nah kan dokter bilang terhitung apa, jangan umumnya makan permen, jadi perutnya kembung.” Tangan Ardayat menyimpan ujung rok Lily di dada remaja sakit mental itu. Mata Ardayat jelalatan menjelajahi kaki kurus berkulit mulus. Tangan Ardayat ditempelkan di perut Lily yang kerempeng, berpura-pura menghimpit nekan.
Emh…. mulus banget nih anak si Kokoh.
Tangan Ardayat bergerak ke bawah, menelusuri perut Lily dan konsisten ke bawah. Jemari Ardayat bersarang di sebuah gundukan yang empuk, dia menekan-nekannya sambil menelan ludah.
Lilyyy…. Lily… nasibmu malang. Udah gede kelakuanmu tetap kaya bocah.
“Pipisnya terhitung satit kan ? Dokter rela periksa dulu yaaa.” Ardayat menyampirkan celana didalam Lily ke samping. Gadis remaja 18 tahun yang ketinggalan mental itu mengangguk sambil tersenyum.
Dalam hatinya Ardayat bersorak, dia tertegun-tegun lihat selangkangan Lily hanya ditumbuhi bulu yang terlampau tipis.
Untung jembutnya tipis banget…. jadi keliatan banget meki-nya yang tembem. Padahal anak ini kurus banget, kenapa meki-nya tembem ya ? wihhhh putih bersih lagi. Otak Ardayat mesum sekali.
Ardayat membasahi jari tengah bersama langkah dijilat diberi ludah. Jari itu ditempelkan kembali dan digosok perlahan pada belahan selangkangan Lily.
“Dokter periksa dulu yaaaa….” Jari Ardayat menyelinap.
Aduuuh… anget sekali…… dan empuk.
Kalau jadi buruh tani di kampung, mana mungkin dapet rejeki meki chinese kaya gini.
Ardayat selanjutnya membebaskan jarinya dari celah selangkangan yang halus mulus hampir tanpa bulu itu.
Satu tangannya senantiasa memegang celana didalam Lily supaya menyampir terbuka ke samping. Satu tangan lainnya membuka ritzsluiting celana dan menjadi mengocok batang kejantanannya yang tegang.
Hanum, istri Ardayat yang dinikahi 15 tahun lalu mengidap penyakit jantung. Katanya jantungnya bocor, Ardayat tak mengetahui apa itu jantung bocor. Mungkin seperti kompresi mesin motor yang bocor, tak bertenaga jadinya. Hanum terhitung begitu, tak sanggup bekerja berat. Bahkan untuk berhubungan suami istri saja Hanum jarang sekali sanggup diajak. Dan sekalinya bisa, tak boleh melakukannya bersama penuh semangat. Semua mesti ditunaikan hati-hati. Maka dari itu Ardayat seperti mendapat durian runtuh saat kenal bersama Lily yang jadi anak juragannya. Lagipula Lily begitu polos tak bakal mungkin mengadu ke Koh Joni.
Mata Ardayat nanar menatap gundukan daging di selangkangan Lily yang terlentang. Kocokan Ardayat di batang kejantanannya dipercepat, sebab berburu bersama waktu. Kalau terlampau lama, sanggup curiga nanti Koh Joni.
Gundukan selangkangan itu nampak nikmat sekali, Ardayat sempat terpengaruh untuk menempelkan kejantanannya disana. Tapi waktunya tak cukup, lagipula dirinya belum mengetahui apakah Lily bakal teriak ? Ah lebih baik begini saja, yang penting aman.
Kocokan Ardayat makin cepat.
“Aaaaakkkh……” Mulutnya menjerit lirih tatkala batang kejantanannya memuncratkan cairan kental yang diarahkan ke lantai.
Crot… crot… crot….
Waktu Ardayat hampir habis, kalau tidak cepat balik maka Koh Joni tentu ngomel-ngomel. Dengan langsung diraihnya tissue yang telah dia persiapkan di saku celana. Ardayat mengelap sperma yang berceceran di lantai lalu membuangnya di toilet bersama langkah disiram air hingga mengalir masuk ke didalam WC.
“Naaah telah pulih kan ? Dokter pergi ke rumah sakit kembali ya.” Kata Ardayat sambil menutup kembali rok Lily yang tersingkap.
“Besok dokter-dokteran kembali ya Bang Dayat.” Lily membuka mata sambil menghendaki aktivitas itu ditunaikan kembali besok.
“Iya… besok dokter balik lagi.”
Dan Ardayat menyelinap secepat kilat kembali ke gudang mengambil alih dua kardus memuat belanjaan Bu Haji.
“Ngambil balangnya ada masalah Yat ?” Komentar Koh Joni.
“Iya… Koh Joni naro nya asal-asalan sih. Nyari nya susah.” Kata Ardayat sambil memberikan dua kardus belanjaan ke Bu Haji yang bete menunggu.