Gadis Cantik Yang Haus Akan Seks

kenangan.xyz – Wanita yang bernama Alina wajahnya benar-benar manis menurutku sebab dia terlahir dari bapak keturunan Manado dan Ibunya keturunan Makasar, keluarganya dia sebetulnya cukup berada di mana bapaknya yang bekerja sebagai anggota polisi dan ibunya adalah pebisnis kayu di kotanya.
Singkat cerita, disaat hari pertama saya ketemu dengan rekan kuliahku itu, rasanya kita langsung akrab sebab sebetulnya sewaktu kita sama-sama duduk di bangku kuliah, kita benar-benar kompak dan kerap tidur dengan di rumah kostku di kota Bone. Bahkan seringkali dia mentraktirku.
“Nis, saya senang sekali bertemu denganmu dan sebetulnya sudah lama kucari-cari, maukah kamu mengingap barang sehari atau dua hari di rumahku?” katanya padaku sambil merangkulku dengan erat sekali. Nama rekan kuliahku itu adalah “Nasir”.
”Kita melihat saja nanti. Yang memahami saya benar-benar bersukur kita mampu ketemu di daerah ini. Mungkin inilah namanya nasib baik, sebab saya mirip sekali tidak menduga kecuali kamu tinggal di kota Makassar ini” jawabku sambil membalas rangkulannya. Kami berangkulan cukup lama di kira-kira pasar sentral Makassar, tepatnya di daerah jualan cakar.
“Ayo kita ke rumah dulu Nis, nanti kita ngobrol panjang lebar di sana, sekaligus kuperkenalkan istriku” ajaknya sambil menuntunku naik ke mobil Feroza miliknya. Setelah kita tiba di halaman rumahnya, Nasir terlebih dahulu turun dan langsung membuka pintu mobilnya di sebelah kiri selanjutnya mempersilakan saya turun.
Aku benar-benar takjub melihat rumah daerah tinggalnya yang berlantai dua. Lantai bawah digunakan sebagai gudang dan kantor perusahaannya, kala lantai atas digunakan sebagai daerah tinggal dengan istri. Aku hanya ikut di belakangnya.
“Inilah hasil usaha kita Nis sepanjang beberapa th. di Makassar” katanya sambil tunjukkan tumpukan beras dan ruangan kantornya.
“Wah cukup hebat kamu Sir. Usahamu cukup lemayan. Kamu benar-benar berhasil dibanding saya yang belum memahami sumber kehidupanku” kataku padanya.
“Lin, Lin, inilah rekan kuliahku dulu yang dulu kuceritakan tempo hari. Kenalkan istri cantik saya” teriak Nasir memanggil istrinya dan langsung kita dikenalkan.
“Alina”, kata istrinya menyebut namanya disaat kusalami tangannya sambil ia tersenyum ramah dan manis seolah tunjukkan rasa kegembiraan.
“Anis”, kataku pula sambil membalas senyumannya.
Nampaknya Alina ini adalah seorang istri yang baik hati, ramah dan selalu memelihara kecantikannya. Usianya kutaksir baru kira-kira 25 th. dengan tubuh sedikit langsing dan tinggi badan kira-kira 145 cm dan juga berambut agak panjang.
Tangannya merasa hangat dan halus sekali. Setelah selesai menyambutku, Alina selanjutnya mempersilakanku duduk dan ia buru-buru masuk ke dalam seolah tersedia urusan perlu di dalam.
Belum lama kita bincang-bincang seputar perjalanan usaha Nasir dan pertemuannya dengan Alina di Kota Makassar ini, dua cangkir kopi susu beserta kue-kue bagus disajikan oleh Alina di atas meja yang tersedia di depan kami.
“Silakah Kak, dinikmati hidangan ala kadarnya” ajakan Alina menyentuh langsung ke lubuk hatiku. Selain sebab senyuman manisnya, kelembutan suaranya, juga sebab penampilan, kecantikan dan sengatan bau farfumnya yang harum itu.
Dalam hati kecilku mengatakan, alangkah senang dan bahagianya Nasir mampu memperoleh istri layaknya Alina ini. Seandainya saya juga membawa istri layaknya dia, pasti saya tidak mampu ke mana-mana
“Eh, kok malah melamun. Ada kasus apa Nis sampai termenung begitu? Apa yang mengganggu pikiranmu?” kata Nasir sambil memegang pundakku, agar saya benar-benar kaget dan tersentak.
“Ti.. Tidak tersedia kasus apa-apa kok. Hanya saya merenungkan sejenak perihal pertemuan kita hari ini. Kenapa mampu terjadi yah,” alasanku.
Alina hanya terdiam mendengar kita bincang-bincang dengan suaminya, namun sesekali ia memandangiku dan menampakkan muka cerianya.
“Sekarang giliranmu Nis cerita perihal perjalanan hidupmu dengan istri sehabis sejak tadi hanya saya yang bicara. Silahkan saja cerita panjang lebar mumpun hari ini saya tidak tersedia aktivitas di luar.
Lagi pula anggaplah hari ini adalah hari keunggulan kita yang mesti dirayakan bersama. Bukankah begitu Lin..?” kata Nasir seolah cari bantuan dari istrinya dan waktunya siap digunakan khusus untukku.
“Ok, kecuali gitu saya dapat utarakan sedikit perihal kehidupan rumah tanggaku, yang benar-benar bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangga kalian” ucapanku sambil melakukan perbaikan dudukku di atas kursi empuk itu.
“Maaf kecuali terpaksa kuungkapkan secara konsisten terang. Sebenarnya kedatanganku di kota Makassar ini justru sebab dipicu oleh gangguan rumah tanggaku. Aku selalu cekcok dan bertengkar dengan istriku sebab saya kesusahan memperoleh lapangan kerja yang layak dan mempu menghidupi keluargaku.
Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan rumah peranan melacak pekerjaan di kota ini. Eh.. Belum saya temukan pekerjaan, tiba-tiba kita ketemu tadi sehabis dua hari saya ke sana ke mari. Mungkin pertemuan kita ini tersedia hikmahnya. Semoga saja pertemuan kita ini merupakan jalan terlihat untuk menanggulangi kesusahan rumahtanggaku” Kisahku secara jujur pada Nasir dan istrinya.
Mendengar kisah sedihku itu, Nasir dan istrinya tak mampu berkomentar dan terlihat ikut sedih, apalagi kita seluruh terdiam sejenak. Lalu secara serentak mulut Nasir dan istrinya terbuka dan seolah dambakan menyebutkan sesuatu, namun tiba-tiba mereka saling menatap dan menutup lagi mulutnya seolah mereka saling mengharap untuk memulai, namun malah mereka ketawa terbahak, yang membuatku heran dan memaksa juga ketawa.
“Begini Nis, kemungkinan pertemuan kita ini benar tersedia hikmahnya, sebab kebetulan sekali kita perlu rekan layaknya kamu di rumah ini. Kami khan belum dikaruniai seorang anak, agar kita selalu kesepian.
Apalagi kecuali saya ke luar kota andaikata ke Bone, maka istriku terpaksa sendirian di rumah walau sekali-kali ia memanggil kemanakannya untuk menemani sepanjang saya tidak ada, namun saya selalu menghawatirkannya. Untuk itu, kecuali tidak memberatkan, saya dambakan kamu tinggal bersamaku.
Anggaplah kamu sudah dapatkan lapangan kerja baru sebagai sumber mata pencaharianmu. Segala keperluan sehari-harimu, saya coba menjamin sesuai kemampuanku” kata Nasir bersungguh-sungguh yang sesekali diiyakan oleh istrinya.
“Maaf kawan, saya tidak senang merepotkan dan membebanimu. Biarlah saya cari kerja di daerah lain saja dan..” Belum saya selesai bicara, tiba-tiba Nasir memotong dan berkata..
“Kalau kamu tolak tawaranku ini berarti kamu tidak menganggapku lagi sebagai sahabat. Kami ikhlas dan punya niat baik padamu Nis” katanya.
“Tetapi,” Belum kuutarakan maksudku, tiba-tiba Alina juga ikut bicara..
“Benar Kak, kita benar-benar butuh rekan di rumah ini. Sudah lama hal ini kita hiraukan namun kemungkinan baru kali ini dipertemukan dengan orang yang pas dan sesuai hati nurani. Apalagi Kak Anis ini sebetulnya sobat lama Kak Nasir, agar kita tidak mesti ragukan lagi.
Bahkan kita benar-benar senan kecuali Kak sekalian menjemput istrinya untuk tinggal dengan kita di rumah ini” ucapan Alina berikan impuls kuat padaku.
“Kalau begitu, apa boleh buat. Terpaksa kuterima dengan senang hati, sekaligus kuucapkan menerima kasih yang tak terhingga atas budi baiknya. Tapi sayangnya, saya tak miliki keterampilan apa-apa untuk menopang kalian” kataku dengan pasrah.
Tiba-tiba Nasir dan Alina seiring berdiri dan langsung saling berpelukan, apalagi saling mengecup bibir sebagai sinyal kegembiraannya. Lalu Nasir melanjutkan rangkulannya padaku dan juga mengecup pipiku, agar saya sedikit malu dibuatnya.
“Terima kasih Nis atas kesediaanmu menerima tawaranku semoga kamu berbahagia dan tidak kesusahan apa-pun di rumah ini. Kami tak butuh keterampilanmu, melainkan kehadiranmu menemani kita di rumah ini.
Kami hanya perlu rekan bermain dan tukar pikiran, sebab tenaga kerjaku sudah cukup untuk menopang mengelola usahaku di luar. Kami kapan waktu butuh nasehatmu dan istriku pasti merasa terhibur dengan kehadiranmu menemani kecuali saya terlihat rumah” katanya dengan benar-benar bergembira dan senang mendengar persetujuanku.
Kurang lebih satu bulan lamanya kita seolah hanya diperlakukan sebagai raja di rumah itu. Makanku diurus oleh Alina, daerah tidurku kadangkala juga dibersihkan olehnya, apalagi ia berharap untuk mencuci pakaianku yang kotor namun saya keberatan.
Selama kala itu pula, saya sudah dilengkapi dengan pakaian, apalagi kamar tidurku dibelikan TV 20 inch lengkap dengan VCD-nya. Aku benar-benar malu dan merasa berutang budi pada mereka, sebab tak hanya pakaian, akupun diberi duwit tunai yang jumlahnya cukup besar bagiku, apalagi belakangan kuketahui kecuali ia juga seringkali kirim pakaian dan duwit ke istri dan anak-anakku di Bone melalui mobil.
Kami bertiga sudah cukup akrab dan hidup dalam satu rumah layaknya saudara kandung bersenda gurau, bercengkerama dan bergaul tanpa batas seolah tidak tersedia perbedaan standing layaknya majikan dan karyawannya.
Kebebasan pergaulanku dengan Alina memuncak disaat Nasir berangkat ke Sulawesi Tenggara sepanjang beberapa hari untuk membawa beras untuk di menjual di sana sebab tersedia keinginan dari langgarannya.
Pada malam pertama keberangkatan Nasir, Alina terlihat gembira sekali seolah tidak tersedia kegalauan apa-apa. Bahkan sempat menyebutkan kepada suaminya itu kecuali ia tidak kuatir lagi ditinggalkan walau berbulan-bulan lamanya sebab sudah tersedia yang menjaganya, namun ucapannya itu dianggapnya sebagai bentuk humor pada suaminya. Nasir pun terlihat tidak tersedia kegalauan meninggalkan istrinya dengan alasan yang sama.
Malam itu kita (aku dan Alina) menonton dengan di area tamu sampai larut malam, sebab kita sambil tukar pengalaman, juga soal sebelum akan nikah dan latar belakang perkawinan kita masing-masing.
Sikap dan tingkah laku Alina sedikit tidak serupa dengan malam-malam sebelumnya. Malam itu, Alina menyebabkan kopi susu dan menyodorkanku dengan pisang susu, selanjutnya kita nikmati berbarengan sambil nonton. Ia makan sambil berbaring di sampingku seolah dianggap biasa saja. Sesekali ia membalikkan tubuhnya kepadaku sambil bercerita, namun saya pura-pura bersikap biasa, walau tersedia ganjalan aneh di benakku.
“Nis, kamu tidak keberatan khan menemaniku nonton malam ini? Besok khan tidak tersedia yang mengganggu kita agar kita mampu tidur siang sepuasnya?” bertanya Alina tiba-tiba seolah ia tak mengantuk sedikitpun.
“Tidak kok Lin. Aku justru senang dan senang mampu nonton dengan majikanku” kataku sedikit menyanjungnya. Alina selanjutnya mencubitku dan..
“Wii de.. De, kok saya dibilangin majikan. Sebel saya mendengarnya. Ah, jangan lagi kata itu lagi deh, saya tak senang dipanggil majikan” katanya.
“Hi.. Hi.. Hi, tidak salah khan. Maaf kecuali tidak senang, saya hanya main-main. Lalu saya mesti panggil apa? Adik, Non, Nyonya atau apa?”
“Terserah dech, yang perlu bukan majikan. Tapi saya lebih seneng kecuali kamu memanggil saya adik” katanya santai.
“Oke kecuali begitu maunya. Aku dapat panggil adik saja” kataku lagi.
Malam makin lama larut. Tak satupun terdengar nada kecuali nada kita berdua dengan nada TV. Alina tiba-tiba bangkit dari pembaringannya.
“Nis, apa kamu kerap nonton kaset VCD dengan istrimu?” bertanya Alina dengan sedikit rendah suaranya seolah tak senang didengar orang lain.
“Eng.. Pernah, namun sama-sama dengan orang lain juga sebab kita nonton di rumahnya” jawabku menyembunyikan sikap keherananku atas pertanyaannya yang tiba-tiba dan sedikit aneh itu.
“Kamu ingat judulnya? Atau jalan ceritanya?” tanyanya lagi.
“Aku lupa judulnya, namun pemainnya adalah Rhoma Irama dan ceritanya adalah kasus percintaan” jawabku dengan pura-pura bersikap biasa.
“Masih senang ngga kamu temani saya nonton film dari VCD? Kebetulan saya miliki kaset VCD yang banyak. Judulnya macam-macam. Terserah yang mana Anis suka” tawarannya, namun saya sempat berfikir kecuali Alina dapat memutar film yang aneh-aneh, film orang dewasa dan umumnya khusus ditonton oleh suami istri untuk membangkitkan gairahnya.
Setelah kupikir segala resiko, keyakinan dan dosa, saya selanjutnya buat alasan.
“Sebenarnya saya senang sekali, namun saya takut.. Eh.. Maaf saya benar-benar ngantuk. Jika tidak keberatan, lain kali saja, pasti kutemani” kataku sedikit bimbang dan kuatir alasanku salah. Tapi akhirnya ia menerima walau nampaknya sedikit kecewa di wajahnya dan kurang semangat.
“Baiklah kecuali sebetulnya kamu sudah ngantuk. Aku tidak senang mirip sekali memaksamu, lagi pula saya sudah cukup senang dan senang kamu bersedia menemaniku nonton sampai selarut ini.
Ayo kita masuk tidur” katanya sambil mematikan TV-nya, namun sebelum akan saya menutup pintu kamarku, saya melihat sejenak ia sempat memperhatikanku, namun saya pura-pura tidak menghiraukannya.
Di atas daerah tidurku, saya gelisah dan bingung mengambil ketentuan perihal alasanku kecuali besok atau lusa ia lagi mengajakku nonton film tersebut. Antara mau, malu dan rasa kuatir selalu menghantukiku.
Mungkin dia juga mengalami hal yang sama, sebab dari dalam kamarku selalu terdengar tersedia pintu kamar terbuka dan tertutup dan juga air di kamar mandi selalu kedengaran tertumpah.
Setelah kita makan malam dengan keesokan harinya, kita lagi nonton TV sama-sama di area tamu, namun penampilan Alina kali ini agak lain dari biasanya. Ia berpakaian serba tipis dan tercium bau farfumnya yang harum menyengat hidup sepanjang area tamu itu.
Jantungku sempat berdebar dan hatiku gelisah melacak alasan untuk menolak ajakannya itu, walau gejolak hati kecilku untuk mengikuti kemauannya lebih besar dari penolakanku. Belum saya sempat menemukan alasan tepat, maka
“Nis, tetap ingat janjimu tadi malam? Atau kamu sudah ngantuk lagi?” pertanyaan Alina tiba-tiba mengagetkanku.
“O, oohh yah, saya ingat. Nonton VCD khan? Tapi jangan yang seram-seram donk filmnya, saya tak suka. Nanti saya mimpi tidak baik dan membuatku sakit, khan sibuk jadinya” jawabku mengingatkan untuk tidak memutar film porn.
“Kita liat aja permainannya. Kamu pasti senang menyaksikannya, sebab saya yakin kamu belum dulu menontonnya, lagi pula ini film baru” kata Alina sambil meraih kotak yang memuat setumpuk kaset VCD selanjutnya menarik sekeping kaset yang paling di atas seolah ia sudah mempersiapkannya, selanjutnya memasukkan ke CD, selanjutnya mundur dua langkah dan duduk di sampingku tunggu apa gerangan yang dapat terlihat di layar TV tersebut.
Dag, dig, dug, getaran jantungku benar-benar keras tunggu gambar yang dapat tampil di layar TV. Mula-mula saya yakin kecuali filmnya adalah film yang mampu dipertontonkan secara lazim sebab gambar pertama yang terlihat adalah dua orang gadis yang sedang berloma naik speed board atau sampan dan saling membalap di atas air sungat.
Namun dua menit kemudian, terlihat pula dua orang pria memburuhnya dengan naik kendaraan yang sama, akhirnya keempatnya bertemu di tepi sungai dan bergandengan tangan selanjutnya masuk ke salah satu villa untuk bersantai bersama.
Tak lama sesudah itu mereka berpasang-pasangan dan saling membuka pakaiannya, selanjutnya saling merangkul, mencium dan setelah itu sebagaimana layaknya suami istri. Niat penolakanku tadi tiba-tiba terlupakan dan terganti dengan kemauan kemauanku.
Kami tidak mampu mengeluarkan kata-kata, terlebih disaat kita melihat dua pasang muda mudi bertelanjang bulat dan saling menjilati kemaluannya, apalagi saling mengadu alat yang paling vitalnya. Kami hanya mampu saling melihat dan tersenyum.
“Gimana Nis,? Asyik khan? Atau tukar yang lain saja yang lucu-lucu?” pancing Alina, namun saya tak menjawabnya, malah saya melenguh panjang.
“Apa kamu kerap dan senang nonton film beginian dengan suamimu?” giliran saya bertanya, namun Alina hanya menatapku tajam selanjutnya mengangguk.
“Hmmhh” kudengar nada nafas panjang Alina terlihat dari mulutnya.
“Apa kamu dulu praktekkan layaknya di film itu Nis?” bertanya Alina disaat salah seorang wanitanya sedang menungging selanjutnya laki-lakinya menusukkan kontolnya dari belakang selanjutnya mengocoknya dengan kuat.
“Tidak, belum pernah” jawabku singkat sambil lagi bernafas panjang.
“Maukah kamu mencobanya nanti?” bertanya Alina dengan nada rendah.
“Dengan siapa, kita khan pisah dengan istri untuk sementara” kataku.
“Jika kamu bertemu istrimu nanti atau wanita lain misalnya” kata Alina.
“Yachh.. Kita liat saja nanti. Boleh juga kita coba nanti hahaha” kataku.
“Nis, apa malam ini kamu tidak dambakan mencobanya?” Tanya Alina sambil sedikit merapatkan tubuhnya padaku. Saking rapatnya agar tubuhnya merasa hangatnya dan bau harumnya.
“Dengan siapa? Apa dengan wanita di TV itu?” tanyaku memancing.
“Gimana kecuali dengan aku? Mumpung hanya kita berdua dan nggak dapat tersedia orang lain yang tahu. Mau khan?” Tanya Alina lebih memahami lagi mengarah sambil menyentuh tanganku, apalagi menyandarkan badannya ke badanku.
Sungguh saya kaget dan jantungku seolah copot mendengar rincian pertanyaannya itu, apalagi ia menyentuhku. Aku tidak mampu lagi berpikir apa-apa, melainkan menerima apa terdapatnya malam itu.
Aku tidak dapat kemungkinan mampu menolak dan mengecewakannya, apalagi saya benar-benar menginginkannya, sebab sudah beberapa bulan saya tidak melakukan sex dengan istriku. Aku mencoba merapatkan badanku pula, selanjutnya mengelus tangannya dan merangkul punggungnya, agar merasa hangat sekali.
“Apa kamu serius? Apa ini mimpi atau kenyataan?” Tanyaku benar-benar gembira.
“Akan kubuktikan keseriusanku sekarang. Rasakan ini sayang” tiba-tiba Alina melompat selanjutnya mengangkangi ke-2 pahaku dan duduk di atasnya sambil memelukku, dan juga mencium pipi dan bibirku bertubi-tubi.
Tentu saya tidak mampu menyia-nyiakan peluang ini. Aku langsung menyambutnya dan membalasnya dengan sikap dan tindakan yang sama. Nampaknya Alina sudah dambakan langsung tunjukkan dengan melepas sarung yang dipakainya, namun saya belum senang membuka celana panjang yang kepakai malam itu.
Pergumulan kita dalam posisi duduk cukup lama, walau berkali-kali Alina memintaku untuk langsung melepas celanaku, apalagi ia sendiri beberapa kali berusaha membuka kancingnya, namun selalu saja kuminta agar ia bersabar dan pelan-pelan sebab waktunya benar-benar panjang.
“Ayo Kak Nis, cepat sayang. Aku sudah tak tahan dambakan membuktikannya” rayu Alina sambil melepas rangkulannya selanjutnya ia tidur telentang di atas karpet abu-abu sambil menarik tanganku untuk menindihnya. Aku tidak tega melepas ia penasaran terus, agar saya langsung menindihnya.
“Buka celana sayang. Cepat.. Aku sudah letih nih, ayo dong,” pintanya.
Akupun langsung menuruti permintaannya dan melepas celana panjangku. Setelah itu, Alina menjepitkan ujung jari kakinya ke anggota atas celana dalamku dan berusaha mendorongnya ke bawah, namun ia tak berhasil sebab saya sengaja mengangkat punggungku tinggi-tinggi untuk menghindarinya.
Ketika saya mencoba menyingkap pakaian daster yang dipakaianya ke atas selanjutnya ia sendiri melepaskannya, saya kaget sebab tak kusangka kecuali ia mirip sekali tidak memanfaatkan celana. Dalam hatiku bahwa kemungkinan ia sebetulnya sengaja siap-siap dapat bersetubuh denganku malam itu.
Di bawah cahaya lampu 10 W yang dibarengi dengan cahaya TV yang makin lama seru bermain bugil, saya benar-benar memahami melihat sebuah lubang yang dikelilingi daging montok nan putih mulus yang tidak ditumbuhi bulu selembar pun.
Tampak menonjol sebuah benda mungil layaknya biji kacang di tengah-tengahnya. Rasanya cukup menantang dan mempertinggi birahiku, namun saya selalu berusaha mengendalikannya agar saya mampu lebih lama bermain-main dengannya. Ia saat ini sudah bugil 100%, agar terlihat bentuk tubuhnya yang langsing, putih mulus dan indah sekali dipandang.
“Ayo donk, tunggu apa lagi sayang. Jangan biarkan saya tersiksa layaknya ini” pinta Alina tak dulu berhenti untuk langsung nikmati puncaknya.
“Tenang sayang. Aku pasti dapat memuaskanmu malam ini, namun saya tetap senang bermain-main lebih lama biar kita lebih banyak menikmatinya”kataku
Secara perlahan namun pasti, ujung lidahku merasa menyentuh tepi lubang kenikmatannya agar menyebabkan pinggulnya bergerak-gerak dan berdesis.
“Nikmat khan kecuali begini?” tanyaku berbisik sambil menggerak-gerakkan lidahku ke kiri dan ke kanan selanjutnya menekannya lebih dalam lagi agar Alina 1/2 berteriak dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya seolah ia menyambut dan dambakan memperdalam masuknya ujung lidahku.
Ia hanya mengangguk dan memperdengarkan nada desis dari mulutnya.
“Auhh.. Aakkhh.. Iihh.. Uhh.. Oohh.. Sstt” nada itu tak mampu dikurangi disaat saya gocok-gocokkan secara lebih dalam dan keras dan juga cepat terlihat masuk ke lubang kemaluannya.
“Teruuss sayang, nikkmat ssekalii.. Aakhh.. Uuhh. Aku belum dulu merasakan layaknya ini sebelumnya” katanya dengan nada yang agak keras sambil menarik-narik kepalaku agar lebih rapat lagi.
“Bagaimana? Sudah siap menyambut lidahku yang panjang lagi keras?” tanyaku sambil melepas seluruh pakaianku yang tetap tersisa dan kamipun sama-sama bugil.
Persentuhan tubuhku tak sehelai benangpun yang melapisinya. Terasa hangatnya hawa yang terlihat dari tubuh kami.
“Iiyah,. Dari tadi saya menunggu. Ayo,. Cepat” kata Alina terburu-buru sambil membuka lebar-lebar ke-2 pahanya, apalagi membuka lebar-lebar lubang vaginanya dengan menarik kiri kanan ke-2 bibirnya untuk memudahkan jalannya kemaluanku masuk lebih dalam lagi.
Aku pun tidak senang menahan-nahan lagi sebab sebetulnya saya sudah senang bermain lidah di mulut atas dan mulut bawahnya, apalagi keduanya benar-benar basah. Aku selanjutnya mengangkat ke-2 kakinya sampai bersandar ke bahuku selanjutnya berusaha menusukkan ujung kemaluanku ke lubang vagina yang sejak tadi tunggu itu. Ternyata tidak mampu kutembus sekaligus sesuai keinginanku. Ujung kulit penisku tertahan, padahal Alina sudah bukan perawan lagi.
“Ssaakiit ssediikit.., ppeelan-pelan sedikit” kata Alina disaat ujung penisku sedikit kutekan agak keras. Aku gerakkan ke kiri dan ke kanan namun juga belum berhasil amblas.
Aku menurunkan ke-2 kakinya selanjutnya meraih sebuah bantal kursi yang di belakanku selanjutnya kuganjalkan di bawah pinggulnya dan membuka lebar ke-2 pahanya selanjutnya kudorong penisku agak keras agar sudah merasa masuk setengahnya.
Alinapun merintih keras namun tidak bicara apa-apa, agar saya tak peduli, malah makin lama kutekan dan kudorong masuk sampai amblas seluruhnya. Setelah seluruh batang penisku terbenam semua, saya sejenak berhenti bergerak sebab letih dan melemaskan tubuhku di atas tubuh Alina yang juga diam sambil bernafas panjang seolah baru kali ini nikmati betul persetubuhan.
Alina lagi menggerak-gerakkan pinggulnya dan akupun menyambutnya. Bahkan saya tarik maju mundur sedikit demi sedikit sampai jalannya agak cepat selanjutnya cepat sekali. Pinggul kita bergerak, bergoyang dan berputar cocok agar mengundang bunyi-bunyian yangberirama pula.
“Tahan sebentar” kataku sambil mengangkat kepala Alina tanpa mencabut penisku dari lubang vagina Alina agar kita dalam posisi duduk.
Kami saling merangkul dan menggerakkan pinggul, namun tidak lama sebab merasa sulit. Lalu saya berbaring dan telentang sambil menarik kepada Alina mengikutiku, agar Alina berada di atasku. Kusarankan agar ia menggoyang, mengocok dan memompa dengan keras lagi cepat.
Ia pun cukup memahami keinginanku agar ke-2 tangannya bergantung di atas dadaku selanjutnya menghentakkan agak keras bolak balik pantatnya ke penisku, agar terlihat kepalanya lemas dan seolah senang jatuh sebab baru kali itu ia melakukannya dengan posisi layaknya itu.
Karena itu, kumaklumi kecuali ia cepat letih dan langsung menjatuhkan tubuhnya melekat ke atas tubuhku, walau pinggulnya tetap selalu bergerak naik turun.
“Kamu kemungkinan benar-benar capek. Gimana kecuali tukar posisi?” kataku sambil mengangkat tubuh Alina dan melapas rangkulannya.
“Posisi bagaimana lagi? Aku sudah beberapa kali merasa nikmat sekali” tanyanya heran seolah tidak memahami apa yang dapat kulakukan, namun selalu ia mengikuti permintaanku sebab ia pun merasa benar-benar nikmat dan belum dulu mengalami permainan layaknya itu sebelumnya.
“Terima saja permainanku. Aku dapat tunjukkan beberapa pengalamanku”
“Yah.. Yah.. Cepat melakukan apa saja” katanya singkat.
Aku berdiri selanjutnya mengangkat tubuhnya dari belakang dan kutuntunnya sampai ia dalam posisi nungging. Setelah kubuka sedikit ke-2 pahanya dari belakan, saya selanjutnya menusukkan lagi ujung penisku ke lubangnya selanjutnya mengocok dengan keras dan cepat agar mengundang bunyi dengan irama yang indah seiring dengan gerakanku.
Alina pun terengah-engah dan napasnya terputus-putus menerima kenikmatan itu. Posisi kita ini tak lama sebab Alina tak mampu mencegah rasa capeknya berlutut sambil kupompa dari belakan. Karenanya, saya kembalikan ke posisi awal mulanya yaitu tidur telentang dengan paha terbuka lebar selanjutnya kutindih dan kukocok dari depan, selanjutnya kuangkat ke-2 kakinya bersandar ke bahuku.
Posisi inilah yang menyebabkan permainan kita memuncak sebab tak lama sehabis itu, Alina berteriak-teriak sambil merangkul keras pinggangku dan mencakar-cakar punggungku. Bahkan sesekali menarik keras wajahku melekat ke wajahnya dan menggigitnya dengan gigitan kecil. Bersamaan dengan itu pula, saya merasakan tersedia cairan hangat merasa menjalar di batang penisku, terlebih disaat merasa sekujur tubuh Alina gemetar.
Aku selalu berusaha untuk menjauhkan pertemuan pada spermaku dengan sel telur Alina, namun terlambat, sebab baru saya mencoba mengangkat punggungku dan punya niat menumpahkan di luar rahimnya, namun Alina malah mengikatkan tangannya lebih erat seolah melarangku menumpahkan di luar yang akhirnya cairan kental dan hangat itu terpaksa tumpah seluruhnya di dalam rahim Alina.
Alina nampaknya tidak menyesal, malah sedikit ceria menerimanya, namun saya diliputi rasa kuatir kalau-kalau menjadi janin nantinya, yang dapat membuatku malu dan pertalian persahabatanku berantakan.
Setelah kita sama-sama meraih puncak, senang dan nikmati persetubuhan yang sesungguhnya, kita selanjutnya tergeletak di atas karpet tanpa bantal. Layar TV sudah berwarna biru sebab pergumulan filmnya sejak tadi selesai.
Aku melihat jam dinding tunjukkan pukul 12.00 malam tanpa merasa kita bermain kurang lebih 3 jam. Kami sama-sama terdiam dan tak mampu berkata-kata apa-pun sampai tertidur lelap. Setelah terbangun jam 7.00 pagi di daerah itu, rasanya tetap merasa letih bercampur segar.
“Nis, kamu benar-benar hebat. Aku belum dulu memperoleh kenikmatan dari suamiku sepanjang ini layaknya yang kamu berikan tadi malam” kata Alina disaat ia juga terbangun pagi itu sambil merangkulku.
“Benar nih, jangan-jangan hanya gombal untuk menyenangkanku” tanyaku.
“Sumpah.. Terus terang suamiku lebih banyak berkhayal kesenangannya dan posisi mainnya hanya satu saja. Ia di atas dan saya di bawah. Kadang ia loyo sebelum akan kita apa-apa. Kontolnya pendek sekali agar tidak mampu beri tambahan kenikmatan padaku layaknya yang kita berikan.
Andai saja kamu suamiku, pasti saya senang sekali dan selalu senang bersetubuh, kecuali mesti setiap hari dan setiap malam” paparnya seolah menyesali hubungannya dengan suaminya dan membandingkan denganku.
“Tidak boleh sayang. Itu namanya sudah jodoh yang tidak mampu kita tolak. Kitapun berjodoh bersetubuh dengan langkah selingkuh. Sudahlah. Yang perlu kita sudah menikmatinya dan dapat konsisten menikmatinya” kataku sambil menenangkannya sekaligus mencium keningnya.
“Maukah kamu konsisten menerus memberiku kenikmatan layaknya tadi malam itu disaat suamiku tak tersedia di rumah” tanyanya menuntut janjiku.
“Iyah, pasti sepanjang aman dan saya tinggal bersamamu. Masih banyak permainanku yang belum kutunjukkan” kataku berjanji dapat mengulanginya
“Gimana kecuali istri dan anak-anakmu nanti datang?” tanyanya khawatir.
“Gampang diatur. Aku kan pembantumu, agar saya mampu selalu dekat denganmu tanpa keraguan istriku. Apalagi istriku pasti tak tahan tinggal di kota sebab ia sudah jadi biasa di kampung dengan keluarganya namun yang kutakutkan kecuali kamu hamil tanpa dianggap suamimu” kataku.
“Aku tak dapat hamil, sebab saya dapat memakan pil KB sebelum akan bermain layaknya yang kulakukan tadi malam, sebab sebetulnya sudah kurencanakan” kara Alina konsisten terang.
Setelah kita bincang-bincang sambil tiduran di atas karpet, kita selanjutnya ke kamar mandi masing-masing bersihkan diri selanjutnya kita ke halaman rumah bersihkan sehabis sarapan pagi bersama.
Sejak kala itu, kita nyaris setiap malam melakukannya, terlebih disaat suami Alina tak tersedia di rumah, baik siang hari apalagi malam hari, apalagi beberapa kali kulakukan di kamarku disaat suami Alina tetap tertidur di kamarnya, sebab Alina sendiri yang mengunjungi kamarku disaat sedang “haus”.
Entah sampai kapan hal ini dapat berlangsung, namun yang memahami sampai kala ini kita tetap selalu dambakan melakukannya dan belum tersedia tanda-tanda keraguan dari suaminya dan dari istriku.