Akibat Sering Berimajinasi Mesum Jadi Kenyataan
kenangan.xyz, Akibat Sering Berimajinasi – Sejujurnya hampir tidak ada niatku untuk mengembara jauh ke kota Depok yang tengah gersang ini. Meninggalkan orang tua dikarenakan cita-cita masuk kampus bergengsi, aku kuatkan niat bulat mantap-mantap supaya rindu kampung halaman tak kerap bergejolak. Akan tetapi, bukan itu yang berkenan aku ceritakan di sini.
Selama menempuh pendidikan tinggi, aku tinggal di sebuah daerah kos yang cukup dekat dengan lokasi kampus. Aku tinggal bersebelahan dengan kamar kos Om Edi dan Tante Yanti. Mereka berdua adalah kerabat terdekatku. Om Edi adalah adik kandung bapak yang kukira sudah berumur hampir 40. Sementara Tante Rina barangkali sedikit menjangkau usia suaminya, kendati hampir belum keluar sosok layaknya “emak-emak”. Apalagi rumah tangga mereka berdua belum kunjung kehadiran seorang anak. Mungkin dikarenakan aktivitas masing-masing membuat sukar untuk membagi waktu.
Om Edi bekerja sebagai di sebuah perusahaan periklanan di daerah Bogor, sedang Tante Yanti adalah karyawati di sebuah pabrik farmasi di Jakarta. Mereka sudah menetap di Depok kurang lebih 7 tahun dikarenakan pada mulanya pernah ada keliru seorang rekan perantau yang lebih pernah tempati rumah kos tersebut, tapi menentukan menyerah balik kampung. Dengan berbekal ijazah dan pengalaman kerja di Semarang, Om Edi dan Tante Yanti mantap melangkah mengadu nasib ke Jakarta kendati cerita mulut ke mulut tak seindah didengar pun modal materi yang dibawa tak melimpah. Apalagi yang lebih pernah diterima kerja adalah Tante Yanti.
Barulah Om Edi menyusul setahun sesudah itu dikarenakan setahun tak ada jawaban berasal dari lamaran kerja yang dikirimnya ke Jakarta. Kota hujan pada akhirnya menjadi pilihan.
Dari cerita mereka, aku benar-benar menekuni pendidikanku, kendati kamar kos di lantai dua yang kutempati ini banyak nyamuk dan gerah disaat musim kemarau. Berbeda dengan kamar kos Om Edi dan Tante Yanti yang sudah berpenghasilan supaya sanggup memasang AC di kamarnya. Bangunan kos yang kutinggali ini cukup unik. Tangga-tangga besi berada di pojok sebelah kanan, menghubungkan 3 lantai yang masing-masing lantai terdiri atas 5 kamar kos dengan tipe atau kelas berbeda-beda. Setiap lantainya pula ada kamar mandi yang berada di pojok sebelah kiri. Kamar mandi itu dikhususkan untuk tamu dan penghuni yang tak mempunyai fasilitas kamar mandi di didalam kamar kosnya. Di Setiap lantai ada dua kamar yang mempunyai fasilitas kamar mandi dan mengfungsikan pendingin ruangan. Salah satunya adalah kamar kos om Edi dan Tante Yanti. Sementara aku cukup membuka jendela, berharap angin berasal dari luar masuk.
“Hendra enggak kuliah?”, bertanya Tante Yanti duduk di kursi kayu depan kamar kosnya. Ia tengah menjamu seorang pria gembul dengan muka sangar yang kukira adalah rekan kerjanya.
“Agak siangan, pagi kebetulan kosong jadwal”
“Ohh, sudah sarapan belum?”
“Wah belum tuh, ini baru berkenan nyari”
“Kalau belum, itu di didalam kamar ada nasi uduk, Om Edi tadi lupa bawa untuk sarapannya”
“Enggak deh”
“udah, ambil saja, daripada gak dimakan, keburu basi kan”
“Yaudah deh”
Ketika hendak masuk dan membuka pintu kamar kos Tante Yanti, aku menegur permisi selagi melintas di depan Tante Yanti dan temannya. Kulihat di atas meja yang berada di pada mereka berdua tersuguhi sepasang cangkir teh dan gorengan pisang, tahu, dan juga tempe. Di didalam aku melahap nasi uduk yang sudah dingin, tapi masih sedap di perut. Aku menyimak kamar kos om dan tanteku ini lebih luas, tertata, dan nyaman daripada kamar kosku. Aku berpikir mengapa mereka tidak melacak kontrakan saja. Barangkali banyak duwit yang sanggup dihemat untuk belanja rumah atau kebutuhan lain yang aku tidak tahu.
Di sisi lain, aku sedikit heran kok bisa-bisanya Tante Yanti terima rekan laki-lakinya dengan cuma mengenakan daster, malah kedua pahanya terpampang kemana-mana. Ditambah bodinya yang terbilang semok berisi, pasti menggetarkan batin dan pikiran laki-laki normal yang memandang. Ah kukira sehelai kain batik tadi sudah cukup untuk menutupi bagian lengan dan dadanya.
“Gak kedengeran, tenang…”
“Mas Pardi jangan ke sini kembali besok ya, jikalau ketemuan di luar aja. Gak sedap dilihat serupa orang-orang di sini”
“Iya, ini aku terhitung baru sekali berkunjung”
“Kan aku sudah bilang, jangan kesini. Tapi tetep nekat terhitung ke sini”
“Kok gorengannya gak dicolek? Udah sarapan ya?”
“Maunya nyolek yang nyediain, biar kenyang gak makan lagi. hehehehe”
“Ah Mas Pardi, masih pagi bercandanya sudah begitu”
“Kan gak separah bercanda anda di WA, Mba. hahahaha”
“Yang mana?”
“Yang anda kasih foto anda sesudah mandi tempo hari itu. Hihihi.”
“Aisshhh masih inget saja itu kan bukan bercanda, enggak dihapus?”
“Enggak dong, supaya jikalau kangen anda lihatnya itu saja”
“Kan beneran menjadi kepikiran terus kan”
“Enggak apa kepikiran anda terus, membuat aku senang kok”
“Masa?”
Dari bilik jendela yang terbuka sedikit, aku mengunyah makanan sembari menguping percakapan pada Tante Yanti dan rekan laki-lakinya. Pembicaraan yang tak biasa, tapi benar-benar kuamati. Sepertinya mereka berdua menjalin hubungan pertemanan istimewa dikarenakan tak pantas saja Tante Yanti sudah bersuami dicandai layaknya itu atau barangkali mereka sudah lumrah dengan candaan menggoda begitu. Lagipula, mengapa Tante Yanti tumben-tumbenan tidak pergi bekerja. Aku terhitung sungkan bertanya. Setelah selesai makan, aku tak amat hiraukan dengan percakapan yang terjadi di depan kamar kos ini. Justru yang menarik perhatianku adalah bunyi ponsel yang berada di bawah ranjang daerah tidur kamar Tante Yanti. Aku menunduk, bukan cuma ponsel kulihat tapi sebuah dildo yang tersarung sebuah kondom bergerigi tengah tergeletak. Astaga! Sempat memegang dan melihatnya, aku menempatkan kembali benda tak lazim itu ke posisi semula. Lalu aku pergi menghampiri Tante Yanti memberitahukan bahwa ponselnya berbunyi sekaligus pamit kembali masuk ke kamar kosku.
Di didalam kamar, aku sejenak berkhayal apa yang kualami di kamar kos Tante Yanti. Selanjutnya aku fokus menyelesaikan tugas kuliah yang belum tuntas dan beres-beres mandi bersiap berangkat ke kampus. Aku menyibukkan diri, menghindari pikiran macam-macam berasal dari kunjungan sebentar ke kamar Tante Yanti dan Om Edi. Keluar berasal dari sana, kudapati tak ada kembali yang bicara. Barangkali Tante Yanti terhitung baru berangkat pergi bekerja serupa halnya denganku.
Setelah momen itu, aku berharap sanggup meniadakan segalanya. Malahan yang terjadi justru sebaliknya. Ketika bakal berangkat kuliah pagi hari. Kudapati Tante Yanti pergi bekerja dibonceng motor oleh lelaki yang menjadi rekan mengobrolnya beberapa hari yang lalu. Waduwh, kok bisa?