Kehangatan Yang Di Berikan Pada Ku

kenangan.xyz – Dengan nama samaran perkenalkan diriku Sasa saya tengah selesaikan progam studiku dan menginginkan memperoleh gelar S1 , saya tetap mencatat perihal yang sebabkan saya kenangan layaknya halnya ini dan menginginkan saya publikasikan kepada para pembaca cerita dewasa berikut kisahku .
“Tok…tokkk…tokkkkkkk..”
“Nes, kuliah nggak loe?” nada Risa terdengar tak sabar tunggu di luar pintu kamar mandi.
Aku tetap sempat terbayang perlakuan pria itu semalam. Lidah-lidahnya benar-benar membuatku gila dan menyiksa seluruh syaraf-syaraf kenikmatanku.
Perlakuannya yang susah ditebak, kadang cepat dan kasar, kadang lembut penuh perasaan, membuatku terengah-engah melayang bergoyang dicabik badai. Tiada henti dia melewatkan diriku santai sejenak meresapi gesekan kulit dadanya di ujung-ujung payudaraku.
Vaginaku terserang habis-habisan bersama tusukan-tusukannya yang tambah lama tambah kuras staminaku. Dansa kami di atas pembaringan berakhir terhadap kala musik indah tergantikan nada hujan di luar sana.
Sial..!
Aku mendapati diriku basah kuyup oleh keringat dan pakaian tidurku yang tak bisa menutupi tubuhku secara normal. Aku beranjak bangun dan membenahi pakaian tidurku. Sekali lagi saya menghampiri pintu kamarku untuk menegaskan kondisinya yang tetap aman terkunci.
Jam 3:20, Masih beberapa jam untuk melanjutkan tidurku. Aku terpaksa mengganti underwear-ku yang basah oleh keringat bercampur cairan kewanitaanku. Mudah-mudahan pria itu singgah lagi ke didalam mimpiku. Berharap semu birahiku terpuaskan kembali.
Hari ini benar-benar lembab dan dingin. Hujan sudah mengguyur kota sejak dini hari bersama tetesan-tetesannya. Kadang untuk beberapa puluh menit, tetesan-tetesan itu terhenti seolah berikan peluang kepada manusia untuk memikirkan langkah kehidupan selanjutnya. Langit temaram bersama ditemani sinar mentari yang bermalas-malasan. Beberapa gumpalan awan berkumpul seolah sepasang kaki wanita yang tengah berbaring manja.
Untung Risa termasuk tersedia kelas yang sama denganku jam 8 ini. Aku bisa turut menumpang mobilnya bersama aman dari rasa was-was macet, basah, atau berdesakan di angkot. Seperti biasa terkecuali bermobil di pagi hari, Risa menghindari simpang jalan D yang tetap macet dan semrawut. Tampaknya lampu lalu lintas tengah ngambek mobilisasi tugasnya. Cerita lama…
Kami bisa tiba bersama selamat tanpa kekurangan suatu apa pun dan segera menuju kelas kami masing-masing. Selama perkuliahan saya sedikit terpecah berkonsentrasi bersama diiringi mulutku yang tetap menguap.
Hari ini bergerak layaknya biasanya. Tiada yang menarik untukku selama kala yang berputar. Beberapa kala kemudian, saya sudah duduk termangu di sebuah angkot yang membawaku pulang dari universitas tercinta. Risa bisa saja sudah pulang duluan.
Aku tersedia kelas lebih dari satu mata kuliah hari ini, terhadap hari Senen pula! Payung kesayanganku tetap setia mendampingi, sambil sesekali tanganku mengibas rambut yang tertiup angin sejuk dari jendela angkot itu. Entah mengapa desiran angin sebabkan gairahku lagi bangkit.
What’s wrong with me? Begitu tersiksanyakah tubuhku berharap sentuhan dan lambaian seorang pria? Paddy, I really miss You, Honey! Aku cuma bisa mendengar suaramu yang membentang laut dan samudra.
Kerinduanku memuncak kala cuma desahanmu yang terucap. Ohhh… Aku rindu guratan merah di dadaku, sinyal nakal yanng tersisa darimu. Hembusan nafasmu yang melahap pori-pori perutku. Begitu cepatnya kewanitaanku melembab cuma bersama sapaanmu yang menggoda. Paddy… I love you. I need you. I want you!
Aku lagi duduk diam tanpa anggapan apapun. Dan tiba-tiba ia naik! Cukup tinggi dan ramping. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari area duduk yang cocok baginya. Ia menatapku seketika seolah berharap ijin untuk duduk di area kosong di sebelahku.
Dengan cekatan ia berbalik arah dan tanpa sengaja ransel di punggungnya menabrak dadaku.
“Damn!” runtukku didalam hati. Dengan segera ia memperbaiki posisi duduknya dan tersenyum polos penuh penyesalan.
Akhirnya ia bisa duduk bersama tenang ditemani ransel kulit di atas pangkuannya. Ia menyita sapu tangan dari kantung jeansnya dan menyeka wajahnya. I don’t know why but I like the way he is doing with his stuff. Tanpa sepatah kata, ia bergerak bersandar dan mulai memejamkan matanya seolah nikmati ayunan seorang ibu kepada anaknya yang mau tidur. He’s really cool and rilex.
Angkot bergerak membelah jalan mengarungi hujan. Satu persatu penumpang turun bersama bergegas memusuhi hembusan angin dan hujan. Di simpang Cisitu, angkot berhenti berharap tambahan penumpang yang cuma menyisakan kami berdua, tak sekedar supir angkot tentunya. Aku menegaskan diriku untuk tidak menghilangkan peluang ini.
“Pulang kuliah, Mas?” tanyaku tiba-tiba dan cukup mengagetkan dirinya.
“Nope. Cuma ngasih laporan praktikum ke lab aja. Tadi singgah sebentar ke Aquarius nyari CD,” tetap bersama tipe bicaranya yang membuatku tambah tertarik.
“Sekarang udach beli donk?” tanyaku lagi menyelidik.
Dia cuma nyengir dan sesudah itu menjawab lirih, “Ketipu nich gue. Shit!”
Aku cuma menatapnya bingung.
“Temen gue tempo hari bilang dia menyaksikan tersedia CD yang udach lama gue incer. Gue datangi ke sana dan nggak tersedia tuch… Pake acara kehujanan lagi!” lanjutnya sambil menghela nafas.
“Emang cari lagu apa sich?” tanyaku lagi.
“Jazz. Tau jazz?” tanggapnya bersama nada berintonasi sedikit mengejekku.
Kurang ajar nich cowok! runtukku didalam hati. Nggak tau apa dia bicara sama saya yang penikmat jazz juga? Tapi kuakui termasuk sich, di pada teman-temanku yang cewek, populasi penikmat jazz-nya termasuk minim. Mungkin dia berpikir saya cuma cewek yang senang musik musiman atau yang biar dicap turut trend doank.
“Aku senang Fusion. Kamu bukan penikmat mainstream, hip-hop, blues, ato swing khan? tanyaku lagi bersama tatapan penuh penasaran tunggu reaksinya. Tentu saja dia kaget! hihihihii…
“Aku tadi nyari The Best of Rippingtons. Di-release aja belum lebih-lebih dijual…” bersama suaranya yang dibikin lebih hati-hati.
“Russ Freeman, khan? Setauku termasuk emang belum ada,” jawabku bersama nada bangga.
“By the way, saya Indra,” tangannya terbuka dan segera kubalas bersalaman singkat. “Sasa,” sambil tersenyum.
Tampaknya obrolan kami tambah menggairahkan cocok kesamaan minat. Angkot sudah bergerak lagi menuju area mangkalnya yang terakhir. Apakah suatu kebetulan, rumah kost kami relatif dekat meskipun cuma berjarak 200-an meter saja. Aneh termasuk sich, di area kost kami di Cisitu Indah, angkot yang melalui cuma satu jurusan.
Tapi kok nggak dulu ketemu yach? Mungkin itu yang namanya jodoh? Atau nafsuku saja yang menjebak? Aku terima ajakannya untuk singgah ke tempatnya. Ia berasalan untuk saling bertukar koleksi CD dan berharap saya dapat singgah kelak.
Am I a slut or what? Tapi saya nikmati perlakuannya ketika kami sepayung berdua menembus rintik hujan bersama rangkulan tangannya di pundakku. Aku jadi teringat sebuah film Indonesia klasik yang dulu kutonton dan saya tersenyum sendiri dibuatnya. Di depan kamar kostnya, ia berhenti sejenak, terhubung pintu, dan mempersilahkanku masuk.
“Tolong jaga sikap yach. Kamu di kamar orang!” cetusnya tiba-tiba. Aku sempat bingung, tapi menyaksikan senyumnya yang mengambang saya jadi mengerti. Aku jelas biasanya tuan rumah ngomong,
“Ayo silahkan jangan malu-malu.
Anggap aja kamar sendiri.” Tapi dia malah ngomong sebaliknya. Sebal!
Sambil dia sibuk sendiri bersama barang-barang dan tas bawaannya, saya punya peluang untuk perhatikan isi ruangan. Kamarnya ditata rapi meskipun agak sesak bersama barang-barang elektronik di sekelilingnya.
Ada poster kartun Donald Duck, Batman, dan beberapa poster lainnya. Tapi tersedia poster yang membuatku lebih penasaran, “The Funeral of Superman”. Peti mati Superman yang diusung oleh 6 jagoan, dan diikuti oleh seluruh jagoan-jagoan DC Comics di belakangnya. Aku cukup terkesima menyaksikan banyak sekali figure-figure jagoan didalam 1 poster.
“Ambil dech tuch poster, kalo mau. Tapi mesti bugil dulu depanku.” Lagi-lagi ia sebabkan pengakuan sumbang dan nakal yang sebabkan kupingku jadi agak panas. Kata-katanya sebetulnya kurang ajar untuk obrolan terhadap awal-awal perkenalan.
Aku sama sekali tidak tersinggung! Tapi pilihan kata-katanya membuatku tambah penasaran. Berbeda sekali ketika kami bercakap-cakap di angkot tadi. Apakah keberanian Indra timbul ketika saya mau terima ajakannya mampir?
Apakah dia type pria yang memerlukan kala dan suasana teristimewa untuk terhubung topeng hasrat dan gairahnya? Ia menyeruak masuk bersama tiba-tiba, sambil kedua tangannya mempunyai teh hangat mengepul yang sepertinya nikmat sekali.
Aku cuma mencibir mananggapinya dan menghampiri teh hangat yang sudah diletakkannya di atas meja belajar. Baru beberapa kala saya nikmati minumanku, dia sudah melangkah nampak kamar lagi. Sibuk bener, pikirku singkat.
Atau dia gugup….. Tampaknya ia sebetulnya menungguku untuk bergerak duluan. Ia layaknya pria yang berusaha menghambat suasana tetap terjaga, berharap sang wanita memohon untuk dipuaskan. Aku mengalihkan pandangan terhadap suatu benda yang kukenal sebagai CD tower.
Kuhampiri dan bersama mata berbinar kutelusuri deretan-deretan CD di depanku. Beberapa nama tetap kukenal layaknya Boney James, Bob James, David Sanborn, Fourplay, Earl Klugh, atau George Benson. Tapi Kirk Whalum, Kevin Mahogany, Mark Whitfield??? siapa tuch? Harus lebih banyak dengar musisi baru nich. Atau mereka musisi senior? Atau saya saja yang kurang wawasan?
Beberapa kala kemudian, nada hujan kedengaran lagi tambah deras. Suaranya bertalu-talu menampar genting dan dedaunan. Sesekali nada guntur menggelegar membahana menemani desiran angin.
Aku menarik salah satu album Take 6 dan memainkannya di CD player Pioneer yang teronggok di sebelah CD tower. Alunan “Biggest Part of Me” memenuhi kamar dan saya lagi menyibukkan diri di depan CD tower layaknya semula.
Sekejap mulai hangat sensual kurasakan di sekitar leher dan telinga. Bulu-bulu halusku menegang memberi salam hasratku yang merinding. Aku mengatup mataku perlahan dan meresapi gejolak yang melanda tubuhku.
“Liked that, did you?” nada yang kukenal lagi menyapa.
Untuk menjawab pertanyaannya, kukibas-kibaskan tanganku seolah mendinginkan diriku yang mulai terbakar.
“Let it get hot,” katanya lagi.
“It already is.”
Tangannya menggosok punggungku. “Warm, but not hot yet.”
“Butuh seberapa panas nich?” tanyaku.
Indra bergerak perlahan mencegah dari dan menatap nampak jendela. Aku bisa menyaksikan detak nadinya di tenggorokan, Adam’s apple-nya bergerak sementara tiap-tiap waktu.
“Bener-bener dingin yea di luar,” katanya. Tapi sepertinya ia tidak mengupas cuaca.
Aku menghampiri area tidurnya yang tertata rapi. Perlahan kubaringkan tubuhku, dan rasa dingin sejuk merayap di sekujur kulitku.
“Sini.” Ia nampak ragu, lagi kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
“Take your shirt off.”
Perintah itu seolah membawanya lagi ke bumi dan perlahan ia duduk di segi area tidur. Ia menggigit bibir bawahnya, dan lagi lehernya berdetak.
“Slowly.” Aku berikan wejangan bersama senyum merekah.
“Ya,” jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah kaosnya dan melepasnya bersama sigap. Terpampanglah dada seorang pria dewasa di depanku. Putingnya yang kecil bulat menegang bersama bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya. Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di selama lengan dan tangannya. Ia perhatikan mataku yang menyapu dadanya. Tiba-tiba lengannya terangkat bersama tangan terbuka.
“Kenapa,” ujarnya penasaran.
“Gimme those hands.”
Ia merangkak mendekat di atas area tidur mendekatiku.
“Mau diapain?” sepertinya bersama anggapan yang berkecamuk.
“Celanaku basah.”
Ia tersenyum tertahan. “I hope so.”
“No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah kala di angkot. Mau bantu saya melepaskannya?”
Ia berkata, “Boleh,” tapi sama sekali tak bergerak.
“Want me to?” Aku menggapai ujung celanaku dan mengangkat pantatku. Ia menempatkan salah satu tangannya di perutku untuk menahanku. Ia menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia menatap mataku, matanya lagi turun ke bawah. “Sudah cukup lama,” katanya muram.
“Dan anda udach lapar sekali, khan?”
Ia menarik nafas panjang memenuhi tiap-tiap sudut paru-parunya. Badannya bergetar kembali. Aku bisa menyaksikan ketegangan di balik celananya. Posisinya benar-benar merangsangku layaknya gelembung balon yang mau pecah. Ia menggenggam bersama tangannya sendiri dan meremasnya. Keras. Menghembuskan nafas dari hidungnya bersama menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat lagi pantatku dan berusaha melewatkan celana katunku beserta underwear-nya. Aku tunggu usapan tangannya bersama berdebar-debar. Ketika tangan itu datang, elusannya benar-benar halus. Kewanitaanku bergejolak menanggapi sensasi yang dibuatnya.
Ia menarik celanaku menggantikan kedua tanganku yang sudah meremas sprei area tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas untuk memudahkannya lepas sempurna. Ia melipat celanaku rapi dan menempatkan underwear-ku diatasnya. Tangannya lagi merenggut kedua pahaku dan merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat bisa saja dari kewanitaanku. Ia menghirupnya didalam dan menutup matanya. Sekarang giliran Indra yang melenguh tertahan. Tiba-tiba, ia melewatkan pegangannya di pahaku. Ia bangkit dan melewatkan celana jeans dan underwear.
Kejantanannya mengacung lega di pada kami berdua, menghadap atap kamar yang gemuruh diterpa hujan. Bilur-bilur nadi di sekujur batang kemaluannya meningkatkan nuansa tersendiri. Ia menatapku sementara dan mengangguk tanpa arti.
Tanpa jelas jari jemariku mulai melewatkan kancing kemejaku dan melempar ke mukanya. Ia tidak kaget, lebih-lebih menangkap kemejaku bersama sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang kembali. Aku memiringkan tubuhku.
“Would you mind?” sambil sebabkan lirikan manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia menolong melewatkan kaitan bra-ku dan bersama sedikit gemas saya menggaruk punggungnya. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku tidak perhatikan lagi kemana perginya bra-ku.
Kedua tangannya mendorong pundakku dan saya cuma mengikuti pasrah. Tubuhku sudah mulai berkeringat dan kewanitaanku sudah tambah melembab.
Dinginnya sprei area tidur cuma memberikan kesejukan kala terhadap syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing kenikmatan duniawi. Ia lagi menatap bersama mata yang tambah berbinar seolah seorang anak yang diberi mainan baru tanpa permohonan untuk memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan kepalanya mengarah terhadap wajahku. Tapi perkiraanku ternyata meleset! Untuk beberapa kala ia mencari suatu hal di atas kepalaku. Ketika ia lagi terhadap posisi duduk, mulutnya sudah menggigit sebungkus kondom.
Aku berusaha beranjak bangun dan menatap antusias apa yang dapat berlangsung selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya menghambat ujung penisnya yang sudah merah mengkilat dan menggulung karet pengaman itu menutupi seluruh kejantanannya bersama jari-jari tangan kanannya.
Ia berlutut di atas area tidur dan jari-jarinya lagi mengurut penisnya layaknya menegaskan posisi karet yang benar-benar nyaman. Jujur saja, kala itu kepalaku sudah tambah pusing dan desiran-desiran yang menyelubungi kewanitaanku tambah menjadi-jadi. Kami laksanakan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!
Ia menyelinap di pada kedua kakiku. Kedua lututnya yang terlipat menghambat kedua pahaku yang merenggang pasrah. I know this man is gonna rock me. Aku menggapai belakang kepalaku untuk suatu hal sebagai pegangan.
Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar agar saya bisa menghambat serangannya nanti. Rongga kewanitaanku melemas terbuka bersiap untuk menelan suatu hal yang keras dan gemuk di hadapannya. Indra bergerak benar-benar perlahan. Ia menatap ke bawah tubuh kami dan terkesima menyaksikan area pertempuran yang berada di bawah kontrolnya.
“Can I?” ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi, layaknya kejantanannya.
“Terserah!” bersama warna nada yang sudah tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku, memenuhi rongga vaginaku, mendesakku ke area tidur, dan badanku bergetar keras ketika ia menariknya keluar. Selalu berulang. Keras. Menuju dalamnya tubuhku, dan kembali. Menyusun irama kenikmatan menemani rain symphony.
“Rapatkan kakimu,” kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil pelvisnya menabrak klitorisku. Sensasional dan menyenangkan.
Denyutan orgasmeku tambah nyata, sayangnya belum cukup.
“I wanna roll over.”
“Yeah.” Ia berhenti bergerak di dalamku. Agak menarik mundur. Membiarkan lututku pergi. Aku berusaha berbalik melingkari kejantanannya, tanpa melepaskannya, agar tubuhku berada di atasnya sekarang. Ia meremas pinggulku, layaknya pengungkit, ia mulai memompa, mendesak, dan menusuk.
Kedua tanganku meremas dadanya, memilin puting payudaraku, dan menggaruk paha kakinya. Aku mengangkat tubuhku agar bisa menyaksikan batang kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-gesek bibir vaginaku. Aku menggenggam bola-bola kejantanannya bersama tangan kiri, dan menjepit klitorisku di antara telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di pada kami berdua sebabkan udara di paru-paruku lepas nampak membentuk desahan dan jeritan tertahan. Aliran kenikmatan sudah menjalar dari tumit hingga ke ubun-ubun kepalaku.
Ia menarik nampak penisnya bersama cepat. Vaginaku mulai hampa tanpa arti. Aku merendahkan kewanitaanku berusaha menemukan lagi kejantanannya. Batang kemaluannya terselip di pada bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha untuk menerobos masuk kembali. Kepala penisnya menemukan titik keras klitorisku lagi dan berulang. Aku menghimpit jari-jariku untuk menghambat batang kemaluannya tetap terhadap posisi itu.
“Kayaknya sebentar lagi nich. Aku dapat meledak sebentar lagi,” kataku sambil terengah-engah.
“Bilang aja terkecuali sudah deket,” bisiknya di telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa kukendalikan lagi. Mulut Indra berusaha untuk membungkamku, mengurangi keliaranku. Aku tidak bisa menahannya meskipun sudah berjuang keras. Dan saya benar-benar menikmatinya.
Ia mendorong lagi pinggulnya dan memasukiku. Ia membenamkan wajahnya di leherku. Aku bisa merasakan denyut nadi di batang kemaluannya, dan kekagetanku yang membuatku melayang ketika tangannya meremas payudaraku dan memilin putingku bersama keras. Perlahan kami berusaha menormalkan lagi pernafasan. Ia membaringkan tubuhku lagi di atas area tidur dan menempatkan tubuhku di sisinya. Ia menciumi bersama lembut leher dan dadaku.
“Thanks,” ucapnya lirih.
“Lagi…..,” jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung bersama makan malam. Indra benar-benar kujadikan pemuas dahagaku. Kerinduanku seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur yang basah dan lengket. Aromanya membuatku mabuk dan lemas.
Aku pun mesti dibantu untuk melangkah nampak kamar. Selama saya di kamar mandi pun, Indra mesti mengecek untuk menegaskan bahwa saya tidak pingsan akibat staminaku yang terkuras habis. Ketika pulang, ia mengantarku hingga di depan kamar kostku dan memberikan ciuman kilat di bibirku.
Ia menampik bersama tegas undanganku untuk singgah sebentar nikmati nyamannya kamar kostku. Aku jelas mendengar alasannya yang mesti selesaikan tugas kuliah malam ini. Sebetulnya staminaku sudah lagi layaknya semula.
Dan saya siap untuk laksanakan posisi-posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, saya bersihkan tubuhku dan meresapi lagi kenikmatan yang tersisa. Semua anggapan dan emosi yang mengarahkanku terhadap cinta sudah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau terjebak di antaranya.
Biarlah pangeranku yang nun jauh di sana bisa merasakan getaran hatiku. Semoga kasihku mau singgah didalam mimpiku malam ini. Aku berjanji takkan kulepas tubuhmu meskipun cuma sesosok bayangan. Selamat malam, my sweetheart.