Pacar Kakak Ku Tempas Pelampiasan Nafsu Ku

Pacar

Pacar Kakak Ku Tempas Pelampiasan Nafsu Ku

Pacar
Pacar Kakak Ku Tempas Pelampiasan Nafsu Ku

kenangan.xyz – Siang itu, ponselku berbunyi, dan nada merdu dari seberang sana memanggil. “Di, anda ke rumahku duluan deh sana, saya tetap meeting. Dari pada anda kena macet di jalan, mendingan jalur saat ini gih sana.” “Oke deh, saya menuju rumah anda sekarang. Kamu meeting sampai jam berapa?” “Yah, sore telah pulang deh, menanti aja di rumah.” Meluncurlah saya bersama dengan motor Honda ke sebuah rumah di keliru satu kompleks di Jakarta.

Vina memang kariernya sedang naik daun, dan dia banyak melaksanakan meeting akhir-akhir ini. Aku sih telah miliki posisi lumayan di kantor. Hanya saja, kemacetan di kota ini begitu parah, menjadi lebih baik membeli motor saja dari pada membeli mobil. Vina pun tak keberatan mengarungi pelosok-pelosok kota bersama dengan motor bersamaku.

Kebetulan, pekerjaanku di sebuah biro iklan sebabkan saya dapat pulang di sedang hari, namun dapat termasuk sampai menginap di kantor jikalau ada proyek yang mesti digarap habishabisan. Vina, pacarku, mendapat sarana antar jemput dari kantornya. Jadi, saya dapat tenang saja pergi ke rumahnya tanpa mesti menjemputnya khususnya dulu. Sesampai di rumahnya, pagar rumah tetap tertutup walau tidak terkunci.

Aku mengetok pagar, dan keluarlah Marta, kakak Vina, untuk membuka pintu. “Loh, enggak kerja?” tanyaku. “Nggak, saya izin dari kantor sudi ngurus paspor,” jawabnya sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door lebar-lebar agar motorku masuk ke dalam. “Nyokap ke mana?” tanyaku lagi. “Oh, dia ulang ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata Marta, “Kamu sudi duduk di mana Dodi? Di di dalam nonton TV termasuk boleh, atau jikalau sudi di teras ya enggak apa juga. Bentar yah, saya ambilin minum.”

Setelah motor parkir di di dalam pekarangan rumah, kututup pagar rumahnya. Aku memang akrab bersama dengan kakak Vina ini, umurnya cuma lebih kurang dua th. dari umurku. Yah, saya menanti di teras sajalah, canggung termasuk rasanya duduk nonton TV bersama dengan Marta, apalagi dia sedang gunakan celana pendek dan kaos oblong. Setelah beberapa lama menanti Vina di teras rumah, saya celingukan termasuk tak paham sudi buat apa.

Iseng, saya melongok ke area tamu, hendak memandang acara televisi. Wah, ternyata mataku jadi terpana pada paha yang putih mulus bersama dengan kaki menjulur ke depan. Kaki Marta ternyata amat mulus, kulitnya putih menguning. Marta memang sedang melihat TV di lantai bersama dengan kaki berjelonjor ke depan. Kadang dia duduk bersila. Baju kaosnya yang tidak tebal khas kaos rumah menampakkan tali-tali BH yang dapat kutebak berwarna putih. Aku cuma berani sekali-kali mengintip dari pintu yang menghambat teras depan bersama dengan area tamu, sesudah itu barulah area nonton TV. Kalau saya melongokkan kepalaku semua, yah segera terlihatlah wajahku. Tapi rasanya ada permintaan untuk memandang dari dekat paha itu, biar cuma sepintas.

Aku berdiri. “Ta, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki area tamu. “Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu. Saat mencari-cari koran itulah kugunakan pas untuk memandang paha dan postur tubuhnya dari dekat. Ah, putih mulus semua. Buah dada yang tepat bersama dengan tubuhnya. Tingginya lebih kurang 160 cm bersama dengan tubuh langsing terawat, dan buah dadanya kukuh melekat di tubuh bersama dengan pasnya. “Aku ingin dada itu,” kataku membatin. Aku mengayalkan Marta di dalam situasi telanjang. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah gravitasi. “Heh! Kok anda ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Vina lho!,” Marta menghardik. Dan saya cuma terbengong-bengong mendengar hardikannya.

Aku tak dapat berucap walau cuma untuk membantah. Bibirku membeku, malu, cemas Marta bakal menyatakan ini seluruh ke Vina. [wpdevart_like_box profile_id=”CeritaSexBergairah” connections=”show” width=”300″ height=”150″ header=”small” cover_photo=”show” locale=”en_US”] “Apa anda melotot begitu, sudi ngancem?! Hah!” “Astaga, Marta, kamu.. anda keliru sangka,” kataku tergagap. Jawabanku yang penuh kegamangan itu jadi sebabkan Marta jadi naik pitam. “Saya bilangin anda ke Vina, pasti saya bilangin!” katanya setengah berteriak. Tiba-tiba saja Marta beralih menjadi sangar. Kekalemannya layaknya hilang dan bisa saja dia mulai harga dirinya dilecehkan. Perasaan yang lumrah kupikir-pikir. “Marta, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya. saya enggak bermaksud apa-apa,” saya sedikit memohon.

“Ta, tolong dong, jangan bilang Vina, kan cuma ngeliatin doang, itu termasuk enggak sengaja. Pas saya ulang sudi ngambil koran di bawah meja, baru saya review elu,” kataku mengiba sambil mendekatinya. Marta jadi jadi marah bercampur panik pas saya mendekatinya. “Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,” katanya garang. Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku secara tidak sengaja mendekatinya ke area tamu, dan itu jadi membuatnya panik. “Duh, Ta, maaf banget nih.

Saya enggak ada maksud apa-apa, beneran,” kataku. Namun, situasi telah berubah, Marta jadi menganggapku sedang mengancamnya. Ia mendorong dadaku bersama dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan, saya tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih tangannya yang tetap tergapai pas mendorongku. Raihan tangan kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan kirinya. Tubuhnya terbawa ke arahku namun tak sampai terjatuh, saya pun sukses menjaga keseimbangan. Namun, situasi jadi runyam. “Eh! anda kok jadi tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu? Lepasin enggak!!,” kata Marta. Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya. Mungkin saya belum sempat paham situasinya.

Merasa terancam, Marta jadi sekuat tenaga melayangkan tangan kanannya ke arah mukaku, hendak menampar. Aku lebih cekatan. Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya telah kupegang tanpa sengaja. Kudorong dia bersama dengan tubuhku ke arah sofa di belakangnya, maksudku cuma mengusahakan untuk menenangkan dia agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, saya justru menindih tubuh halus itu. Marta terduduk di sofa, pas saya terjerembab di atasnya. Untung saja lututku tetap dapat menghindar pinggulku, namun tanganku tak dapat menghindar bagian atas tubuhku karena tetap mencengkeram dan menghimpit kedua tangannya ke sofa. Jadilah saya menindihnya bersama dengan mukaku melekat di pipinya. Tercium aroma wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik bibirku mengecup pipinya bersama dengan lembut. Tak ayal, sepersekian detik itu pula Marta meronta-ronta. Marta berteriak, “Lepasin! Lepasin!” bersama dengan paraunya. Waduh, runyam banget jikalau terdengar tetangga. Yang saya melaksanakan cuma refleks menutup mulutnya bersama dengan tangan kananku.

Marta mengusahakan memekik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya, “Hmm!” saja. Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku justru bergerak liar, ingin mencapai wajahku. Hah! Tak terpikir, posisiku ini amat layaknya bermaksud memperkosa Marta. Dan, Marta sepertinya pantas untuk diperkosa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di sofa, saya di atasnya bersama dengan posisi mendudukinya namun berhadapan. Kakinya cuma dapat meronta namun tak bakal dapat mengusir tubuhku dari pinggangnya

yang telah kududuki. Tangan kanannya tetap di dalam situasi tercengkeram dan ditekan ke sofa, tangan kirinya cuma dapat menggapai-gapai wajahku tanpa dapat mengenainya, mulutnya tersekap. Tubuh yang putih itu bersama dengan lehernya yang jenjang dan sedikit muncul urat-urat karena bisnis Marta untuk memekik, amat membuatku dilanda nafsu tak kepalang. Aku berpikir bagaimana memperkosanya tanpa mesti melaksanakan beragam kekerasan layaknya memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar otak keparat, terserang nafsu, dua tiga detik lantas saya beroleh caranya.

Tanpa diduga Marta, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Marta bereaksi, kedua tanganku telah mencengkeram erat lingkaran celana pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke belakang. Kaki Marta yang meronta-ronta tetap ternyata mempermudah usahaku, kutarik sekeraskerasnya dan secepat-cepatnya celana pendek itu beserta celana di dalam pinknya. Karena kakinya meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pantatnya pas saya meloncat mundur. Celana pendek dan celana di dalam pink itu pun lolos bersama dengan mudahnya sampai melewat dengkul Marta. Astaga! Berhasil! Marta menjadi setengah bugil. Satu dua detik Marta pun sempat terkejut dan terdiam memandang situasi ini. Kugunakan kelengahan itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celana dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Marta sadar, dia hendak memekik dan meronta lagi, namun saya telah siap. Kali ini kubekap ulang mulutnya, dan kususupkan tubuhku di antara kakinya.

Posisi kaki Marta menjadi menjepit tubuhku, karena dia telah tak bercelana, saya dapat memandang vaginanya bersama dengan kelentit yang lumayan jelas. Jembutnya cuma menutupi bagian atas vagina. Marta ternyata rajin menjaga alat genitalnya. Pekikan Marta sukses kutahan. Sambil kutekan kepalanya di sandaran sofa, saya berbisik, “Marta, anda telah kayak gini, jikalau anda teriak-teriak dan orang-orang dateng, yakin enggak orang-orang jikalau anda ulang saya perkosa?” Marta tiba-tiba melemas. Dia paham situasi yang pas ini berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia cuma menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Marta cuma berujar sambil mengisak, “Dodi, please.. Jangan diapa-apain saya. Ampun, Di. saya enggak bakal bilang Vina. Beneran.”

Bercinta Dengan Kakak Pacarku – Namun, situasi telah kepalang basah, syahwatku pun telah di ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya bersama dengan mengusahakan mencium bibirnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku segera saja menelusup ke selangkangannya. Marta tak dapat mengelak. Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vaginanya, pas itulah titik balik segalanya. Marta layaknya terhipnotis, tak ulang bergerak, cuma menegang kaku, lantas mendesis halus tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah. Seperti mendapat angin, saya permainkan jari sedang dan telunjukku di vaginanya. Aku permainkan kelentitnya bersama dengan ujung-ujung jari tengahku. Marta mengusahakan berontak, namun tiap tiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya jadi sukar ditutupi pas jari tengahku masuk untuk pertama kali ke di dalam vaginanya.

Kukocokkan perlahan vaginanya bersama dengan jari tengahku, sambil kucoba untuk mencumbu lehernya. “Jangan Dod,” pintanya, namun dia selalu mendesah, lalu memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit, membuatku leluasa mencumbui lehernya. Dia tak meronta lagi, tangannya cuma terkulai lemas. Sambil kukocok vaginanya dan mencumbui lehernya, saya membuka resleting celanaku. “Adik”-ku ini memang telah menegang sempurna sedari tadi, namun tak sempat kuperlakukan bersama dengan selayaknya. Karena tubuhku telah berada di antara kakinya, enteng bagiku untuk mengarahkan penisku ke vaginanya. Marta memang tetap di dalam pergulatan batin.

Dia tak dapat mengelak terjanganterjangan nafsunya pas vaginanya dipermainkan, namun ia termasuk tak ingin kehilangan harga diri. Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun termasuk mendesah-desah tak karuan. Aku dapat membaca situasi ini karena dia selalu mengusahakan memberontak, namun vaginanya jadi jadi basah. Ini tanda dia tak dapat mengalahkan rangsangan. Penisku mengarah ke vaginanya yang telah becek, pas kepala penis bersentuhan bersama dengan vagina, Marta tetap sempat mengusahakan berkelit. Namun, itu seluruh sia-sia karena tanganku segera memegangi pinggulnya. Dan, kepala penisku pun masuk perlahan. Vagina Marta layaknya berkontraksi. Marta tersadar,

“Jangan..” teriaknya atau terdengar layaknya rintihan. Rasa hangat segera menyusupi kepala penisku. Kutekan sedikit lebih keras, Marta sedikit menjerit, setengah penisku telah masuk. Dan satu sentakan berikutnya, seluruh penisku telah ada di di dalam vaginanya. Marta cuma memejamkan mata dan menengadahkan wajah saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tak ada tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan perlahan pinggulku, penisku muncul masuk bersama dengan lancarnya. Terasa vagina Marta mengencang beberapa pas lalu mengendur lagi. Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Marta tetap mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku dapat menyusup ke di dalam kaosnya dan menyelinap di balik BH dan mendapati onggokan daging yang begitu kenyal bersama dengan kulit yang mulai begitu halus.

Payudara Marta begitu tepat di tanganku, tidak amat besar namun tidak termasuk dapat dibilang kecil. Kuremas perlahan, selaras bersama dengan genjotan penisku di vaginanya. Marta cuma menoleh ke kanan dan ke kiri, tak dapat melaksanakan perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai ikuti goyangan pinggulku. Aku membuka kaos Marta, lantas BH-nya, Marta menurut. Pemandangan sesudah itu begitu indah. Kulit Marta putih menguning langsat bersama dengan payudara yang kencang dan lingkaran di lebih kurang pentilnya berwarna merah jambu Pentil itu sendiri berwarna merah kecokelatan. Tak menanti lama, kubuka kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil selalu menggoyang lembut pinggulku, melepaskan penisku merasai seluruh relung vagina Marta. Sambil saya bergoyang, saya mengulum pentil di payudaranya bersama dengan lembut.

Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya bersama dengan lidahku, namun seluruh permukaan bibirku membentuk huruf O dan melekat di payudaranya. Ini seluruh sebabkan Marta mendesah lepas, tak tertahan lagi. Aku mulai mengencangkan goyanganku. Marta mulai jadi kerap menegang, dan mengeluarkan rintihan, “Ah.. ah..” Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua tangan Marta yang sedang mencengkeram jok kursi jadi menjambak kepalaku.”Aaahh,” lenguhan panjang dan di dalam muncul dari mulut mungil Marta. Ia sampai pada puncaknya.

Lalu tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas di pundakku. Aku jadi intens menggoyang pinggulku. Kurasakan penisku berdenyut jadi keras dan sering. Bibir Marta yang tak dapat menutup karena menghindar kenikmatan itu pun kulumat, dan tidak layaknya sebelum-sebelumnya, kali ini Marta membalasnya bersama dengan lumatan juga. Kami saling berpagut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku selalu berada di payudaranya, meremas-remas, dan sesekali mempermainkan putingnya. Vagina Marta kali ini lumayan mulai mencengkeram penisku, pas denyut di penisku pun jadi hebat.

“Uhh,” saya mengejang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras, penisku menghujam keras ke di dalam vaginanya, mengiringi muncratnya spermaku ke di dalam liang rahimnya. Tepat pas itu termasuk Marta memelukku erat sekali, mengejang, dan menjerit, “Aahh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya, namun kali ini berbarengan bersama dengan ejakulasiku. Marta terkulai di sofa, dan saya pun tidur telentang di karpet.

Aku telah memperkosanya. Marta awalannya tak terima, namun sisi sensitif yang memunculkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yakni usapan di vaginanya. Ternyata, dia telah pernah bercinta bersama dengan kekasihnya terdahulu. Dia cuma tak menyangka, aku-pacar adiknya jadi menjadi orang kedua yang menyetubuhinya. Grreekk. Suara pagar dibuka. Vina datang! Astaga! saya dan Marta tetap bugil di area tamu, bersama dengan busana dan celana yang terlempar berserakan.

Leave a Reply

CeritaDewasa