Istri Yang Kecewa Mencari kenikmatan Di Luar

kenangan.xyz – Perkenalkan nama aku Nendi umur 29 tahun, aku bekerja di sebuah hotel berbintang tiga di kota “B”. Seperti kebanyakan orang bekerja yang kadang membuat kita jenuh, untuk mengatasinya aku kerap mendatangi web site ini, sampai akhirnya aku terobsesi untuk menulis cerita ini.
Cerita ini berawal dari pulang kemalaman dengan seorang sekretaris kawan sekantor di anggota lain, namanya Vivi berperawakan sintal dengan kulit putih dan tinggi badan yang sedang-sedang saja kira-kira 165 cm. Sebetulnya Vivi bukanlah model orang yang ramah kendati dia seorang sekretaris, kemungkinan gara-gara om-nyalah dia ada di posisi tersebut. Oh ya, Vivi juga telah menikah kira-kira satu setengah tahun yang lalu, dan aku pernah sebagian kali ketemu dengan suaminya.
Pagi itu pada kala jam masuk kantor aku berpapasan dengannya di pintu masuk, seperti biasa kita saling tersenyum dan mengucapkan selamat pagi. Ah lucu juga kita yang telah kenal sebagian tahun tetap melaksanakan formalitas seperti itu, padahal untuk hitungan kala sepanjang tiga tahun kita wajib lebih akrab dari itu, tapi berkenan bagaimana lagi gara-gara Vivi orangnya sesungguhnya seperti itu jadi akupun terbawa-bawa, aku sendiri bertanya-tanya apakah sifatnya yang seperti itu cuma untuk memelihara jarak dengan orang-orang di lingkungan kerja atau sesungguhnya dia punya karakter seperti itu sejak lahir.
Mungkin kala itu aku sedang ketiban mujur, pas di pintu masuk entah apa penyebabnya tiba-tiba saja Vivi seperti dapat terjatuh dan refleks aku mencapai tubuhnya dengan maksud untuk menghindar supaya dia tidak benar-benar terjatuh, tapi tanpa sengaja tanganku menyentuh suatu hal di anggota dadanya. Setelah dapat berdiri dengan sempurna Vivi memandang ke arahku sambil tersenyum, ya ampun menurutku itu merupakan suatu hal yang istimewa mengingat sifatnya yang kuketahui sepanjang ini.
“Terima kasih Pak nendi, nyaris saja aku terjatuh.”
“Oh, nggak apa-apa, maaf barusan tidak sengaja.”
“Tidak apa-apa.”
Seperti itulah dialog yang terjadi pagi itu. Walaupun nggak berkenan mikirin konsisten kejadian tersebut tapi aku selalu merasa tidak cukup enak gara-gara telah menyentuh suatu hal pada tubuhnya kendati nggak sengaja, kala kutengok ke arah meja kerjanya melalui kaca pintu ruanganku dia juga kelihatannya kepikiran dengan kejadian tersebut, menguntungkan kala masuk kerja tetap empat puluh lima menit lagi jadi belum ada orang, jika pada kala itu telah banyak orang kemungkinan dia tak hanya merasa kaget juga dapat merasa malu.
Aku lagi melaksanakan formalitas keseharian menggeluti angka-angka yang yang nggak ada ujungnya. Sudah kebiasaanku tiap tiap tiga puluh menit memandang gambar pemandangan yang kutempel dikaca pintu ruanganku untuk hindari kelelahan pada mata, tapi ternyata ada suatu hal yang lain di seberang pintu ruanganku pada hari itu, aku memandang Vivi sedang memandang ke arah yang sama supaya pandangan kita bertemu. Lagi, dia tersenyum kearahku, aku jadi jadi bertanya-tanya ada apa gerangan dengan cewek itu, aku yang geer atau sesungguhnya dia jadi lain hari ini, ah kemungkinan cuma pikiranku saja yang ngelantur.
Jam istirahat makan seperti biasa semua orang ngumpul di EDR untuk makan siang, dan suatu kebetulan lagi kala nyari tempat duduk ternyata kursi yang kosong ada di sebelah Vivi, akhirnya aku duduk disana dan menyantap makanan yang telah kuambil. Setelah selesai makan, formalitas kita ngobrol ngalor-ngidul sambil menanti kala istirahat habis, gara-gara aku duduk disebelah dia jadi aku ngobrol sama dia, padahal pada mulanya aku males ngobrol sama dia.
“Gimana kabar suaminya vi?” aku mengawali percakapan
“Baik pak.”
“Trus gimana kerjaannya? tetap di tempat yang dulu?”
“Sekarang sedang meneruskan belajar di amerika, baru berangkat satu bulan yang lalu.”
“Oh begitu, baru menyadari aku.”
“Ingin lebih pintar katanya pak.”
“Ya baguslah jikalau begitu, kan nantinya juga untuk mesa depan berdua.”
“Iya pak.”
Setelah jam istirahat habis semua lagi ke ruangan masing-masing untuk meneruskan kerjaan yang tadi terhenti. Akupun lagi hanyut dengan kerjaanku.
Pukul setengah tujuh aku bermaksud beres-beres gara-gara lelah juga kerja terus, tanpa sengaja aku nengok ke arah pintu ruanganku ternyata Vivi tetap ada di mejanya. Setelah semua beres akupun nampak dari ruangan dan bermaksud untuk pulang, aku lewat mejanya dan iseng aku nyapa dia.
“Kok tumben hari gini tetap belum pulang?”
“Iya pak, ini baru berkenan pulang, baru beres, banyak kerjaan hari ini”
Aku merasakan tipe bicaranya lain hari ini, tidak seperti hari-hari pada mulanya yang jikalau berbicara selalu kedengaran resmi, yang menyebabkan rasa tidak akrab.
“Ya telah kalo begitu kita bareng aja.” ajakku menawarkan.
“Tidak usah pak, biar aku pulang sendiri saja.”
“Nggak apa-apa, ayo kita bareng, ini telah benar-benar malam.”
“Baik Pak jikalau begitu.”
Sambil terjadi menuju tempat parkir lagi kutawarkan jasa yang kendati sesungguhnya niatnya cuma iseng saja.
“Gimana kalo vivi bareng aku, kita kan searah.”
“Nggak usah pak, biar aku memakai angkutan lazim atau taksi saja.”
“Lho, jangan gitu, ini telah malem, nggak baik perempuan jalur sendiri malem-malem.”
“Baik jikalau begitu pak.”
Di sepanjang jalur yang dilalui kita tidak banyak berbicara sampai akhirnya aku mencermati dia agak lain, dia tampak murung, kenapa ini cewek.
“Lho kok kelihatannya murung, kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nggak apa-apa pak.”
“Nggak apa-apa kok ngelamun begitu, wajib kawan bikin ngobrol?” tanyaku memancing.
“Nggak ah pak, malu.”
“Kok malu sih, nggak apa-apa kok, ngobrol aja aku dengerin, kalo dapat dan wajib kemungkinan aku dapat bantu.”
“Susah mulainya pak, soalnya ini benar-benar pribadi.”
“Oh begitu, ya kalo nggak berkenan ya nggak usah, aku nggak dapat maksa.”
“Tapi sesungguhnya sesungguhnya aku wajib orang untuk kawan ngobrol berkenaan kasus ini.”
“Ya telah kalo begitu obrolin aja sama aku, rahasia dijamin kok.”
“Ini soal suami aku pak.”
“Ada apa dengan suaminya?”
“Itu yang bikin aku malu untuk meneruskannya.”
“Nggak usah malu, kan telah aku bilang dijamin kerahasiaannya kalo vivi ngobrol ke aku.”
“Anu, aku kerap baca buku-buku berkenaan jalinan suami istri.”
“Trus kenapa?”
“aku baca, akhir dari jalinan badan pada suami istri yang bagus adalah orgasme yang dialami oleh keduanya.”
“Trus letak permasalahannya dimana?”
“Mengenai orgasme, aku sampai dengan kala ini aku cuma sempat membacanya tanpa pernah merasakannya.”
Aku sama sekali nggak pernah menduga kalo pembicaraannya dapat mengarah kesana, didalam hati aku membatin, era sih kawin satu setengah tahun sama sekali belum pernah mengalami orgasme? timbul niatku untuk beramal:-)
“Masa sih vi, apa betul kamu belum pernah merasakan orgasme seperti yang barusan kamu bilang?”
“Betul pak, kebetulan aku ngobrolin kasus ini dengan bapak, jadi setidaknya bapak dapat berikan masukan gara-gara kemungkinan ini adalah kasus laki-laki.”
“Ya, gimana ya, sekarang kan suami vivi lagi nggak ada, harusnya kala suami vivi ada barengan pergi ke ahlinya untuk konsultasi kasus itu”
“Pernah sebagian kali aku ajak suami aku, tapi menolak dan akhirnya jikalau aku singgung kasus itu cuma menyebabkan pertengkaran di antara kami.”
Tanpa merasa jam telah membuktikan pukul delapan malam, dan tanpa merasa pula kita telah sampai didepan rumah Vivi, Aku bermaksud mengantar dia sampai depan pintu rumahnya.
“Tidak usah pak, biar sampai sini saja.”
“Nggak apa-apa, was-was ada apa-apa biar aku antar sampai depan pintu.”
Dasar, kakiku menginjak suatu hal yang lembek ditanah dan nyaris saja terpeleset gara-gara penerangan di depan rumahnya agak kurang. Setelah sampai di teras rumahnya kulihat kakiku, ternya yang kunjak tadi adalah suatu hal yang tidak cukup enak untuk disebutkan, sampai-sampai sepatuku sebelah kiri nyaris setengahnya kena.
“Aduh Pak nendi, gimana dong itu kakinya.”
“Nggak apa-apa, nanti aku cuci kalo telah nyampe rumah.”
“Dicuci di sini aja pak, nanti nggak enak sepanjang jalur kecium baunya.”
“Ya udah, kalo begitu aku turut ke toilet.”
Setelah bersihkan kaki aku diperliahkan duduk di ruang tamunya, dan ternyata disana telah menanti segelas kopi hanngat. Sambil menanti kakiku kering kita berbincang lagi.
“Oh ya vi, berkenaan yang kamu ceritakan tadi di jalan, gimana langkah kamu mengatasinya?”
“aku sendiri bingung Pak wajib bagaimana.”
Mendengar jawaban seperti itu didalam otakku timbul anggapan kotor lelaki.
“Gimana jikalau besok-besok aku kasih apa yang kamu pengen?”
“Yang aku berkenan yang mana pak.”
“Lho, itu yang sepanjang jalur kamu bilang belum pernah ngalamin.”
“Ah bapak dapat aja.”
“Bener kok, aku bersedia ngasih itu ke kamu.”
Termenung dia mendengar perkataanku tadi, memandang dia yang sedang menerawang aku berpikir kenapa juga wajib besok-besok, kenapa nggak sekarang aja kala ada kesempatan.
Kudekati dia dan kupegang tangannya, tersentak juga dia dari lamunannya sambil menatap kearahku dengan penuh tanda tanya. Kudekatkan wajahku ke wajahnya dan kukecup pipi sebelah kanannya, dia diam tidak bereaksi. Ku kecup bibirnya, dia menarik napas didalam entah apa yang ada dipikirannya dan selalu diam, kulanjutkan mencium hidungnya dan dia memejamkan mata.
Ternyata napsu telah menggerogoti kepalaku, kulumat bibirnya yang tidak tebal dan ternyata dia membalas lumatanku, bibir kita saling berpagut dan kulihat dia begitu meresapi dan nikmati adegan itu. Kitarik tangannya untuk duduk disebelahku di sofa yang lebih panjang, dia cuma mengikuti sambil menatapku. Kembali kulumat bibirnya, lagi, dia membalasnya dengan penuh semangat.
Dengan posisi duduk seperti itu tanganku dapat merasa bekerja dan bergerilya. Kuraba anggota dadanya, dia jadi bergerak seolah-olah menyodorkan dadanya untuk kukerjain. Kuremas dadanya dari luar bajunya, tangan kirinya membuka kancing pakaian anggota atasnya lantas membimbing tangan kananku untuk masuk kedalam BHnya. Ya ampun bener-bener telah nggak tahan dia rupanya.
Kulepas tangan dan bibirku dari tubuhnya, aku berubah posisi bersandar pada pegangan sofa tempatku duduk dan membuka kalkiku lebar-lebar. Kutarik dia untuk duduk membelakangiku, dari belakang kubuka pakaian dan BHnya yang kala itu telah nempel nggak karuan, kuciumi leher anggota belakang Vivi dan tangan kiri kananku memegang gunung di dadanya masing-masing satu, dia bersandar ketubuhku seperti lemas tidak punya tenaga untuk membantu tubuhnya sendiri dan merasa kuremas payudaranya sambil konsisten kuciumi tengkuknya.
Setelah cukup lama meremas buah dadanya tangan kiriku merasa berubah kebawah menyusuri anggota perutnya dan berhenti di sedang selangkangannya, dia melenguh kala kuraba anggota itu. Kusingkap roknya dan tanganku langsung masuk ke celana dalamnya, kutemukan suatu hal yang hangat-hangat lembab disana, telah basah rupanya. Kutekan klitorisnya dengan jari sedang tangan kiriku.
“Ohh .. ehh ..”
Aku makin lama bernapsu mendengan rintihannya dan kumasukkan jariku ke vaginanya, suaranya makin lama menjadi. Kukeluar masukkan jariku disana, tubuhnya makin lama melenting seperti batang plastik kepanasan, konsisten kukucek-kucek makin lama cepat tubuhnya bergetar terima perlakuanku. Dua puluh menit lamanya kulakukan itu dan akhirnya nampak suara dari mulutnya.
“Udah pernah pak, aku nggak tahan pengen pipis.”
“Jangan ditahan, biarkan aja lepas.”
“Aduh pak, nggak tahan, vivi berkenan pipis .. ohh .. ahh.”
Badanya makin lama bergetar, dan akhirnya.
“Ahh .. uhh.”
Badanya mengejang sebagian kala sebelum saat akhirnya dia lunglai bersender kedadaku.
“Gimana vi rasanya?”
“Enak pak.”
Kulihat air matanya berlinang.
“Kenapa kamu menangis vi.”
Dia diam tidak menyahut.
“Kamu nyesel telah melaksanakan ini?” tanyaku.
“Bukan pak.”
“Lantas?”
“aku bahagia, akhirnya aku memperoleh apa yang aku idam-idamkan sepanjang ini yang harusnya mampir dari suami aku.”
“Oh begitu.”
Kami saling terdiam sebagian kala sampai aku lupa bahwa jari sedang tangan kiriku tetap bersarang didalam vaginanya dan aku cabut perlahan, dia menggeliat kala kutarik jari tanganku, dan aku tetap tercenung dengan kata-kata terakhir yang terlontar dari mulutnya, benar rupanya .. dia belum pernah merasakan orgasme.
“Mau ke kamar mandi pak?”
Tiba-tiba suara itu menyadarkanku dari lamunan ..
“Oh ya, sebelah mana kamar mandinya?”
“Sebelah sini pak”, sahutnya sambil membuktikan jalur menuju kamar mandi.
Dia lagi ke ruang tamu kala aku membersihkan anggota tangan yang tadi telah melaksanakan tugas sebagai seorang laki-laki pada seorang perempuan. Tak habisnya aku berpikir, kenapa orang berumah tangga telah sekian lama tapi si perempuan baru mengalami orgasme satu kali saja dan itupun bukan oleh suaminya.
Selesai dari kamar mandi aku lagi ke ruang tamu dan kutemukan dia sedang memandang acara di televisi, tapi kulihat
dari wajahnya seakan pikirannya sedang menerawang, entah apa yang ada didalam pikirannya kala itu.
“Vi, telah malam nih, aku pulang pernah ya ..”
Terhenyak dia dan menatapku ..
“Emm, pak, berkenan nggak malam ini nemanin vivi?”
Kaget juga aku terima pertanyaan seperti itu gara-gara sesungguhnya tidak anggapan untuk menginap dirumahnya malam ini, tapi aku tidak berkenan mengecewakan dia yang berharap dengan muka mengharap.
“Waktu kan tetap banyak, besok kita ketemu lagi di kantor, dan kapan-kapan kita tetap dapat ketemu diluar kantor.”
Dia berdiri dan menghampiriku ..
“Terima kasih ya pak, vivi benar-benar suka malam ini, aku ingin bapak tidak jenuh menemani saya.”
“Kita kan kenal telah lama, aku selalu bersedia untuk membantu kamu didalam perihal apapun.”
“Sekali lagi terima kasih, boleh jikalau berkenan pulang sekarang dan tolong sampaikan salam aku bikin ibu.”
Akhirnya aku pulang dengan konsisten dihinggapi pertanyaan didalam pikiranku, kenapa dia dapat begitu, kasihan sekali dia.
Seperti biasa esoknya aku masuk kantor pagi-pagi sekali gara-gara sesungguhnya selalu banyak pekerjaan yang wajib diselesaikan, kupikir belum ada siapa-siapa gara-gara kebanyakan yang telah ada kala aku mampir adalah office boy, tapi ternyata pagi itu aku disambut dengan senyuman vivi yang telah duduk di meja kerjanya. Tidak seperti biasa, pada hari-hari pada mulanya aku selalu memandang vivi didalam tampilan yang lain dari pagi ini, sekarang dia nampak berseri dan terkesan ramah dan akrab.
“Pagi vi.”
“Pagi pak.”
“Gimana, dapat tidur nyenyak tadi malam?”
“Ah bapak, dapat aja, tadi malam aku tidur pulas sekali.”
“Ya sudah, aku tinggal pernah ya, selamat bekerja.”
“Iya pak.”
Aku meneruskan langkahku menuju ruang kerjaku yang sesungguhnya tidak jauh dari meja kerjanya, dari didalam ruangan lagi aku menengokkan muka ke arahnya, ternyata dia tetap menatapku sambil tersenyum.
Tidak seperti biasanya, aku merasakan hari ini bekerja merupakan suatu hal yang membosankan, jenuh rasanya hadapi pekerjaan yang sesungguhnya dari hari ke hari selalu saja ada suatu hal yang wajib diulang, akhirnya aku menulis cerita ini. HP didalam saku celanaku berbunyi, ada SMS yang masuk, kubuka SMS tersebut yang rupanya mampir dari cewek diseberang ruanganku yang tadi pagi menatapku sampai aku masuk ke ruangan ini .. ya dia, vivi.
“Pak, nanti mlm ada acara gak? kalo tidak dapat gak bapak menuhin janji bapak tadi malam.”
Begitulah isikan SMS yang kuterima, aku berpikir agresif juga nih cewek pada akhirnya. Kuangkan telephone yang ada diatas meja kerjaku dan kutekan nomer extensin dia.
“Kenapa gitu vi, berkenan ngajak kemana?”
“Eh bapak, kirain siapa, enggak, vivi telah nyediain makan malam di rumah, bapak dapat kan makan malam sama vivi nanti malam?”
“Boleh, jikalau gitu nanti pulang aku menanti di ruang parkir ya.”
“Iya pak, ma kasih.”
Sore hari aku terkejut gara-gara kala pulang telah terlewat sepuluh menit, bergegas kubereskan ruanganku dan berlari menuju ruang parkir. Disana vivi telah menungguku, tapi dia tersenyum kala melihatku datang, tadinya kupikir dia dapat kecewa, tapi syukurlah kelihatanyya dia tidak kecewa.
“Maaf jadi nunggu ya vi, wajib beres-beres suatu hal dulu.”
“Nggak apa-apa pak, vivi juga barusan ada yang wajib diselesaikan pernah dengan neni.”
“Yo.” kataku sambil membukkan pintu untuk dia, dan dia masuk kedalam mobil lantas duduk disebelahku.