Derita Wanita Liar Dalam Percintaan

Derita Wanita Liar Dalam Percintaan

Derita
Derita Wanita Liar Dalam Percintaan

kenangan.xyz – Lidya mengajak Sabrina cuma satu kawan dekat sehati yang dulu ia punyai buat menemaninya tinggal bersama dengan di rumah milik Lila. Meski udah sekian lama menjalin persahabatan Lidya cuma mengenal sosok Sabrina sebagai gadis yang punyai kehidupan free life jenis ala remaja era sekarang.

Senang bergonta pindah kekasih apalagi tak segan-segan mengakhirinya di daerah tidur. Namun di balik itu semua si Mawar putih tak dulu mengetahui terkecuali sang Mawar Merah menyimpan lebih banyak kenangan liar dan dasyat yang tak dulu terbayangkan apalagi tak bisa di terima oleh akal sehatnya.

Hari-hari kita berlalu tanpa mbak Narti. Tak cuma mang Gimin yang merasa kehilangannya, akupun begitu sedih. Hanya mbak Narti-lah yang menjadi temanku sekaligus saudara yang memanjakanku.

Setelah kepergiannya, mami segera mendatangkan penggantinya. Tak tanggung-tanggung dua orang sekali gus. Ke dua-duanya berusia paruh baya. Keduanyapun terlalu baik dan sopan kepadaku. Namun entah mengapa aku tak bisa mengakrabkan diri bersama dengan mereka seperti halnya terhadap mbak Narti.

Yang paling menderita tentu saja adalah mang Gimin. Ia sempat jatuh sakit sehingga tubuhnya tambah kurus. Setelah sembuhpun ia lebih banyak menyendiri dan melamun. Aku sungguh iba terhadap nasibnya. Sebisanya aku menghiburnya bersama dengan membuatkan makanan kesukaannya. Hingga terhadap suatu hari sehabis pulang sekolah. Seperti biasa mang Gimin menjemputku.

“Non ndak les hari ini?”
“Lagi males!” jawabku ketus.
Saat itu hatiku sebenarnya sedang kesal. Bagaimana tidak hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-17 tapi tak ada perayaan serupa sekali, jangankan kue tart, papi dan mami juga tak ada. Mereka apalagi lupa menelponku hari ini cuma sebatas untuk mengucapkan selamat ulang th. kepadaku.
“Non..”panggil mang Gimin lembut
“Apa!”aku menimpalinya bersama dengan muka cemberut.
“Selamat ulang tahun, ya. Semoga si non panjang usia dan jadi cantik”
“Arggg!….kok mamaang mengetahui hari ini Sabrina ulang tahun?” jeritku girang bercampur heran mengapa justru dia yang ingat akan perihal ini.
“La iyalah..mamangggg he he he”jawabnya bersama dengan kocak
“Hi hi hi Makasih ya mang Sabrina menjadi jadi sayang serupa mamang” ujarku kolokan. Terus terang saja aku begitu tersanjung akan perhatiannya padaku meski itu cuma sebuah ucapan selamat ulang th. saja.
“Eng….mamang mau kasih hadiah ulang th. buat non”
“Wahh..hadiah apa sih mang?” tanyaku antusias.
“Gimana terkecuali siang ini kita nyelup aja?” ajaknya
“Beneran nih mamang?” aku gembira akan ajakannya.
Hasratku sebenarnya udah tak bisa kutahan lagi. Semua itu adalah dikarenakan mbak Narti. Sudah dua minggu ini aku terpaksa puasa dikarenakan mang Gimin ngambek dan kesusahan diajak bicara.
“Iya tapi kita tidak bisa ngelakukannya di rumah soalnya ada orang-orang itu.”
Aku baru sadar. Sejak adanya dua orang pembantu baru itu kita menjadi tak barangkali bisa melakukan perihal itu di rumah seperti dulu lagi.
“Habis bagaimana mangg?” tanyaku agak kecewa.
Padahal aku udah meminta sekali dia peting siang itu. Aku udah kebelet dan kangen terhadap rasa kenikmatan itu. Dan aku tak ingin menundanya lagi. Vaginaku segera gatal dan berdenyut-denyut begitu dia mengajakku melakukannya.
“Non tenang saja. Mamang udah ada rancangan buat kita” ujarnya.

Ternyata, bersama dengan gajinya mang Gimin bermaksud menyewa sebuah kamar di hotel bintang dua. Sepertinya ia sebenarnya udah berencana ini sejak awal buat menyenangkanku. Untungnya ini bukan waktunya orang-orang ngamar menjadi suasana di loby hotel sedang sepi soalnya aku merasa risih dikarenakan masih Mengenakan seragam sekolahku. Setelah ia meraih kamar kamipun naik ke lantai atas dan masuk ke didalam kamar mungil itu.
“Hi hi hi ga sabaran betul nih?” godaku menyaksikan ia begitu terburu-buru menanggalkan pakaiannya. Ia melemparnya hingga berserakan di lantai kamar.
“Mamang udah kangen banget serupa non…”jawabnya.

Sepertinya ia sebenarnya tidak bohong. Terbukti benda berurat yang berada di selangkangannya itu udah berdiri kukuh di antara rerimbunan bulu-bulu kusut yang beruban. Ternyata gejala ketuannya nampak hingga ke anggota itu. Ketika aku baru saja selesai melewatkan sepatu dan rok seragam sekolahku, ia segera menarik pinggangku sehingga aku terduduk di atas pangkuannya secara berhadapan. Kini posisi dadaku berada pas di depan wajahnya. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang memburu dikarenakan dada tuanya di sesaki nafsu birahi. Sepertinya ia tak ingin membuang-buang waktu. Tangannya segera melepasi kancing blous-ku satu persatu. Berikutnya kaitan bra-ku menyusul ia lepaskan. Begitu anggota atas tubuhku terbuka, secepat kilat mulutnya segera menyergap puting kiri-ku.

“ARGGHHHHHH…MAMAAANGGGG!” rintihku.

Giginya yang ompong itu menjadikan tiap tiap kecupan dan hisapannya begitu istimewa. Kedua tanganku segera meraih kepalanya dan menariknya tambah erat ke dadaku namun ia sendiri merangkul pinggangku. Terasa juga hangat dari penisnya yang terjepit oleh perut kita berdua. Mang Gimin konsisten saja mengemuti puting payudaraku meski kedua-duanya udah terlalu menegang. Ia sebenarnya suka berlama-lama melakukan itu. Mang Gimin punyai segudang tehnik didalam memberiku kenikmatan melalui aksi meneteknya. Terkadang ia mengisap secara kencang seakan ingin memicu putingku mengeluarkan susu dan waktu terlepas ia menggantinya bersama dengan permainan lidah. Kadang-kadang ia menggigit-gigit putingku bersama dengan gusinya yang tak bergigi itu.

Atau kepalanya bergerak maju mundur seperti burung pelatuk. Saat maju bibirnya memagut putingku lantas menariknya mundur menjauh ke ambang batas kekenyalan putingku hingga terpental terlepas dari bibirnya. ia melakukan itu secara berulang-ulang diiringi suara cplak-cplok. Tetapi jujur apapun yang ia melakukan selalu saja itu mendatangkan jutaan kenikmatan bagiku. Ia sebenarnya ‘pandai’ didalam urusan itu. Dan akibat lain dari itu dadaku yang pada awalnya cuma berukuran 34b itu kini mengembang tambah besar dan kencang cuma didalam beberapa bulan saja.

“Manggg…udahan gelii!” erangku sambil memegang ke wajahnya bersama dengan ke-2 tanganku dan menahannya sehingga tak ulang menyentuh dadaku.
Aku tak tahan ulang ia begitukan. ke-2 putingku menjadi terlalu sensitif. Bila tersentuh rasanya geli bukan main.
“Kalau gitu mamang maenin yang bawah ajah ya non” balasnya. Aku menggangguk setuju. Lalu ia merebahkan tubuhku dari pangkuannya ke atas kasur.
“Garrgggggg Mangggggg!!” aku terpekik geli.

Ternyata mang Gimin ulang menangkap puting yang udah didalam suasana terlalu peka itu. Duh gelinya!! sampai-sampai jemariku mencengkram seprey kuat-kuat.Dasar Si tua ini sebenarnya nakal! Padahal ia sendiri udah mengetahui terkecuali aku tak tahan ulang dikerjai seperti tadi. Untungnya ia segera melepasnya ulang terkecuali tidak bisa-bisa pipisku muncrat di atas kasur dikarenakan ulahnya.

“Aaa..Mamang nakal! Katanya tadi mamang mau gituin yang bawah” rajukku manja.
“He he he maaf ya non. Habisnya mamang masih gemes serupa dadanya non yang cantik ini”
“Ah era sih mang? Bukannya punyai mbak Narti lebih cantik dan lebih besar dari punyai Sabrina?”pancingku ingin mengetahui sebenarnya kriteria macam apa yang menjadi kesukaannya.
“Bukan kasus besarnya non. Tapi bentuknya. Punya non bulat dan masih kenyal ndak seperti punyai Narti yang udah kendor”
“Bener begitu?.” Tanyaku ragu. Aku tak mengetahui ia menyatakan itu secara jujur atau dikarenakan ia masih marah terhadap mantan istrinya itu.
“Lha iya non mana barangkali juga buah lokal ngalahin buah improt!”jawabnya menegaskan.
“Hi hi hi mamang bisa jaah!” Aku tertawa geli mendengar cara ia mengutarakan perihal itu. Tapi pujiannya membuatku tersipu dan merasa bangga setidaknya kini aku udah bisa mengugguli mbak Narti di segi itu.
“Mamang terusin saat ini ya non”

Mang Gimin menjulurkan lidahnya menyapu permukaan dadaku lantas turun ke arah perutku. Sesenti demi sesenti kulitku ia jelajahi bersama dengan bibir dan lidahnya. Tak sedikitpun yang ia lewatkan. Layaknya seperti seekor kucing yang memandikan anaknya. Membuat tubuhku yang udah basah oleh keringat menjadi tambah basah oleh air liurnya. Hingga penjelajahan itu terhenti. Ternyata tujuan akhir itu masih terbungkus oleh baju terakhirku, celana didalam bermotif bunga milikku.

Hanya sepersekian detik saja benda penghalang itu udah terlempar jauh ke sudut kamar. Aku sendiri yang melakukannya. Aku tak ingin benda itu menunda kenikmatan yang akan ia berikan kepada diriku. Kini tak ada ulang yang membatasi lidah mang Gimin meraih ketempat yang sama-sama kita ingini. Yaitu vaginaku.

“Maaaaangggg ayooo!…kok cuma diliatiin!” rengekku tak sabar dikarenakan ia belum juga menyentuhku di anggota itu.
“Sebentarrr Noooonn….duhhh canntikknya!…Mamang sungguh-sungguh jadi cinta serupa nonn” kudengar ia mendesah lirih.
Aku juga tak mengetahui apa sih yang membuatnya suka berlama-lama memandangi anggota itu. Bukankah selama ini dia udah sering melihatnya. Lagian tak ada yang beralih terhadap anuku itu.
“Hssssss…maangggg…” aku mendesis waktu sapuan pertama melintas cepat secara vertikal di atas permukaan vaginaku. Lalu di susul oleh sapuan demi sapuan berikutnya yang memicu jiwaku melambung keawang-awang.

Slikk..slepp..slikk…suara erotis itu mengiringi tiap tiap gerakan lidahnya waktu menari-nari bersama dengan lincah di didalam rongga vaginaku. Tubuhku meliuk ke sana kemari tambah menjadikan seprey ranjang itu kusut tak karuan. Aku mengetahui didalam suasana itu cairan cintaku akan tumpah ruah. Dan aku mengetahui ia akan menelan tiap tiap tetesnya. Tak tunggu waktu lama buat orgasmeku terjadi.
“OUUUUUUUGHHHHH MAAAAAANGGGG!!” aku memekik nikmat.

Terjadinya sebenarnya begitu cepat dan kuat. Dan waktu itu terjadi Mang Gimin menghisap ‘kacang’ku kuat-kuat. Menjadikan kenikmatan itu tambah tak tertahankan. Kedua pahaku secara reflek mengapit kepala mang Gimin. Pinggulku menghentak. Berayun tak tentu arah. Dan aku udah tak perduli kain seprey hotel ini akan robek oleh cengkramanku.

Oughhhhh nikmatnya! Rasa geli nikmat itu yang membuatku tambah ketagihan! tambah membuatku butuh padanya! Semakin membuatku sayang terhadap mang Gimin sopir tua-ku itu! Lalu semua nampak memutih….sensasi mengasyikkan bercampur rasa ngantuk menyerangku. Itu orgasmeku yang pertama sehabis beberapa mingguan puasa dikarenakan kasus perginya mbak Narti. Setelah kenikmatan awal tadi berlalu kepala mang Gimin konsisten berada di selangkanganku. Ia tambah tekun memesrahiku bersama dengan lidahnya hingga dua puluh menit ke depan. Seperti kebanyakan ia sebenarnya tak dulu terburu-buru didalam melakukan keintiman.

Setiap tahapan foreplay ia melakukan secara komplit dan sabar. Lidahnya konsisten menjalani gairah yang ada di kewanitaanku. Setiap beberapa menit sekali aku ulang jobol ia buat. Sesungguhnya aku suka sekali waktu dia mengerjaiku bersama dengan lidahnya. Apalagi hingga orgasme berulang kali seperti ini. Hanya saja aku merasa kali ini ia terlalu lama melakukannya dan ini sungguh tak biasa. Selain itu ia juga tak memberiku kesempatan buat melakukan perihal yang serupa terhadap dirinya. Seakan ia tak ingin kehilangan fokusnya didalam merangsangku.

“Manggg udahan dulu jilatnyaa …… celupinnn sekaranggg!” rengekku tak sabar lagi.
Aku udah ia buat orgasme berkali-kali. Dan aku ingin orgasme berikutnya segera dihasilkan oleh jejalan penisnya yang terbungkus penuh dari pangkal hingga ke ujung oleh keriput-keriput itu. Mang Gimin-pun mengangkat wajahnya nampak dari selangkanganku.

“He he he non udah kangen ama kontol mamang ya?”
“Iya! Cepetann masukinnn!”
Tetapi aku dibuatnya heran dikala ia memintaku selalu terlentang. Dan ia tak mengambil alih posisi di belakang tubuhku seperti biasanya. Malahan justru mau menindihku.
“Lho mangg, kok?”
“Kita cobain dari depan ya non.”
“Emangnya kenapa terkecuali dari belakang?”tanyaku.
“Ndak pa pa sih. Tapi yang tentunya lebih enakan dari depan. Lebih asoooy”
“Bener mang?”
“Masa sih mamang bohong? Makanya mamang ingin si non nyobain dulu. Kalau ternyata nanti ndak sedap baru kita pindah bersama dengan cara biasa” Ujarnya mengusahakan meyakinkanku.
“Iya deh mang. Cepetan!”

Tentu saja aku tak ingin berlama-lama menunda kenikmatan ini sehingga aku segera saja menyetujui buat melakukannya didalam posisi baru itu. Terlebih dahulu Mang Gimin meletakan sebuah bantal di bawah pinggulku. Selanjutnya ia menindih tubuhku dari depan seperti yang sering ia melakukan bersama dengan Mbak Narti dulu. Bibirnya segera memagut leherku yang jenjang.
“Oughhhtt…manggggg” rintihku dikala kurasakan ujung kontolnya maju secara perlahan menusuk dan membelah bibir vaginaku.
Lep! Ia sukses masuk dan berhenti terhadap kedalaman biasa.
“Ouhhh…mamaaaangggg” rintihku nikmat.

Betapa kangennya aku bersama dengan rasa nikmat yang satu ini. Penisnya sebenarnya tak tertandingi oleh kelincahan lidahnya. Dan rasa nikmat itu tambah menjadi-jadi waktu ia merasa memaju-mundurkan pinggulnya. Clakk Clek! Clak Clek! Suara itu nampak seiring kocokannya. Cairan cintaku tambah banyak meluber nampak dari sela-sela tautan kemaluan kita berdua. Ternyata benar apa yang dikatakannya tadi. Memang lebih banyak kesenangan misalnya ia memesraiku didalam posisi berhadapan seperti waktu itu ketimbang melakukannya bersama dengan cara biasa. Kami menjadi lebih leluasa berciuman. Dan ia bebas menetek secara bergantian terhadap ke-2 payudaraku disepanjang keintiman itu. Dan itu semua tambah mempercepat sistem orgasmeku.
“Mamangggg sayangggg…Sabrinaa udah mauu dapetttt…Oghhhhh” rintihku.

Dia juga mengetahui itu! Kocokannya tambah ia percepat tapi tak hingga memicu penisnya cuma tertanam hampir sepertiga anggota itu terlepas dari vaginaku. Memang tak ringan tapi mang Gimin bisa melakukan itu secara konsisten. Hanya didalam tempo beberapa detik kemudian aku meraih orgasmeku.

“AAARRRGGGHHHHHH!!!” pekikku membahana.
Nikmatnya sungguh tak terkira. Begitu kuat! Begitu mengguncang! Lunas udah penantian panjangku selama beberapa minggu ini. Kenikmatan seperti inilah yang terlalu kudambakan.
“Ohh mamangg…”bisikku lirih sehabis orgasme hebat itu usai. Napasku masih terengah-engah.
“He he he Gimana? Benar lebih sedap kan?” tanyanya meyakinkan bahwa dia tidak bohong.
Aku menggangguk.
“Non Sabrina suka serupa kontol mamang?“

Aku ulang mengangguk. Tentu saja! Biar keriput aku suka. Biar item aku juga suka. Pokoknya aku cinta sekali serupa penis tuanya. Lalu permainan cinta itu terjadi ulang tambah membara. Tetapi suatu yang tak biasa ulang terjadi. Kami bercinta udah selama satu jam-an dan aku udah enam kali mendapat orgasme. Namun mang Gimin belum satu kali-pun muncrat. Dari muka keriputnya yang udah begitu pucat ituaku mengetahui ia sengaja menundanya. Selain itu akupun bisa merasakannya dari denyutan penisnya yang udah mengembang penuh itu di didalam jepitan mulut vaginaku.

“Mamangg..kenapa di tahan-tahan pipisnyaa?” tanyaku heran kenapa ia mati-matian bersama dengan sekuat tenaga bertahan dari desakan kenikmatan itu.
Sesekali akupun bisa merasakan gemetar dari tubuhnya yang kurus itu.
“Sebentar lagiii ajaa nonnn..biar jadi asooyy heggg” jawabannya.

Banyak sekali keganjilan yang terjadi siang itu. Aku juga merasa ia mengusahakan mencicil-cicil penisnya masuk lebih jauh dari kebanyakan hingga beberapa kali aku meringis kesakitan.

Namun aku tak terlalu memperdulikan semua itu. Yang lebih mendominasi diriku adalah kenikmatan demi kenikmatan yang ia suntikan kepadaku. Yang tambah lama menjadi tambah menggila saja.

“N..ooon..”tiba-tiba ia memanggilku bersama dengan suara serak di sedang kemesraan yang membuncah itu.
“I.iyaa mangg…semprotinnn sekarangg ..Sabrina jugaa sudahh hampirrr deapettt lagii”
Saat itu kupikir ia udah akan melewatkan ejakulasinya dan memintaku bersiap terima semprotan nikmatnya. Sementara diriku sendiri udah merasakan terkecuali orgasmeku segera tiba lagi. Sebuah orgasme yang lebih enakdari sebelumnya.
“Nonn…”panggilnya lagi
“Iyaaa…mangg”
“Kita..kitaa….entotan yuk” bisiknya lirih dan tergagap.
“Nge…ntott Manggg?”Tanyaku kaget sambil menyaksikan wajahnya. Matanya menatapku lekat-lekat.
“Iyaaa noon..Mamang nyelupnya sampe ke dasar. Mamang mau muncratinnya pas penis mamang mentog di dalem nonoknya non. Mau ya nooon?” Suaranya bergetar menandakan napsunya tambah tak terbendung.
“Manggg Janggannn. !…Sabrinaa tidakkk mauuu!” jawabku tegas.
Aku suka akan kenikmatan-kenikmatan itu tapi aku juga tak ingin berbuat lebih dari yang dulu kita lakukan. Apalagi hingga wajib menyerahkan keperawananku padanya!

“Ndak pa pa noon….ntar juga non ngerasain yang lebih sedap dari sebelumnya..mamang masukin sekarangg ya non” Ia menyatakan itu sambil memajukan pinggulnya secara perlahan memicu ujung penisnya masuk agak jauh ke dalam.

“AWWW!!..Sakit!
Dari situ aku mengetahui ia bersungguh-sungguh akan melakukan niatnya itu.
“Mangg Cabuuuttt!!…Sabrinaa gaa mauu!!”

Aku-pun meronta mengusahakan sehingga terlepas dari tindihan tubuhnya. Tetapi mang Gimin bersama dengan sigap mencekal pergelanganku bersama dengan erat. Lalu ia pentangkan ke-2 tanganku di segi kepalaku sehingga aku terlalu tak berkutik di bawah tindihannya. Penisnyapun sejak tadi udah didalam posisi terbaik. Terjepit hingga sepertiga anggota di didalam vaginaku. Menunggu pemiliknya pilih nasib bagi duapertiga anggota sisanya.

“Manggg jangaannn nodai Sabrinaaa.. huu huu” mohonku bersama dengan memelas padanya.
Sadar terkecuali aku akan ternoda air mataku merasa tumpah di sedang keresahan dan keputus asaan yang melanda hatiku. Aku cuma meminta terhadap detik-detik paling akhir ia masih mau mengurungkan niatnya itu.

“Mamangg tidak kuat lagii, nonn. Mamangg entot non sekarangg!!…”
Ternyata harapanku waktu itu sia-sia.Mang Gimin udah menekan…..
“Maaaanggg Sakiiiiiiiiiiiittt!!!” pekikku waktu rasa sakit tambah menyengat kewanitaanku.
Tak ada yang bisa mencegahnya waktu itu.
“Oughhhh!Perett tenannnn! Enakkk ! Rapettt!!”
Sambil meracau keenakan ia konsisten masuk. Selaput daraku sempat menahan terjangan penisnya beberapa detik sebelum akan akhirnya terkoyak dan memicu rasa nyeri luar biasa di didalam kewanitaanku. Bleeeeeesss!!
“AWWWWWWWWW..!!!” aku terpekik kesakitan.
Seketika itu penisnya meluncur bersama dengan mulus memasuki daerah kewanitaanku yang selama ini belum dulu ia singgahi. Dalam hitungan detik aku merasakan ia melewatkan ejakulasinya yang ia tahan-tahan sejak tadi. CROOOOOTTTT!!!
“ARRRRGHH NONOOOK!!!!” mang Gimin membentak jorok tanpa sadar.
Belum dulu kudengar ia jorok seperti itu sebelumnya. Kupikir ia tak bisa ulang mengontrol ucapannya di sedang kenikmatan dasyat yang ia peroleh dari liang perawanku. CRROOOTTTTTTT!!! …..CROOOOOTTTT!!!!!
“ARRGGGHHHH !!!NONOOK!!!”

Mang Gimin konsisten meracau jorok sambil menghentakan pinggulnya belasan kali menuntaskan sengatan kenikmatan yang menderanya. Meski sakitnya luar biasa tapi tak urung kenikmatan yang begitu kental yang udah di susupkan mang Gimin sejak tadi akhirnya meletup juga. Syaraf kenikmatan yang berada di selama liang senggamaku yang dilalui oleh batang penisnya segera berkontraksi bersama dengan begitu kuatnya.
“ARRGGGHHHHHHHH!!!!!….” giliranku yang terpekik kuat.

Kenikmatan kali ini terlalu luar biasa. Hingga aku tak ulang bisa mengungkapkannya bersama dengan kata-kata. Kenikmatan yang bisa merubah penolakanku tadi menjadi sebuah penerimaan total. Tanpa mengetahui aku mendekap tubuhnya erat bersama dengan ke-2 tangan dan kakiku. Lenganku kurangkulkan di lehernya waktu itu ke-2 kakiku kusilangkan di pinggangnya. Membuat dirinya seperti sebuah guling didalam dekapanku.

Membuat tubuh kita bersatu tanpa jarak dan pembatas lagi. Akhirnya tubuh tua itu ambruk di atas tubuhku. Kami berdua tak mengetahui beberapa waktu sehabis mengalami orgasmedasyat barusan. Ketika semuanya usai. Akupun tersadar apa yang udah terjadi. Hatiku tercekat oleh rasa kuatir. Di waktu itulah kurasakan pegangannya terhadap ke-2 lenganku udah terlepas. Pada kesempatan itu aku segera mendorong tubuhnya sekuat tenaga hingga terlentang di sebelahku. Plopp! Penisnya tercabut terlepas dari vaginaku bersama dengan menyisakan rasa nyeri. Aku bisa menyaksikan bersama dengan mengetahui cairan lendir berwarna merah yang menyelimuti permukaan penisnya hingga ke anggota jembutnya yang beruban itu Aku percaya sekali itu adalah darah keperawananku yang bercampur bersama dengan pejuhnya.

Cairan yang serupa juga mengalir nampak dari vaginaku dan menodai kain seprey di sekitar selangkangku. Sadar aku terlalu udah ternoda. Tangiskupun pecah! Aku menangis sejadi-jadinya menyesali keperawananku yang direngutnya pas di hari ulang tahunku yang ke-17 itu. Aku tak dulu siap untuk yang satu ini. Dan dikala perihal itu terjadi hatiku galau sekali. Aku terlalu risau membayangkan kemarahan mami kepadaku. Aku risau dikarenakan tak ada seorang pemudapun yang kelak mau menjadi suamiku.Aku takut…dan aku sungguh takut. Ketika menyaksikan aku menangis mang Giminpun seakan baru tersadar akan perbuatannya padaku.
“Non….Maafkan mamang ya….” bisiknya lembut mengusahakan menghiburku.

“Hu huu huu mamangg jahatt!Kenapa mamang tega menodai Sabrina?!” pekikku kesal sambil memukuli dada keriputnya.
“Mamang ngaku salah. Sejak dulu mamang sebenarnya kepingin entotan serupa non. Tapi Narti selalu melarang mamang. Katanya si non belum siap buat itu.Sudah hampir satu tahun-an mamang menahan permintaan tersebut. Dan…tadi itu mamang udah tidak kuat lagi. Mamang pikir non juga udah pingin…ndak tahunya…hhhhhh. Tetapi mamang siap bertanggung jawab atas semua kekeliruan yang mamang perbuat terhadap non. Mamang akan nikahi non”

“Enak saja mamang ngomong! Sabrina ngga mau kawin serupa mamang! Mamang tidak mikirin era depan Sabrina! Mamang jelekk!!. Sabrina benci serupa mamang!! Huu Huu” pekikku sambil mendorong tubuhnya menjauh bersama dengan sekuat tenagaku.
Lalu aku menumpahkan semua rasa kesalku didalam tangis. Mang Gimin menghela napas. Wajahnya murung mendengar ucapanku.
“Baiklah…. Mamang terima terkecuali si non sebenarnya benci dan ndak mau memaafkan mamang.”
“Ahhhhh!!! Sabrina ngga mau denger lagiii! Sabrinaaa benciiii..benciiii!! huu huu huu” aku berteriak sambil membekap telingaku bersama dengan ke-2 telapak tanganku.

Mang Gimin tak berani ulang berkata-kata. Kepalanya menunduk bersama dengan muka kalut. Lima belas menit berlalu tangisku sedikit mereda. Kini suasana kamar tak ulang seramai tadi cuma terdengar segukanku. Tetapi kemarahanku terhadapnya selalu membumbung tinggi. Kami berdua tak ulang berkata satu serupa lain. Masing-masing tenggelam didalam pikiran. Entah apa pula yang sedang dia pikirkan! Aku serupa sekali tak ingin tahu. Aku merasa muak dan tak ingin berlama-lama ulang di daerah ini. Kuraih pakaianku yang tercecer. Lalu memakainya ulang satu demi satu tanpa membersihkan diri khususnya dahulu.Duh! Ngilunya! Keluhku waktu mengusahakan Mengenakan celana dalamku.

“Non..? udah mau pulang?”tanya binggung dan belum mengetahui wajib berbuat apa waktu menyaksikan diriku bergegas berpakaian.
“Ahhh!! Bodohh!”
Aku tak ingin pulang bersamanya. Aku mengetahui ia tentu akan menghalangiku pergi sendiri. Namun sebelum akan mengetahui dan ia mencegatku, aku udah lebih dahulu pergi nampak dari kamar meninggalkannya sendiri.
“Noonnn! Tunggu mamang!” panggilnya.

Aku terpaksa terjadi tertatih-tatih dikarenakan rasa sakit di selangkanganku menghalangiku untuk lari. Sesampainya di pinggir jalan aku segera naik ke didalam sebuah angkutan lazim yang kebetulan sedang stop di situ.Kulihat mang Gimin nampak dari arah lobby bersama dengan terengah-engah tapi udah terlambat baginya buat menyusulku dikarenakan angkot yang kutumpangi udah bergerak menjauh.

Dari situ aku tak segera pulang. Aku datang di sebuah mall. Aku sengaja tak ingin berjumpa dengannya di rumah. Di sebuah cafe aku duduk merenung. Pikiranku masih konsisten dibayangi oleh kekuatiran. Hatiku masih kalut sekali. Dapat kubayangkan bagaimana hebohnya malam pernikahanku kelak dikala calon suamiku mendapati aku udah tak perawan lagi. Bagaimana murka dan malunya mami dikarenakan anak gadis yang ia yakini bisa menjaga kehormatannya itu ternyata tak tidak serupa jauh bersama dengan seorang pelacur. Semua keresahan itu tambah menumpuk rasa kecewa dan marahku terhadap mang Gimin. Salahku sendiri udah berikan kesempatan kepadanya selama ini. Seharusnya aku tak boleh percaya terkecuali orang seperti dia akan menjaga komitmen yang kita udah kita sepakati. Hiiiiii!! Untungnya aku tidak sedang didalam suasana subur.

Tak bisa kubayangkan terkecuali aku hingga hamil olehnya. Kapok! Kapok sekali rasanya! Lalu bagaimana aku wajib bersikap kepadanya sehabis ini? Kupikir sebaiknya aku menghentikan semua ini dan tak usah berjumpa ulang dengannya. Aku wajib bisa melacak alasan yang masuk akal ke mami sehingga bajingan tua itu secepatnya dipecat!. Sorenya sehabis cukup menenangkan diri aku baru pulang ke rumah. Kulihat mobil yang biasa dipakainya buat menjemputku tak nampak di garasi. Kupencet bell. Pas dikala gerbang pagar diakses dari dalam. Tiba-tiba mobil mang Gimin datang. Ia bergegas turun dari mobil dan bersama dengan terburu-buru menghampiriku.

“Aduhhh nonnn..kemana sajaa…mamaangg risau sekaliii..”ujarnya. Raut keresahan membias di muka tuanya.
“Minggir!!” tubuh tua itu kudorong sehingga ia ke jatuh ke tanah. Aku berlari masuk ke didalam rumah. Masih sempat kudengar tidak benar satu pembantu baruku yang membukakan pagar tadi bertanya kepadanya.
“Ada apa sih kang?! Kok nona kita hingga murka begitu?! Pasti situ telat jemput ulang ya? Waduhhh terkecuali nyonya besar hingga tahu, beliau tentu marah-marahi lagi! Ntar terkecuali nyonya besar nanya, kakang jelasin saja sendiri. Kita-kita ndak mau ikut-ikut kena murkanya nyonya besar!”
Mang Gimin diam tak menjawab.

Besoknya, pagi-pagi sekali aku udah berangkat ke sekolah. Tapi aku tak ingin diantar olehnya lagi. Jadi aku terpaksa naik angkot. Begitupun waktu pulang sekolah. Meski ia selalu datang menjemputku aku bersikeras tak pulang bersamanya. Aku segera melompat ke didalam sebuah angkot. Kulihat mobilnya terjadi mengiringi kemanapun angkot tersebut membawaku. Seperti tempo hari aku tak segera pulang ke rumah. Segaja aku berhenti dan berpindah-pindah angkot bersama dengan tujuan membuatnya tambah panik. Dari wajahnya nampak sekali begitu bingung dan kuatirnya dia waktu meyakinkan aku turun atau tidak tiap tiap kali angkot yang membawaku berhenti. Terakhir aku sengaja mengambil alih angkot yang berada berseberangan jalan dengannya.

Tiba-tiba… Bruaaaakk! Aku sempat menoleh ke sebrang jalan. Kulihat sebuah gerobak buah udah terguling waktu isinya bertumpahan di trotoar. Ternyata mang Gimin menabrak gerobak milik pedagang buah dipinggir jalan. Gara-gara terus-terusan menyimak diriku konsentrasi mengemudinya terpecah. Tentu saja si tukang buah malang tersebut tak melewatkan ia berlalu begitu saja. Si Tua itu terpaksa selesaikan kasus yang baru di buatnya itu khususnya dahulu sebelum akan membayangkan diriku. Rasain! Makan tuh jelek! Umpatku dari kejauhan.Dan kuyakin ia tambah panik dikarenakan kehilangan jejakku dan seperti tempo hari sehabis ini ia akan mencariku ke sana kemari tanpa arah tujuan yang jelas. Aku merasa cukup suka menyaksikan hasil pembalasanku padanya hari ini.

Tetapi anehnya terbesit juga rasa kasihanku menyaksikan si tua itu pontang panting. Duh! Kenapa aku ini?.Kenapa juga aku mendadak merasa rindu kepada si tua tidak baik itu! GrrraH! Ini tak boleh terjadi! Ujarku coba menguatkan tekatku. Perasaanku tak boleh terhanyut oleh muka memelas tuanya itu!. Semua itu sebatas topeng. Dia itu adalah penjahat yang udah merusak era depanku!. Dan dia wajib diberi pelajaran yang setimpal atas kejahatan yang ia melakukan padaku. Yang barusan itu belum seberapa. Dia wajib merasakan pembalasanku yang lebih dasyat. Sehingga membuatnya mengetahui apa sebenarnya yang di sebut sebagai penderitaan!. Dan puncaknya waktu mami pulang nanti. Dia wajib dipecat!

Hari minggu pagi yang cerah di sebuah taman kota.

Taman ini begitu luasnya dihiasi beberapa kolam besar. Pohon-pohon besar menjadikan kawasan ini bersih dan asri. Banyak sekali orang yang datang bersama dengan mengajak serta keluarganya buat berolahraga sambil berekreasi. Hal itu juga dimanfaatkan oleh beberapa pedagang buat tawarkan rupa-rupa makanan dan minuman. Aku duduk di bawah sebuah pohon flamboyan yang rindang sehabis dua jam-an melakukan joging. Duh sial betul! Umpatku dikala kurogoh kantung hotpant-ku. Ternyata aku lupa menyisipkan duwit buat membeli air minum. Padahal tadi udah kupersiapkan. Mungkin tertinggal di atas meja. Biarlah nanti saja minumnya toh aku tak begitu haus. Sebaiknya aku duduk saja dulu di sini. Sambil beristirahat jemariku mengutak atik tombol hp-ku. Membalas sms mami. Aku begitu asyik hingga tak mengetahui seseorang udah berdiri di dekatku.

“Non… ini minumnya”

Aku mendongak. Ternyata orang itu Mang Gimin. Ia menyodorkan sebotol air mineral kepadaku sambil cengar-cengir.
Huh! Ngapain juga ia ikut-ikutan kemari?!. Bikin orang tambah sebal saja. Sebenarnya aku joging pagi ini juga ada kaitannya bersama dengan dia. Entah mengapa sejak dinodainya hari itu aku bukan cuma membencinya tapi juga selalu terbayang akan dasyatnya orgasme yang menderaku waktu itu. Jika udah begitu kemaluanku mendadak berdenyut-denyut dan merasa gatal sekali.

Celanaku menjadi basah oleh cairan yang memancar dari didalam kewanitaanku. Yang lebih menyebalkan ulang tadi malam aku sampai-sampai mimpi berintim bersama dengan mang Gimin. Oleh dikarenakan itu aku sengaja berolahraga pagi ini buat mengalihkan pikiranku yang sedang kacau. Tiba-tiba saja terbetik sebuah rancangan buat mengerjainya. Aku bangkit dan meninggalkan tempatku membaca tadi. Namun hp-ku sengaja kutinggalkan di sana. Lalu bergegas menuju ke didalam sebuah WC lazim yang tak jauh dari situ.
“Lho nonn? …Noon..hp-nya ketinggalan?!” Kudengar ia memanggilku tapi aku tak ingin menanggapi.

Ia memungut hp-ku dari atas rumput. Tetapi kutahu ia tak akan menyusul diriku ke didalam WC perempuan. Kuintip dari celah pintu ia masih duduk di situ sambil memegang botol airminum dan hp-ku. Kusengaja berlama-lama di situ. Ketika ia lengah aku menyelinap nampak dari WC itu dan menjauh dari situ. Tak jauh dari situ kulihat sekumpulan pemuda sedang nongkrong makan mie gerobakan. Bagus! Ini cocok sekali bersama dengan rencanaku.

“Tolonggg bangg!…. tolooong!” aku segera menubruk tidak benar satu dari mereka bersama dengan memasang muka ketakutan.
“Eng a.adaa apaa?“ tanya pemuda itu tergagap. Hi hi Kukira ia grogi dikarenakan berhadapan bersama dengan seorang cewek indo yang terlalu cantik.
“Handphone aku bangg!….handphone aku di jambret!” lanjutku.
“Hah?! Di..manaa neng?” Pemuda yang lain-pun segera berdiri dan tempatkan piring mereka.
“Di situu bang, di dekat kolam sana. Orangnya juga belum kabur jauh. Mungkin masih berkeliaran di dekat WC”
“Ayo neng tunjukin ke abang yang mana orangnya!”ujar seseorang dari mereka begitu bersemangatnya. Dasar buaya! Apakah dia akan sesemangat itu terkecuali saja yang minta perlindungan adalah seorang nenek-nenek?! Huh!.
“Tet..tapii bang aku risau soalnya dia udah sejak kemarin-kemarin ngincar saya”ujarku berkelit.
“OK! Kalau gitu tunjukin saja beberapa ciri orangnya dan si neng tunggu saja di sini. Biar kita-kita yang beresin.”
Aku menyatakan secara garis besar perawakan mang Gimin kepada mereka.

“Oya bang, Hp aku itu berwarna coklat!” tambahku. Setelah merasa cukup keterangan dariku merekapun pergi.
Yes! Sempurna. Meskipun hatiku diliputi rasa dendam tapi begitu kuanggap permainan yang kulakukan ini tidaklah berbahaya. Dan aku percaya Mang Gimin tentu tak bakalan diapa-apakan oleh mereka. Begitu si tua keropos itu mengaku maka masalahnya akan segera selesai. Aku cuma ingin para pemuda itu membuatnya sport jantung. Dari kejauhan aku menyimak drama yang kusutradarai tersebut berlangsung. Jelas bersama dengan ringan mereka mendapatkan mang Gimin. Lalu bersama dengan cepat mereka berempat menggelilingi mang Gimin.
“Hi hi hi Rasakann! Kena kau saat ini bajingan tuir!” umpatku didalam hati.

Aku coba mengusahakan mendekat sehingga aku bisa mendengar suara obrolan mereka dan bisa menyaksikan muka tua itu waktu keresahan tapi aku tak boleh nampak baik oleh mang Gimin atau oleh keempat pemuda tadi. Sampai jarakku yang cukup dekat dan kudengar tidak benar satu dari mereka berkata membentak-bentak akupun berhenti dan mengintip dari balik sebuah pohon.

“Sudahlah pak!Kenapa tak mengaku saja dan ayah kembalikan saja hp-nya itu sehingga ayah tidak bisa masalah!”ujar seorang ibu turut menasehati. Ternyata kehebohan itu memicu beberapa orang yang lantas lalang ikut-ikutan nimbrung.
Hei! Sepertinya ada yang terjadi diluar skanorioku. pikirku
“Iya nih tua-tua kok blagu banget!”ujar tidak benar satu pemuda itu kesal.
“Mungkin dia pikir kita menjadi ngga tegaan serupa orang tua”timpal pemuda yang lain.
Suasana tambah memanas dikarenakan mang Gimin konsisten bungkam.
“Bego! Kenapa juga ia tidak segera mengaku saja.” umpatku terhadap mang Gimin.
“Sinii!” Salah satu pemuda itu nampak udah tak bisa menahan emosinya coba merampas paksa hp milikku dari tangan mang Gimin.
Namun mang Gimin tak melewatkan perihal itu terjadi. Ia justru memegang benda itu tambah erat. Bukk!! Tiba-tiba sebuah tinju melayang menghantam muka mang Gimin. Kulihat tubuh tua kerempeng itu jatuh terjengkang. Dan di susul oleh pukulan dan tendangan dari pemuda lainnya mendera tubuh rentanya. Lho?! Lho? kok jadi menjadi begini? Aku kaget dan panik.

Sungguh! Aku terlalu tak menyangka terkecuali kejadiannya akan menjadi segawat ini. Apa yang wajib kulakukan sekarang? Apakah sebaiknya aku biarkan saja perihal itu? Bukankah aku terlalu ingin ia mendapat ganjaran dari perbuatannya padaku? Bukk! Bukk! Plakk! Tubuh tua itu menggelung seperti tringgiling waktu belasan hantaman konsisten menghujaninya tanpa belas kasihan. Duhhh…akuu..akuu terlalu tak tegaa melihatnya…Akhh.. aku menjadi bingung…dan tak mengetahui apa sebenarnya yang kuinginkan.
“Stopp!! Hentiiiikann!” pekikku sambil berlari menyeruak masuk ke didalam kerumunan. Begitu melihatku, para pengeroyok itu menghentikan aksinya.

Tetapi ada seseorang yang belum juga berhenti memukuli mang Gimin meski yang lain udah berhenti. Kulihat sejak awal dialah yang paling bersemangat menjadi pahlawan. Pukulannya diayunkan bertubu-tubi ke muka sopir tuaku itu. Dan yang tambah membuatku miris dikala menyaksikan mang Gimin terima tiap tiap hantaman tersebut tanpa melakukan perlawanan sedikitpun. Dengan kemarahan kudorong orang gila kesurupan itu sekuat tenaga sehingga ia tersungkur mencium tanah.

“Hei! Apa-apaan nih!!” protesnya.
“Setannn kamu yaa!! Saya kan udah bilang berhentii!..Sembarangan saja!!”
“Lho kok marah-marah. Bukannya neng sendiri tadi bilang ayah ini ngejamret hp-nya neng?!”
“Begoo! Bukan dia orangnya!!Yang ini sopir saya!”
“Jadii bukan ayah ini, toh?. Lantas yang mana jambretnya neng?”
“Tidak tahu! barangkali udah kabur!”
“Lho ..kalau begitu anu..eng..maafin kita-kita ya pak.Soalnya si neng tadi ngasih ciri-cirinya si penjambretnya serupa banget serupa ayah ini..”

Setelah mendengar pengakuanku satu persatu orang-orang yang turut menghajar mang Gimin bubar bersama dengan sendirinya secara diam-diam. Mungkin mereka risau terkena tuntutan dikarenakan tidak benar menjatuhkan tangan. Untung saja tak ada polisi di sekitar daerah kejadian. Tinggalah aku dan mang Gimin yang masih terkapar di rerumputan sambil merintih-rintih kesakitan. Wajah tuanya lebam di sana sini. Hidungnya mengucurkan darah.

Aku coba membantunya berdiri. Susah sekali ternyata. Mang Gimin segera terduduk ulang di rumput sambil meringis kesakitan. Aku sempat risau terkecuali ada tulang-tulang tuanya yang patah dikarenakan insiden tadi. Saat itu pandangannya berkompetisi tatap denganku. Aku menjadi serbah salah. Matanya yang sendu itu seakan menyatakan kepadaku terkecuali ia udah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia pasrah terima apapun hukuman dariku. Meski aku tak ingin nampak lemah di matanya. Tetap saja butiran bening menetes tanpa bisa kucegah.

“Sebaiknya kita pulang saja saat ini ya non” ajaknya lembut sambil menyeka pipiku.
“Ma..mangg udah kuat jalan?” tanyaku ragu menyaksikan ia masih begitu susahnya buat berdiri.
“Ya non..mamang udah ndak apa-apa” jawabnya. Ia terjadi tertatih-tatih mengiringiku menuju ke mobil.

Di sedang perjalanan pulang ke rumah

Entah mengapa kali ini aku mau saja dikala diajaknya pulang.
“Non…”Panggilnya.
Aku diam sok tahan harga. Padahal sebenarnya hatiku terisris-iris menyaksikan wajahnya yang babak belur.
“Mamang tahu. Si non benci sekali serupa mamang…”
Ia konsisten berkata meski aku tak menanggapinya.
“Non.. mamang cuma mau bilang. Saat papi non pulang dari luar kota mamang akan mengaku serupa papi non.”
Aku terkejut mendengar omongannya itu.
“Lho, buat apa mang?! Mamang mau buat kasus ini tambah runyam, yah?!”tanyaku berang.
“Non ndak usah kuatir. Mamang tak akan menceritakan soal jalinan kita sebelumnya.

Mamang akan katakan bahwa mamang udah memperkosa non bersama dengan cara membius non khususnya dahulu bersama dengan obat tidur. Biarlah mamang mati ditembak serupa papinya non buat menebus kekeliruan yang mamang buat terhadap non”
“Kok mamang ngomong begituuu?!” entah mengapa aku menjadi panik mendengar dia ngomong nekat seperti itu.

Bukan dikarenakan risau akan rahasiaku selama ini terbongkar tapi lebih kepada membayangkan kemurkaan papi terhadapnya. Dan kupikir apa yang ia katakan bisa saja terjadi. Sebab papi barangkali saja punyai senjata api meski dia adalah warga negara asing di sini.
“Buat apa ulang mamang hidup.Mamang udah ndak punyai siapa-siapa lagi. Istri mamang… Narti..tega ninggalin mamang. Sekarang non Sabrina juga membenci mamang.Lagian mamang juga udah tua. Mati saat ini atau nanti juga tak ada bedanya buat mamang”
“Maang jangan melakukan ituu! Sabrina ga mau mamang melakukan ituuu!”rengekku.

Mang Gimin belumlah sempat ulang berkata, tiba-tiba hidungnya ulang mengucurkan darah segar. Iapun terpaksa meminggirkan ulang mobil kita ke pinggir jalan. Kali ini aku tak tinggal diam. Segera kuambil tisyu dari sakuku. Lalu mengusap lelehan darah yang keluar. Lalu kutahan tisyu tersebut terhadap hidungnya sehingga pendarahannya terhenti.

“Duh! Apa yang udah aku melakukan ini? Kenapa aku menjadi begitu lemah?” tanyaku didalam hati. “Kemanakah kemarahan dan kebencianku kemarin-kemarin itu? Amarah yang didasari oleh rasa kuatirku yang terlalu berlebih itu. Bagaimana bersama dengan rencana-rencanaku buat mencelakainya. Sebaiknya kuteruskan atau …….?”

Tidak! Rasanya….Aku tak bisa!. Aku mengetahui tak bisa membencinya. Melihat dia dihajar seperti tadi dan kondisinya waktu ini saja aku udah tak tega. Apalagi melewatkan ia mengaku terhadap papi. Ia tentu celaka. Lantas bagaimana bersama dengan semua kekuatirku selama ini? Soal keperawanan terhadap waktu malam pernikahan itu? Lalu kemarahan dan kekecewaan mami? Saat itu akal sehatku coba mengambil alih alih kendali diriku dari perasaanku.Aku wajib fokus dan lebih realistis. Baiklah! Sebaiknya kukupas saja satu persatu. Pertama-tama bukankah papi dan mami memintaku memproritaskan pendidikan di atas urusan lain? berarti pernikahanku baru terjadi sehabis aku selesaikan kuliahku.

Jadi perihal itu masih terlalu lama kan? Dan waktu itu terjadi aku udah tinggal di Amerika. Siapa mengetahui aku justru kawin serupa orang bule yang notabene tidak perduli soal keperawanan. Sekaligus bersama dengan begitu mami tidak bakalan mengetahui terkecuali tak ada orang yang mempersoalkannya. Jadi apa ulang yang wajib aku kuatirkan? Aku juga tak selayaknya menyalahkan mang Gimin didalam perihal ini. Kalau kupikir udah sepatutnya ia tak bisa mengendalikan nafsunya. Sudah hampir tiga minggu sejak di tinggal mbak Narti dia tidak bisa penuntasan.Lagian apakah barangkali seseorang keranjingan seks seperti dia cukup terpuaskan cuma bersama dengan melakukan petting? Rasanya mustahil.

Apalagi yang wanita yang sedang ia mesrahi adalah seorang gadis remaja yang mengiurkan seperti diriku yang sebenarnya sejak awal ingin ia perawani. Sedangkan aku sendiri tak bisa memungkiri terhadap waktu ia menggagahiku tidak cuman rasa risau dan sakit waktu itu akupun merasakan kenikmatan yang luar biasa yang belum dulu kurasakan. Bahkan begitu dasyatnya hingga tak bisa kulukiskan bersama dengan kata-kata. Lantas mengapa aku menguatirkan segala tetek bengek yang menghalangiku buat nikmati kenikmatan dasyat tersebut? Setelah hidungnya tak ulang mengeluarkan darah.

“Mangg. ..”panggilku.
“Iya non”
“Sabrina mau maafin mamang.”
“Lho?! Beneran nih non?” Ia terbengong. Sepertinya ia tak menyangka terkecuali aku tiba-tiba akan memaafkan dirinya.
“Iyah! Asal mamang janji tidak kasih mengetahui soal ini ke papi”
“Memangnya kenapa non? Mamang sebenarnya pantas di hukum atas kekeliruan yang mamang melakukan terhadap non Sabrina”
“Sabrinaa …Sabrina ga mau mamang celaka.”jawabku menunduk malu.
“Nonn…? ”
Lalu suasana sempat hening sejenak.

“Tapi..tapi apa bener si non udah tidak benci lagii serupa mamang?” Rupanya dia masih ragu. Tak cuma ucapan, dari kerut wajahnya juga menyiratkan itu.

“Lho iya. Emangnya mamang tidak percaya serupa Sabrina?” aku agak tersinggung dikarenakan ia mencurigakan ketulusanku.
“Bukan begituuu… Soalnya mamang sendiri rasanya tak bisa memaafkan kekeliruan mamang terhadap non. Mamang menyesal sekali. Rasanya lebih baik mamang dipukulin dan disiksa seperti tadi ketimbang dibenci serupa non.”

Aku bisa mengetahui sekarang. Ternyata ia risau sekali terkecuali aku memaafkannya cuma dikarenakan tak ingin kasus kita ini diketahui oleh papi bukanlah dikarenakan aku sungguh-sungguh ingin memaafkannya. Aku bangkit dari kursiku dan menyebrang ke posisi duduknya. Kerangkul lehernya erat dan kupagut bibir tua itu didalam ciuman. Ia tersentak kaget. Aku mengetahui ia tak menyangka aku akan berbuat seperti itu. Tapi itu cuma sesaat dan aku merasakan ia membalas kecupanku.
“Nah..Mamang udah percayakan terkecuali Sabrina sungguh udah maafin mamang?” tanyaku sehabis ciuman kita terlepas.
“Iyaa nonn..mamang percaya sekarang. Terima kasihh ya non.”

Cepat-cepat kulepas rangkulanku dan ulang ke kursiku. Padahal aku ingin sekali lebih lama didalam pelukannya. Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang lain menjalari hatiku. Tak cuma letupan kerinduan yang kurasakan tapi juga…kenyamanan …ketentraman…. serta perasaan risau kehilangan darinya. Terus terang tak bertegur sapa dengannya satu minggu ini udah merasa menyiksa diriku. Tapi.. tapii aku risau dikala rasa sayangku kepadanya tambah membesar. Aku rasa belum siap buat……. jatuh cinta padanya.
“Mangg ayoo anterin pulang sekarang. Sabrina haus nih. Ntar sekalian Sabrina obatin lukanya mamang pas udah di rumah”
“Oh Iyaa non iya non.” Jawabnya cepat ia baru tersadar terkecuali aku sebenarnya belum minum sejak tadi. ”Oya Nonn..besok pagi biar mamang anterin ke sekolah ya?”

“He eh!”ujarku sambil mengangguk mengiyakannya. Hatikupun merasa lega sekali. Tak ada ulang keresahan seperti kemarin-kemarin. Begitu juga bersama dengan dirinya. Aku bisa menyaksikan senyumnya ulang tersungging di antara memar-memar muka tuanya. Suasana penuh emosi selama sepekan ini udah ulang mencair. Keceriaan udah ulang ketengah-tengah kita berdua.

Kesokannya, Hari senin, sepulang sekolah.

Mobil mang Gimin udah menungguku di dekat gerbang.

“Mang, kita ke hotel yang tempo hari itu yuk” ajakku bersemangat dikala ia baru akan menstarter mobil.
“Haah, Non?!” mang Gimin justru terbengong menanggapi keinginanku itu.
“Lho, kenapa mang? Biar kali ini Sabrina yang bayar terkecuali mamang ngga punyai uang” Memang sejak pelajaran jam pertama aku udah horny sekali. Dan aku butuh yang ‘satu’ itu. Aku ingin ulang merasakan yang seperti tempo hari itu. Yang ada rasa sakitnya itu.
“Bu..bukann begituu…Tapiii mamang cuma heran. Kok non ndak kapok begituan serupa mamang?”
“Aaaaaaa mamaaaang!!” aku berteriak ngembek sambil memukul-mukul bahunya.
“Iyaa nonn..iyaa!. Duhh! Mamang kan ndak nolak dan cuma nanya saja.” katanya coba menenangkan diriku. Tanpa banyak tanya ulang mang Gimin segera tancap gas menuju hotel tersebut.

Satu jam kemudian, Di didalam kamar hotel.

Hentakan gitar listrik mengawali lagu I For You dari Luna Sea yang mengalun dari HP-ku waktu Mang Gimin melesakkan ujung penis tuanya ke didalam vaginaku sehabis hampir setengah jam-an memberiku foreplay. Mendadak ia menahan laju pinggulnya sambil bertanya.

“Nonn,boleh mamang masukin semuanya?”
“Ihhh mamangg! La iyalah mang! Ngapain ulang minta izin segala. Sabrina kan udah ngga perawan lagi.Lagian mana mau Sabrina ngajak kemari terkecuali cuma buat dicelup.” Gerutuku seraya membesarkan mataku. Dasar bego!. Bikin buyar konsentrasi saja!
“He he iya juga”
Perlahan ia menurunkan pinggulnya. Penisnyapun masuk sedikit-demi sedikit.
“Uhhh..pelannn..pelannn dongg maaaaangg” keluhku waktu kurasakan ngilu dikala benda itu menyeruak masuk dan menyentuh bekas-bekas luka keperawananku.
Blesssssss! Dan penis perkasa mang Gimin bersarang seluruhnya di didalam vaginaku. Pubiknya mentog menekan pubikku. Alat berarti kita ulang bertaut secara utuh! Ini merupakan kali ke-2 kita melakukannya. Tak ada pemaksaan kali ini. Tak ada ulang keresahan di hatiku. Memang masih ada rasa perih waktu ia memasukiku tapi tak seheboh dikala aku diperawaninya dulu. Tapi aku terlalu nikmati kehadirannya ke didalam diriku kali ini.
“Ughhhhhhhhhh…manggggggg…” rintihku.
“Masihh sakitt ya non?”tanyanya terbata-bata.
“He ehh sedikit..”jawabku lirih.

Mang Gimin mendiamkan penisnya mengeram tanpa gerakan. Lalu bibirnya yang tidak tipis dan kasar memagut bibirku. Memberiku ciuman yang ketat. Aku bisa merasakan kemaluannya berdenyut-denyut hebat di didalam liang vaginaku dan menyebabkan rasa gatal yang nikmat.

Mang Gimin sebenarnya punyai otot tantra yang terlalu kuat. Saat di luar benda di selangkangannya itu bisa melenting seratus delapan puluh derajat hingga menampar perutnya. Dapat dibayangkan misalnya mang Gimin mempergunakan keahliannya itu waktu penisnya sedang di didalam vagina. Benda itu bak hidup. Mengembang mengempis. Menekan semua syaraf kenikmatanku! Semakin lama penisnya mendekam di didalam sana tambah menggila nikmatnya. Penis mang Gimin seakan mengaktifkan picu ribuan ranjau kenikmatan di selama liang vaginaku yang peka.

“Ohgghhh m..amanggg!!…..”aku ulang merintih dan menggerinjal. Bukan dikarenakan sakit tapi dikarenakan enaknya udah tidak bisa ulang aku tolerir.
“Iyaa.. nooon?”tanya mang Gimin pura-pura bego. Ia mengetahui mengetahui apa yang sedang aku rasakan waktu ini. Ia tentu merasakan otot-otot liang senggamaku membengkak meremasi penisnya.
“E..naak.bangettt!”rintihku jujur.
“He he he terkecuali udah ndak sakit mamang kocokin saat ini ya?”katanya

Lalu secara perlahan sekali ia tarik penisnya, Aaaaaa….!. aku menatap wajahnya bersama dengan tatapan tak rela. Aku tak ingin ia mencabutnya. Tapi sedetik kemudian ia turun menghujam secara cepat. Blesssss!
“M..aamaaaanggggg!!” rintihanku tambah keras begitu penisnya ulang amblas….Tandas ke didalam liang senggamaku!. Kedua bola mataku berotasi atau lebih pas di sebut mendelik sejenak sebelum akan terpejam ketat.

Ia ulangi gerakan itu beberapa kali sebelum akan akhirnya pinggulnya bergerak maju dan mundur secara lembut dan tertata sambil memeluk pinggangku erat. Akhirnya …Kami terlalu bersenggama! Ngentot! Ya.. ini merupakan persetubuhan yang sebenarnya bukan ulang sebuah peting seperti yang biasa kita melakukan dulu-dulu itu. Nikmatnyapun sungguh tak terkira ! Puluhan kali lipat lebih kuat dari petting .

“Maa..maanngggg…enakk bangettt!!” Begitulah aku berulang-ulang merintih.
Syair lagu konsisten mendayu ditelingaku…kokoro kara kimi wo aishiteru…seiring hentakan kontol hitam-tua-nya ke vagina bule-ku.
“Uhhhhhh…noonn… punyaa nonn… juga enakkkk bangettt!! Perett!!!!” diapun merintih keenakan.
Cplak..clek..cplak cplok….suara mengairahkan itu mengiringi tiap tiap benturan pubik dan kemaluan kami. Kantung testisnya berayun-ayun dan merasa menampar-nampar pantatku. Semakin lama kocokan mang Gimin menjadikan rasa nikmat yang kurasakan itu tambah menggila. Duhhh!!! Gatalnyaaa!! Rasanya aku tak bisa ulang menahannya.
“Noonn …Mamangg mau ngetcrott di dalemm punyaa non boleh, kann?!’ rintihnya terbata-bata. Tentu saja aku mau ia melakukan itu tidak cuman dikarenakan waktu ini aku sedang tak di era kesuburanku, aku juga sebenarnya tunggu penisnya berdenyut kuat waktu kencing enaknya memancar di didalam vaginaku seperti waktu pertama aku di gagahinya.
“Iyaa manggg! Sabrinaa mauu!!”

Lalu ia peluk diriku terlalu erat sambil mempergencar tempo kocokannya. Akupun balas tambah erat merangkul dirinya. Sementara itu dinding-dinding vaginaku mengemung..membengkak..seakan hendak meremas habis penisnya.. Lalu didalam hitungan detik sebuah kontraksi diiringi ledakan besarpun terjadi…

“Manggggggg sayaanggggg Sabrinaa dapettttt!!AAAAAAAARRRRGGHH!!!”pekik kenikmatanku membahana mencukupi kamar hotel itu.
Orgasmeku datang lebih dulu darinya. Aku mengangkat pinggulku seraya mencengram bungkahan pantatnya kuat-kuat bersama dengan ke-2 tanganku. Aku ingin semua penisnya menghujam masuk sejauh barangkali ke didalam vaginaku!

Sedetik kemudian mang Gimin membentak kasar dan jorok
“AAAARRRRHHH..NONOOOK!!”
Dia menyusul ‘dapet’. Kepala penisnya yang serupa jamur itu berdenyut secara kuat di didalam rongga vaginaku. Lalu CROOOOOOOOOOTTTTTT!!….. sekejap itu air mani mang Gimin memancar deras. Sementara itu aku konsisten mengerang ditengah orgasmeku yang masih konsisten berlangsung. Tubuhku mengenjan. Sungguh tak terkatakan nikmat yang kualami waktu itu Pinggulku terangkat dari kasur menyambut hujamannya. Sementara rahimku menyambut tiap tiap pancaran benihnya.
“AWWWWWWW…Mamaaaaangggg!!”
CRROOOOOOOTTTT!!!………..CROOOOTTTTTTTTTTT!!!
“Aaaaaarggg!!Nonoookk!!!..” lagi-lagi ia membentakan kalimat nan jorok itu tiap tiap kali spermanya terpancar.
Tubuh kita tambah erat melekat satu serupa lain. Menggelinjang dan menjerit seiring didalam kukungan puncak kenikmatan menggila itu. Sementara alat berarti kita bertaut, berkedut hebat dan saling berikan kenikmatan satu serupa lain. Mang Gimin masih konsisten saja ia menghujam-hujamkan kontolnya. Hingga tiga menitan semuanyapun berlalu. Mang Gimin ambruk di atas tubuhku.

“Hss..Aduhh nonn…hsss..enaknyaa!… mamang ndak bisa ngomong lagi!… badan mamang sampe gemetaran kaya meriang..hsss…mamang sayang banget serupa nonn…hsss” puji mang Gimin di antara engahan napasnya yang masih memburu.

Sepertinya ia tak bohong. Bukan cuma aku yang merasakan kenikmatan hebat itu dia juga merasakannya. Bahkan tubuhnya kurasakan masih bergetar-getar bak kesetrum. Kukira apa yang terjadi terhadap mang Gimin merupakan efek psikologis dikarenakan begitu bahagianya ia bersama dengan penyerahan bulat-bulat diriku kepadanya sehingga mendorongnya mengalami orgasme yang begitu kuat seperti barusan itu.

“Hi hi hi..mamang… sampe segitunyaa…udahh mamang diem aja dulu. Ga usah bawel!”
Ketika kita ulang berciuman. Kulumat bibirnya bersama dengan gemas. Aku gemas dikarenakan aku ingin ia entot lagi!. Nikmat yang menderaku barusan tadi itu sungguh membuatku ketagihan. Tidak!Bagiku itu bukan ulang letupan sebuah ranjau. Itu adalah ledakan dari bom Nuklir mini. Tak ada ulang penyesalan di hatiku dikarenakan udah menyerahkan keperawananku terhadap sopir tuaku itu.Yang kusesalkan kini justru mengapa terlambat melakukannya.

Tak wajib permintaan dariku. Sebagai seorang yang terlalu berpengalaman di ranjang mang Gimin terlalu mengetahui akan hasrat gadis muda sepertiku. Kontol tuanya merasa masih begitu kaku di didalam jepitan liang senggamaku. Dalam satu jam ke depan ia tak ulang berhenti menggenjotku, menghajarku, memberiku letupan demi letupan kenikmatan yang tak juga ulang jumlahnya. Vaginaku tak dulu ulang terlepas dari sumbatan penis tuanya. Kini aku bisa mempraktekan beraneka posisi bercinta yang dulu dipertontonkan olehnya bersama dengan mbak Narti dulu.

“Manggg Udahan duluu!.Punya Sabrina ngiluuu banget… cabutt sekarang!.”rintihku padanya.
Salahnya sendiri terkecuali aku menjadi kesakitan. Entah mengapa dia mengusahakan keras ‘memaksakan’ penisnya yang melengkung itu buat meraih basic vaginaku. Tapi selalu saja ia gagal melakukan itu. Secara logika liang indo-ku masih terlalu didalam untuk bisa ia raih bersama dengan ujung penisnya. Seandainya saja penisnya lebih panjang satu atau dua senti ulang barangkali saja keinginannya itu bisa terjadi. Mang Gimin menuruti permintaanku.

Ia menghentikan genjotannya dan mencabut terlepas penisnya dari liang vaginaku. Plop! Seketika spermanya yang terkumpul di didalam liang senggamaku bertumpahan ke atas sprey. Kulihat penisnya melayang tanpa bobot bak sebuah balon zepplin cuma beberapa senti di atas pubik-ku. Aku mengetahui dia masih ingin lagi. Buktinya benda perkasa itu masih ngacung keras sekali. Terangguk-angguk kuat oleh otot tantra-nya. Namun belum ulang satu menit.

“Mangg…masukinn lagii”pintaku
“Lho, kata non tadi udah?”tanyanya heran.
“Aaaa!!..Masukinn!!” rengekku manja.Aku lebih mau merasakan sakitnya ketimbang wajib berpisah bersama dengan rasa nikmat yang diakibatkan oleh penis tuanya itu.
“Iya..iyaa..” ujar mang Gimin menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan tingkahku itu. Ia ulang naik ke atas tubuhku dan menjejalkan senjata-nya ke didalam vaginaku.

Jlepp!! Seketika penisnya ulang bersarang di vaginaku bersama dengan mempunyai rasa perih dan kenikmatan sekaligus. Kamipun ngentot lagi!. Benar sekali misalnya mbak Narti mengumpamakan mang Gimin bagai seekor kuda tua yang liar. Sepanjang siang itu aku digarapnya habis-habisan. Aku tak bisa ulang mengkalkulasi berapa kali aku mendapat orgasme darinya siang itu. Dan diapun udah beberapa kali orgasme. Kukira selayaknya testisnyapun udah kosong.

Tapi ia seakan tak ingin melewatkan tubuhku indahku tersia-sia begitu saja. Meski tubuhnya udah basah kuyup dibanjiri oleh peluh tapi ia konsisten mengayun pantatnya bersama dengan perkasa memicu penis tuanya selalu lincah mengaduk liang senggamaku ke sana kemari. Dan Sungguh! Aku serupa sekali tak merasa terhina tiap tiap kali ia meracau jorok ditengah-tengah ejakulasinya. Itu justru merupakan sanjungan buatku. Sebab ia tak dulu seperti itu misalnya bersetubuh bersama dengan mbak Narti. Itu berarti aku lebih unggul dari mbak Narti. Itu juga berarti vaginaku mengetahui lebih sedap ketimbang punyanya mbak Narti.

Di permukaan sprey kutemukan bercak-bercak darah. Kemungkinan berasal sisa-sisa selaput daraku. Sebab dulu itu kita cuma sempat bercinta sebentar. Dan kali ini mang Gimin udah menuntaskannya. Mencabik-cabiknya habis sehingga tak tersisa sedikitpun sekaligus mengubur kesempatan bagi pria manapun di dunia ini juga suamiku kelak untuk turut merasakannya. Kurasa kini dia terlalu suka dikarenakan keinginannya untuk menjadi Laki-laki pertama bagiku udah terkabul. Sepulangnya dari situ kita tidak segera menuju ke rumah. Mang Gimin justru melarikan mobilnya menuju ke arah luar kota.

Dua jam kemudian kita tiba di sebuah desa kecil yang terpencil. Kami masih wajib terjadi kaki ulang selama lima belasan menit sebelum akan akhirnya hingga di sebuah rumah yang berdiri sendiri di sana tanpa ada satupun rumah lain di sekitarnya. Aku baru mengetahui ternyata itu adalah rumah seorang penghulu nikah sirih.Pikiranku berkecamuk dan hatiku diliputi keresahan waktu mang Gimin meminta kesedianku buat menjadi istrinya.

“Kenapa kita wajib nikah, mang? Sabrina kan tidak minta tanggung jawab mamang atas ternodanya Sabrina” tanyaku heran.
“Mamang cuma ingin non dan mamang bisa selalu bersama”
“Tapii Mangg…Sabrina pikir ini tidak betul..dan.. dan..Sabrina belum siap… ”kataku. Kukira kita masih bisa konsisten nikmati kebersamaan itu tanpa wajib menikah sekalipun.
“Ndak apa apa terkecuali non tidak mau. Mamang ndak memaksa.” ujarnya pasrah.
Aku mengetahui dia kecewa atas penolakanku. Tetapi aku tak mendapatkan alasan yang mengetahui buat menikah dengannya. Saat kita melangkah ke luar rumah pak penghulu. Aku menyaksikan guratan perasaan sedih yang mendalam di muka tuanya. Aku dulu melihatnya seperti itu sehabis mbak Narti meninggalkannya.
“Mamang tidak marah terhadap Sabrina, kan?”tanyaku.
“Ndak non. Mana barangkali mamang marah serupa non. Mamang udah kadung sayang serupa non. Walau non ndak mau mamang nikahi rasanya mamang udah bahagia. Asalkan bisa selalu menyaksikan senyuman non Sabrina di sisa usia mamang,” ujarnya sambil tersenyum getir.

“Ohh..mangggg..”

Aku merasa haru sekaligus tersanjung mendengar pengakuannya itu. Tak kuduga Laki-laki tua itu ternyata menyukaiku. Ia terlalu jatuh cinta kepadaku. Dan ia ingin punyai diriku secara total bukan cuma ingin tubuhku semata. Aku menjadi termenung sesaat. Bagaimana bersama dengan diriku? Rasanya udah cukup bukti terkecuali akupun terlalu mencintainya. Lantas apa yang menghalangiku buat bersatu dengannya? Bagaimana bersama dengan status sosial dan usia mang Gimin yang tak sebanding denganku? Apakah aku malu mengakui perasaanku kepadanya? Dan sanggupkah aku menyaksikan Laki-laki yang udah merengut kegadisanku akhirnya mengambil alih keputusan menikahi wanita lain dikarenakan penolakanku ini?

“Manggg…”panggilku.
“Iya non?”
“Nikahi Sabrina, mang. Sabrina bersedia menjadi istri mamang” ujarku mantab.
“Be..benarr nih nonn?” tanyanya tergagap. Ia nampak terkejut sekali mendengar ucapanku itu.
Aku mengangguk mengiyakan. Aku tak ingin ulang hidup didalam ketidakjujuran. Perasaan cintaku kepadanya konsisten tumbuh tambah besar dari waktu ke waktu tanpa ada yang bisa mencegahnya. Apalagi sehabis semua yang terjadi di antara kami. Mana barangkali aku hidup tanpa dirinya. Aku begitu memerlukan dirinya. Dan akupun ingin punyai dirinya seluruhnya cuma untuk diriku sendiri. Aku mengetahui akan semua konsekwensi dari keputusan singkat yang kuambil waktu itu. Hari-hariku barangkali udah tak akan serupa ulang bersama dengan sebelumnya.Tetapi aku udah mantab menyerahkan segala-galanya demi dia.
“Terima kasih, non” Ujar Mang Gimin lega.

Wajahnya yang tadi muram kini tersungging sebuah senyum kebahagiaan. Aku-pun menarik tangannya ulang ke didalam rumah pak penghulu. Siang itu, aku formal menjadi istri kesekian mang Gimin. Aku tak mengetahui apakah pernikahan kita syah atau tidak. Tetapi aku tak ambil pusing akan soal itu.

Yang mengetahui waktu itu aku merasa begitu suka bisa bersatu dengannya. Selesai melangsungkan pernikahan. mang Gimin menambahkan sejumlah duwit kepada pak penghulu. Lalu kamipun bergegas pergi dari situ. Tapi hujan turun bersama dengan lebatnya. Kami tak punyai pilihan lain tidak cuman menerobos derasnya hujan. Kendala lain pun muncul. Karena vaginaku masih merasa sakit sekali maka mang Gimin wajib memapahku waktu berjalan. Akibatnya kita berdua basah kuyup dikala hingga di didalam mobil.

“Non Sabrina..”ujarnya sebelum akan menstarter mobil.
“Iya mang”
“Mamang berjanji sehabis ini mamang tak akan dulu menikah lagi. Biarlah non yang menjadi istri paling akhir buat mamang”
“Aduhhh pake ikrar segala sih mang? Benerannn nihh?” godaku tak percaya.
Mang Gimin cuma mengangguk. Tetapi mata tuanya menatapku bersama dengan pandangan yang teduh. Tatapannya kurasakan begitu kebapakan sekaligus memicu aku tersadar terkecuali ia bukanlah ulang sopirku yang bisa kuperintah atau ku olok-olok sekehendak hatiku. Mang Gimin saat ini adalah suamiku yang wajib aku hormati. Aku merangkulnya erat seraya berucap
“Manggg maafin istrimu ini ya. Mulai waktu ini Sabrina akan mengabdi kepada mamang”
Ia membelai rambutku lembut membuatku merasa nyaman berada di didalam dekapannya. Hujan konsisten turun bersama dengan lebatnya diiringi suara guntur mengiringi ikrar kita berdua hari itu.

Setibanya di rumah hari udah menjelang malam.Malam itu aku jatuh demam.Kedua pembantu pengganti mbak Narti menjadi kelabakan. Mereka secara bergantian menjaga dan mengompresku. Mereka juga mengabari mami mengenai itu sehingga mami mengomel di telpon kepada mang Gimin. Dia mengira aku sakit dikarenakan kehujanan waktu tunggu jemputan mang Gimin yang doyan pergi ngelayap. Saat tidur vaginaku tiba-tiba kram. Rasa nyeri di selangkanganku membaur menjadi satu bersama dengan sisa kenikmatan membuatku aku mengigau didalam demamku.

Untungnya mereka terlalu bodoh untuk mengetahui apa yang aku ucapkan. Kesokan harinya mami pulang mendadak dikarenakan risau bersama dengan keadaanku. Aku melalui hari-hari bersama dengan beristirahat di kamarku. Aku dilarang mami buat nampak dari kamar. Mang Gimin tak bisa berbuat banyak meski ia terlalu mencemaskanku. Ia cuma bisa saling menatap rindu dan melempar senyum denganku dari balik kaca jendela kamarku. Setelah melalui satu minggu aku-pun pulih total. tapi hari itu aku belum ulang ke sekolah. Pagi itu mami berangkat lagi.ketika aku sedang tidur-tiduran sendirian di kamar. Tiba-tiba mang Gimin masuk. Ia segera naik ke ranjangku. Tanpa ba bi bu ulang ia menyergapku bersama dengan ciuman ketat.

“Empp.?” aku kaget tapi segera membalas kecupannya. Aku rindu sekali akan belaiannya.
“Manggg entar ketahuan serupa bibik” ujarku risau dikala ciuman kita terlepas.
“Ndak usah kuatir, non. Mereka berdua udah mamang kasih duwit buat jalan-jalan ke Mal hingga sore.”Jelasnya.Ternyata mang Gimin panjang akal juga.
“Mamang kengen banget serupa nonnn”
“Sabrina juga kangen serupa mamang”Saat itu aku sebenarnya terlalu memerlukan dirinya di dekatku.
Kami ulang berciuman.
“Mangg cepetan entot Sabrina” ujarku tak sabaran.
Meski beberapa hari yang lantas mang Gimin mengintimiku hingga selangkanganku ngilu..Tapi aku tidak kapok. Aku justru rindu akan sodokannya. Sakit berbaur bersama dengan orgasme yang terjadi membuatku tergila-gila dan ketagihan akan seks.
“Non pinginnya mamang celup apa di entot?”
“Dijilatin, dicelup konsisten di entot serupa kontol gede mamang”

Setelah satu minggu lebih aku tersiksa menahan gairahku. Akhirnya aku meraih penuntasan dari tubuh tua suamiku itu. Itu adalah kali ke pertama kita bersetubuh sehabis pernikahan kami. Siang itu kita melakukan persetubuhan didalam durasi yang panjang. Sekian jam kontol melengkung mang Gimin tak ulang kulepaskan dari kuluman liang senggamaku. Malamnya kita ulang mengulanginnya hingga menjelang pagi harinya. Layaknya pengantin baru lain akupun terlalu ingin jalinan badan yang terlalu sering dan Mang Gimin tak dulu mengecewakanku didalam urusan yang satu itu. Meski udah tua dan peot ia begitu jantan dan berpengalaman. Untuk bisa bercinta denganku mang Gimin tak dulu kehabisan akal. Setiap malam ia menyusup masuk melalui jendela kamarku. Lalu nampak di pagi harinya melalui jalan yang sama.

Untungnya ke-2 pembantuku tak dulu mengetahui apa yang terjadi di didalam kamarku tiap tiap malamnya. Mereka juga selalu tidur lebih awal sehingga memudahkan aksi mang Gimin. Apa yang dikehendaki mbak Narti tempo hari udah menjadi kenyataan. Aku udah sukses mengantikan kedudukan dirinya.Aku mengusahakan keras menambahkan yang terbaik buatnya sebagai isyarat pengabdianku. Tak cuma meladeninya di ranjang.Akupun memasakan ikan peda balut daun labu makanan kesukaannya, menyedukan teh jahe minuman favoritnya di waktu pagi dan sore. Juga semua perihal yang dulu di melakukan mbak Narti dulu kepadanya. Tetapi mang Gimin justru melarangku terus-terusan melakukan semua itu. Ia bilang ia tak ingin jalinan kita hingga di ketahui oleh orang lain khususnya oleh ke-2 pembantuku.

Ia menyatakan ia udah merasa terlalu suka tanpa aku wajib melakukan semua itu buatnya. Terbukti sehabis menikahiku tubuhnya pun ulang agak gemukan. Aku sungguh suka bersuamikan dia. Aku cuma tersenyum misalnya mendengar para kawan sesama gadis di sekolahku sedang mengulas pria idaman mereka yang tampan. Seandainya saja kalian mengetahui betapa perkasanya mang Gimin di ranjang…betapa buasnya dia waktu menggauli raga beliaku…betapa dasyat kenikmatan yang bisa kalian peroleh dari penis keriputnya…tentu kalian tak wajib ulang mengejar-ngejar pria seperti yang kalian idolakan itu. Anehnya selama hampir satu th. digaulinya aku tak dulu hingga hamil.

Padahal mang Gimin tidak dulu ulang Mengenakan kondom tiap tiap kali bersetubuh denganku. Tidak seperti waktu ada mbak Narti dulu. Entah apa yang ada didalam pikiranku. Aku tak dulu mencegahnya buat berejakulasi secara internal di didalam vaginaku meski di waktu-waktu suburku. Setiap tetes sperma yang terproduksi oleh testis tuanya ia tanamkan seluruhnya di didalam rahimku membuatku berbahaya terhamili.

Hingga terhadap suatu hari tugas papi di sini selesai. Ia wajib ulang ke Amerika mempunyai mami dan diriku ke sana. Itu berarti aku dan mang Gimin wajib berpisah. Aku sempat menangisi perpisahan itu. Sebelum berangkat aku memberinya sebuah handphone sehingga aku dan dia bisa saling mengabari dari jauh. Setelah kehilangan mbak Narti dan kini aku juga wajib terpisah dari suamiku, mang Gimin. Setelah berpisah dariku mang Gimin menepati ikrarnya waktu menikahiku dulu.Ia tidak dulu ulang menikah. Ia hidup menetap di kampungnya seorang diri. Hingga satu th. berselang sehabis itu kudengar berita dari mbak Narti terkecuali mang Gimin meninggal. Aku menangisinya hingga berhari- hari. Ada rasa penyesalan dikarenakan aku tak bisa merawatnya dan berada di dekatnya sebelum akan kepergiannya.

Di Amerika ternyata nasibku juga tak terlepas dari kemalangan. Pada bulan itu juga, sebuah kecelakaan pesawat udah merengut nyawa ke-2 orang tuaku. Kuliahku di sana sempat terhenti. Aku terlalu menjadi sebatang kara. Mami sebenarnya tak punyai kerabat di sana. Sedangkan keluarga papi merasa asing bagiku.Setelah peristiwa itu aku putuskan untuk ulang kemari. Aku pilih tinggal bersama dengan saudara jauh nenekku dari mami di kota H. Ia seorang janda tua yang hidup sendiri. Sambil bekerja di sebuah agensi jenis aku meneruskan kuliahku.

Setetes air bening jatuh membasahi lembaran kertas diary. Menjadikan semua keajaiban itu terhenti. Sabrina ulang ulang ke alam nyata. Tulisan- tulisannya ulang nampak terpenggal-penggal oleh batasan-batasan ruang dan waktu.

Dear Diary…

8 Agustus..

Kampus baru, suasana baru, Dan Woww..cowok-cowoknya keren…

Siang tadi aku berteman seorang gadis….cantik sekali. Sepertinya hatinya baik. Dari cara bicaranya aku mengetahui itu bukan keramahan yang ia buat-buat. Tak seperti kebanyakan cewek lain yang belum apa-apa udah menanamkan rasa iri dan dengki dikarenakan kecantikanku.

Belum satu jam berteman tapi udah banyak sekali yang kita bicarakan. Lidya Indahsari namanya.

Aku suka anak ini… Aku terlalu meminta dia bisa menjadi seorang kawan baik buatku.….

“Eh Rin…Aku haus banget! Ambil minum, yuk” terdengar suara ajakan Lidya tambah menyadarkan Sabrina.
Cepat-cepat ia menutup buku yang berisikan rahasia era lalunya itu. Sabrina merasa ia wajib menyembunyikan seluruhnya dari Lidya dikarenakan ia risau Lidya tak akan bisa terima semua itu. Apa yang udah ia melakukan tak tidak serupa bersama dengan Lila. Dia-pun dulu menjalin sebuah jalinan bersama dengan seorang pria berstatus sosial serupa seperti Alfi. Bahkan menikahinya. Sabrina tak ingin semua itu akan merusak jalinan persahabatan mereka.

“Hei,?! Engkau menangis, Rin?!” tanya Lidya kaget menyaksikan mata dan pipi sahabatnya itu basah. Sabrina-pun tersadar dan mengusahakan menguasai dirinya sambil menyeka sisa air matanya.Tetapi air matanya selalu konsisten berjatuhan tanpa terbendung.
“Duhh Rin!Ada apa?” Lidya cepat memeluk sahabatnya yang sebatang kara itu.
“Ngga apa-apa, Lid…Hks… A aku cuma teringat serupa mami dan papi. Terkadang aku merasa dunia ini begitu tak adil kepadaku hks” jawab Sabrina justru tambah terisak-isak.

“Sttt…sudahh Rinn..sudahh. Kan masih ada aku. Biarkan aku menjadi seorang saudara bagimu. Biarkan aku menjadi pengganti keluargamu yang udah hilang itu, ya” bujuk Lidya iba. Sesungguhnya nasibnya sebenarnya masih lebih untungkan dari nasib Sabrina. Meski ayahnya juga udah tak ada tapi setidaknya ia masih punyai seorang ibu dan kakak yang terlalu menyimak dan menyayangi dirinya. Sedangkan Sabrina hidup seorang diri tanpa sanak keluarga. Keceriaannya dan keliarannya selama ini sebatas sebuah pelarian dari rasa kesepiannya akan cinta dan kasih sayang.

“E.ngkau mau berpikiran aku sebagai saudaramu, Lid?”
“Lho memangnya kenapa Rin? Sejak dulupun berpikiran persahabatan kita lebih dari sebatas teman”
“Sekalipun aku adalah seorang gadis liar yang punyai latar belakang yang tidak serupa denganmu?”
“Rinnn.Aku menyayangimu. Apakah itu masih belum cukup?”
“Itu udah lebih dari cukup,Lid. Makasih ya” ujar Sabrina kali ini ia yang memeluk Lidya.

Lidya sengaja menahan sahabatnya itu agak lama didalam peluknya. Lila dulu menyatakan terkecuali secara psikolgis sebuah pelukan yang hangat akan menambahkan rasa nyaman terhadap seseorang yang sedang mengalami tekanan secara mental sekaligus merupakan obat antistress yang efektif. Dan ia mengetahui Sabrina terlalu memerlukan perihal itu waktu ini.
“Nah udah lega, kan?” tanya Lidya dikala pelukan mereka terpisah dan disambut anggukan Sabrina.

Lidya suka menyaksikan sebuah senyum kebahagiaan mengembang dari sahabatnya itu. Lalu mereka nampak dari kamar dan menuju ke dapur. Untungnya mereka sempat membeli aneka soft drink dan jus buah waktu datang ke rumah ini. Mereka melewatkan capek sambil nikmati kesejukan jus dari kulkas.

“Eh ngomong-ngomong sepertinya Alfi udah selesai mengerjakan semua perintahmu. Sebaiknya suruh saja ia pulang” ujar Sabrina melongok ke luar jendela menyaksikan anak itu sedang duduk tersandar di beranda belakang bersama dengan baju basah kuyub oleh keringat.

“Sebenarnya aku belum suka memberinya pelajaran!”
“Aduhhh kok merasa sewott ulang sih, Lid?”
“Iya soalnya aku bener-benar sebal kepadanya! Aku ingin ia menjauh selalu dari kehidupan kak Lila!”
“Hmm..Kalau begitu biarkan ia sering datang kemari atau… minta terhadap kakakmu sehingga dia tinggal di sini bersama dengan kita biar bisa engkau kerjai dia tiap hari”ujar Sabrina.

“Engkau udah gila? Mana barangkali aku melewatkan seorang pemerkosa, penjahat kelamin seperti dia berkeliaran di sekitar kita. Bisa-bisa kita-pun dimangsanya!”
“Jika tak begitu, bagaimana engkau bisa memberinya sebuah pelajaran yang pahit”
“Maksudmu?” Tanya Lidya merasa tertarik akan petunjuk sohibnya itu.
“Bukankah tadi engkau katakan terkecuali engkau ingin dia pergi dari kehidupan kakakmu?”
“Ya, lantas?”
“Kenapa tidak kita jebak saja dia”
“Dijebak?”
“Ya.Kita goda dia. Begitu ia ingin melakukan aksinya kita jebak dia bersama dengan perangkap yang udah kita sediakan. Setelah ada bukti kejahatannya barulah kita beri ia hukuman sekehendak yang engkau inginkan”
“Aku masih belum mengerti?.”
“Ahhh! Nanti akan aku jelaskan detailnya. Percayakan saja seluruhnya padaku. Yang penting engkau setuju atau tidak kita melakukannya?”
“Baiklah terkecuali begitu” Lidya akhirnya setuju menyaksikan Sabrina begitu antusias mobilisasi rencananya.

Keesokan harinya, Pukul 12:30
Pada sebuah bank.

Terlihat Alfi masih Mengenakan seragam sekolahnya sedang duduk tunggu di antara para nasabah. Sepulang sekolah ia segera menuju kemari atas permintaan Lidya dikarenakan ada sesuatu yang ingin Lidya bicarakan dengannya. Hari ini merupakan grand opening bagi cabang bank itu di kota S. Nasabah yang mengantri udah cukup banyak. Mereka tak cuma dibuat nyaman oleh suasana interior bank berkelas tapi juga oleh service dan senyum ramah dari staf bank yang biasanya cantik. Terlihat Lidya duduk di belakang tidak benar satu meja custamer service sedang melayani seorang nasabah.

Begitupun halnya Sabrina yang menduduki meja bersebelahan dengannya. Pandangan Alfi konsisten bergantian menatap ke arah ke dua gadis itu. Tadinya ia berpikir tak ada gadis lain yang bakalan bisa menandingi kecantikan Sandra dan Niken. Ternyata dugaannya salah. Kedua gadis itu seakan merupakan pilar bagi Bank ini. Kemolekan Lidya dan Sabrina seakan menjadi magnet bagi para nasabah pria di sana. Senyum manis selalu mengembang dan menghiasi muka mereka waktu melayani sang nasabah yang duduk dihadapannya. Suatu dikala Sabrina bangkit dari kursinya lantas terjadi menuju ke sebuah meja daerah tumpukan slip yang berada di segi lain dari Bank itu.

Sepertinya ia mengambil alih sesuatu buat orang yang sedang dilayaninya. Tatapan Alfi hampir tak berkedip menyaksikan sosok molek yang melenggok bak peragawati di atas catwalk melintasi daerah duduknya. Begitu jarak mereka tambah dekat, Alfi tambah tak bisa memungkiri terkecuali Sabrina sebenarnya terlalu cantik. Tubuhnya tinggi semampai didukung oleh proporsi ukuran tubuh yang ideal bagai jam pasir itu menjadikannya begitu sempurna dimata Laki-laki manapun. Tak cuma itu balutan seragam ketat berwarna menyala memicu kulitnya yang putih tambah bercahaya. Ditambah rok yang sedikit jauh di atas lutut tambah memicu jantung Alfi berdetak-detak kencang. Betapa indahnya ke-2 batang kaki yang bergerak saling mendahului itu. Tak bisa dibayangkan pula betapa dasyat dan indahnya kawasan yang ada di anggota pangkalnya. Pikir Alfi tambah jauh melayang. Selagi ia sedang larut didalam hayalan indahnya tiba-tiba saja Sabrina berhenti di depannya.

“Eh..AlFi? Engkau tunggu Lidya, ya?”tanya gadis itu sambil tersenyum.
“I.iyaa .kakk..”jawab Alfi gelagapan. Duhh! Manisnya. Matanyapun berbinar indah bak mutiara.
“Sabar yaa. Kira-kira dua puluh menit ulang giliran kita istirahat”
“Baik kak”

Alfi tak habis berpikir bagaimana bisa seorang karyawan Laki-laki bisa bekerja bersama dengan baik dan penuh konsentrasi di tengah-tengah parede makluk-makluk molek seperti Lidya, dan Sabrina.Wanita-wanita ini yang tak cuma punyai paras yang cantik tapi juga punyai tubuh indah yang bisa merentangkan tali syawat seorang Laki-laki hingga putus. Tak cuma para nasabah lelaki. Alfi percaya sekali terkecuali para Laki-laki terhadap bank itupun selalu diliputi ketegangan.

Seperti Pak Niko.Salah seorang kepala anggota di sana yang mondar mandir mengawasi jalannya service para stafnya kepada nasabah. Alfi menyaksikan pria perlente bertubuh subur itu berulang kali mengusap dahinya bersama dengan sapu tangan padahal tak ada peluh sedikitpun yang mengucur nampak dari kulitnya. Tentu saja dikarenakan ruangan di situ selalu dingin oleh semburan hawa AC. Jelas ia cuma berpura-pura kepanasan sehingga ia bisa gunakan sapu tangannya sebagai kamuplase sehingga orang-orang di sekitar situ tak menyaksikan gerakan matanya.

“Dasar buaya!…Kena kau!” ujar Alfi didalam hati waktu ia menyaksikan Niko mencuri-curi lirik ke arah tubuh aduhai gadis-gadis itu.
Alfi mengganggap sebenarnya pihak menegemen Bank udah bersama dengan sengaja mengeksploitasi para gadis karyawan mereka. Tinggal perihal tersebut dikatakan menjadi sebuah kasus pelecehan seksual misalnya seorang Laki-laki ketahuan tertangkap basah menatap batang-batang paha putih nan indah itu dan si pemilik paha-paha putih tersebut menjadi tidak senang.

Jadi perihal tersebut syah-syah saja selama si penikmat pandai-pandai mengintip dan gunakan suasana seperti pak Banusi security tua yang bertugas menambahkan kartu antrian yang ballpoint-nya terlalu sering jatuh ke lantai sehingga membuatnya sering menjongkok buat memungut benda tersebut sambil menatap lurus ke arah gadis-gadis yang sedang duduk melayani para nasabah.Syukur-syukur si gadis tersebut sedang didalam posisi tak begitu untungkan sehingga si tua itu bisa menyaksikan anggota yang agak lebih menjorok ke didalam di antara ke-2 batang paha-paha itu. Alfi sendiri coba mengendalikan dirinya bersama dengan memirsa acara terhadap televisi yang di sedia kan buat para nasabah yang sedang duduk tunggu antrian. Ia melakukan itu dikarenakan penisnya perlahan tapi tentu berdiri dan mendesak celana sekolahnya. Sungguh tak lucu misalnya tiap tiap orang diruangan ini menyaksikan tonjolan besar tersebutsaat ia berdiri nantinya.

Pukul 13:00
Di Kantin Bank

“Fi, kita berdua ingin minta tolong kepadamu”ujar Lidya mengakses percakapan.
“Minta tolong apa ya kak? Beres-beres rumah lagi?”
“Bukan. Kami ingin kamu menemani kita selama kita menduduki rumah milik kak Lila soalnya kita tak berani menduduki rumah itu berdua saja tanpa ada lelaki. Seperti yang engkau ketahui bahwa kita adalah orang baru di sini.”
“Eng..Tinggal di sana, kak?” tanya Alfi seakan tak percaya bersama dengan atas apa yang ia dengar barusan.
“Iya benar. Dan rencananya nanti sore aku akan menemui kak Lila buat minta izin buatmu”
Wow! Tinggal serumah bersama dengan mereka berdua?! Jantung Alfi ulang berdetak kuat diiringi oleh reaksi hormon kelaki-lakiannya yang segera mendorong penisnya ber-ereksi.

“Tapii…Aduhh bagaimana ya? Rasanya Alfi tidak bisa kak…soalnya… anuu”jawab Alfi. Jelas ia mau. Tapi masalahnya Lidya tidak mengetahui terkecuali sebenarnya ia justru tidak tinggal serumah bersama dengan Lila. Namun ia tak barangkali menyatakan kepada mereka soal jalinan dirinya bersama dengan Sandra dan yang lain.

“Jadi engkau tidak bersedia membantu kami?!”tanya Lidya merasa dongkol mendengar penolakan Alfi.
“Alfi bukannya ga mau menolong, kak. Tetapi Alfi terlalu tidak bisa, kak. Lagian terkecuali masalahnya cuma dikarenakan segi keamanan. Kakak berdua tidak usah kuatir. Kawasan itu terlalu aman, kok. Dulupun kak Lila selalu pulang praktik malam dan tinggal sendirian di situ. Sedangkan kakak tinggal berdua di sana, kan?”

“Akh! Pokoknya kita tidak mau ambil resiko, Fi!.Bagaimana terkecuali hingga ada yang berbuat jahat terhadap kami? Untuk itu kamu wajib tinggal bersama dengan kita di sana!”ujar Lidya bersama dengan suara yang merasa meninggi. Jawaban Alfi tersebut tambah memicu Lidya gemas dan tak sabaran. Ia merasa Alfi sengaja menampik dikarenakan tak ingin dipisahkan dari Lila.
“Tapi kak kenapa wajib Alfi. Kakak kan bisa saja melacak orang lain!” jawab Alfi. Ia sendiri merasa kesal bersama dengan sikap Lidya yang terlalu egois dan selalu terkesan bossy terhadapnya. Sungguh tidak serupa bersama dengan Lila, gadis ini sungguh sulit diberi pengertian. Melihat suasana beralih memanas cepat-cepat Sabrina mengambil alih alih kendali.

“Emm begini, Fi. Maksud Lidya keberadaanmu di sana cuma untuk waktu waktu saja hingga suasana terlalu kita anggap aman. Mungkin cuma sekitar dua minggu-an begitu.”
“Engg…”Alfi masih belum bisa memastikan perihal itu. Bagaimanapun ia wajib berkata dulu bersama dengan Sandra dan yang lain.
“Bisa yaa Fiii. Masa kamu tega menyaksikan kita berdua selalu didalam ketakutan?” rayu Sabrina. Duh! Pertahanan Alfi seakan runtuh mendengar suara memelas itu.

“Terserah apa kata kak Lila nanti.Alfi sih menurut saja, kak”
“Soal itu biar Lidya yang mengatakannya terhadap kak Lila. Yang penting bagaimana bersama dengan kamu? Apakah kamu bersedia?” tanya Sabrina.

“Iya deh kak. Alfi bersedia” jawab Alfi
“Nah gitu donk hi hi hi.” Ujar Sabrina sambil mengerling dan tersenyum penuh arti ke Lidya. Permainan ini baru saja dimulai. Tetapi mereka sungguh lupa mengetahui terkecuali selalu adanya dampak ‘kalah’ terhadap tiap tiap permainan.

CeritaDewasa