Kisah Birahi Udin si Penjual Koran

kenangan.xyz – “Koran.. Koran ya Koran.. Pempek ya pempek.. Pempek Koran..”
Astri memicingkan telinganya mendengar suara tersebut Di siang hari seperti itu memang tak jarang ada penjaja yang masuk kedalam komplek menjual barang dagangan. Pengalaman Astri selama 10 th. tinggal disana, ia udah hapal mana-mana saja penjaja makanan atau barang yang melewati di muka rumahnya. tetapi kali itu Astri merasa tidak familiar bersama nada berikut Iseng, Astri pun berjalan kedepan dan melongok keluar.
“Dek, sini masuk.”
Astri melambaikan tangannya memanggil si penjual tersebut Dan memanglah benar tebakannya, ia baru kali ini menyaksikan si pemuda penjaja koran ini di sekitaran komplek.
“Jualan apa, Dek?”
“Koran bu, tabloid, seluruh ada.”
“Oh.. itu apa di dalam?”
“Pempek bu. tetap hangat bu baru digoreng.”
Astri mengangguk-angguk sembari memandangi si pemuda tanggung berikut mengeluarkan koran-korannya di pelataran teras rumah agar Astri dapat pilih.“Kok aku baru melihat anda dek. beberapa yang dagang koran ada lagi langganan saya yang udah tua. Pak Romli kalo ga keliru namanya.”
“Iya bu, itu paman saya Beliau sakit semenjak awal bulan, jadi tidak bisa dagang.” Jawab si pemuda itu singkat. Astri menerka-nerka umurnya kali saja sepantaran bersama anaknya yang paling sulung.
“Oh, sakit apa dia pak romli? parah sakitnya?”
“Sakit gula bu, sekarang paman sekedar tidur saja dirumah. saya yang bantu jualan koran juga.”
“Astaghfirullah, semoga sehat-sehat saja ya Pak Romli. Nama anda siapa, nak?” bertanya Astri melembut.
“Saya Udin, bu.” Jawab Udin sopan.
“Kamu kelas berapa? tetap sekolah?”
Udin menggeleng malu-malu.
“Saya teranyar lulus SMP th. 2 tahun lalu bu. Tadinya sekedar jualan pempek sepulang sekolah, bantu-bantu paman dan adik-adik sepupu aku yang masih kecil-kecil. akan tetapi sekarang aku full jualan pempek saja di lebih kurang pasar pagi. sekarang gara-gara paman sakit, saya juga jualan koran.” Ujar Udin bercerita bersama polosnya.
“Orangtua anda kemana?”
Udin lagi-lagi menggeleng malu-malu. Luluh rasanya hati Astri, apalagi terbayang andaikan anak-anaknya harus menjalani hidup layaknya Udin. Bulat hati Astri pengen meringankan beban Udin.
“Yasudah, kalo gitu saya membeli tabloidnya satu dan korannya satu ya. Pempeknya termasuk saya bungkus 5 ya, Nak.”
“Baik bu. saya bungkusin saat ini Bu.” Jawab Udin cepat bersama sumringah. Astri tersenyum kecil saksikan sedikit pancaran kebahagian di mata Udin.
“Kamu sering-sering kesini ya, aku terhitung telah ga dulu langganan koran dan tabloid. Nanti biar ibu beli koran persis tabloid kamu.” Ujar Astri sambal tersenyum hangat. Udin sebatas mengangguk-angguk sambal mengulum senyum membungkus pempek pesanan Astri.
Dan layaknya itulah persahabatan kecil pada Astri dan Udin terkait Dua-tiga hari sekali Udin pastri datang membawa koran dan tabloid pesanan Astri. Tak jarang Astri memborong pempek dagangan Udin, sampai heran suami dan anak-anaknya selamanya saja ada pempek di meja makan terhidang. Astri yang kesehariannya cuman tinggal di rumah sendiri sebagai ibu rumah tangga ikut bahagia bersama ada Udin yang sesekali mampir menemaninya siang-siang untuk semata-mata berteduh dan mengobrol sejenak dengannya.
Hingga di suatu siang di musim hujan, hujan deras mengguyur komplek sedari subuh. Hujan gerimis dan deras yang datang silih beralih tak pelak buat komplek banjir di sebagian titik. Astri sendiri harus teperdaya di pasar swalayan menunggu hujan reda. Barulah saat hujan beralih gerimis Astri baru berani untuk naik gojek pulang ke rumah.
Hujan tetap mengguyur agak deras disaat Astri masuk kedalam kawasn komplek. berasal dari belakang jok tukang ojek mata Astri menangkap sesosok Udin yang berdiri berteduh di pos satpam.
“Eh, eh pak stop bentar pak. Din! Udin!”
Udin memicingkan mata saksikan sesosok wanita berkerudung diseberang jalan yang berhenti diatas motor. segera ia mengetahui sosok Astri salah satu rintik hujan.
“Kamu ngapain disitu din? Jangan neduh disana, nanti basah! kamu lari kerumah aku aja ya cepet! Ibu tunggu!” Teriak astri. Udin sayup-sayup mendengar ucapan Astri dan mengangguk-anggukan kepalanya.
Tak lama berselang Astri turun berasal dari ojek, Udin pun tiba sembari 1/2 berlari. Astri buru-buru melambaikan tangan menyuruh Udin masuk kedalam rumah gara-gara hujan kembali menderas. Udin tiba di teras rumah agak terengah-engah, korannya kelihatan safe karena ditutupinya bersama dengan plastrik. namun baju dan rambutnya benar-benar basah kuyup akibat berlindung di pos satpam.
“Astaghfirullah, udah taro aja didepan korannya Din. Masuk aja sini kedalem gapapa.” Ujar Astri seraya buka kunci pintu rumah.
Udin berdiri canggung di wajah pintu sembari badannya agak menggigil. Astri berdecak sambal bergeleng iba memirsa keadaan Udin.
“Sebentar ya Ibu carikan handuk. baju ibu juga basah nih. anda segera mandi aja Din, daripada anda demam. Yuk ibu antar kedalam.”
Astri membimbing Udin menuju kamar mandi tengah Udin baru kali itu masuk kedalam rumah Dipandanginya furniture dan foto-foto keluarga Astri seraya ia jalan kedalam rumah Tak lama Astri muncul dari dalam kamar dan menyerahkan Udin handuk bersih untuk ia gunakan.
“Tuh kamu pake, anda masuk aja segera mandi ya. Ibu juga harap ganti baju Ibu masuk terhitung ya.” Ujar Astri cepat sambil sesudah itu menghilang ulang kedalam kamar.
Udin keluar dari kamar mandi bersama dengan sebatas lilitan handuk di pinggangnya. Lagi-lagi ia hanya dapat berdiri canggung didepan kamar mandi sementara Astri belum terlihat dari kamar. Tak lama pintu kamarpun terbuka dan Astri terlihat masih sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Eh yaampun ibu lupa, sebentar ya Din ibu tadi sudah ambilin bajunya raffa sesaat busana anda basah. Nih pake dulu Din. pakaian kamu biar kering dulu aja.” Ujar Astri ulang sembari menyodorkan busana anaknya ke tangan Udin.
Udin cuman melongo tatkala Astri menyodorkan pakaian berikut ke tangannya. Baru kali itu Udin memirsa segi lain dari Astrid yang tak memakai kerudung dan sebatas berdaster saja. Rambut Astri yang tetap basah bersangga bebas pendek sedikit di bawah kuping, sekilas mengingatkan akan jenis rambut Desy Ratnasari. memanglah datang sedikit perbedaan disana sini, dari bentuk badan Astri yang sedikit lebih memuat bisa saja sebab benar-benar factor usia atau mata astri yang agak sedikit lebih sipit berasal dari Desy Ratnasari yang asli, namun secara keseluruhan mereka benar-benar tak tidak sama jauh.
“Loh kok diem aja Din? Ini ambil bajunya, anda tukar di kamar mandi gih.” Ujar Astri sembari tetap asik mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“I-iya bu..”
Udin pun menghilang kedalam kamar mandi untuk beralih busana Astri bersama dengan enjoy memunguti pakaian basah Udin dan membawanya kebelakang ke tempat cucian untuk sekedar dijemur.
“Udah ubah bajunya din? pakaian anda ibu jemur pernah ya di belakang biar kering.”
Udin cuman mengangguk-angguk sambil duduk bersama canggung memakai kaus dan celana basket longgar. Astri tersenyum kecil melihat Udin yang sedari tadi mengupayakan untuk tidak memandangi Astri.
“Kenapa kamu din? Kok kaya heran gitu ngeliatin Ibu. Heran ya baru kali ini simak ibu ga pake kerudung? Hehe”
Udin cuman tersenyum kecut menanggapi candaan Astri. memanglah agak sedikit kaget Udin dibuatnya. Astri yang kerap berkerudung sopan sampai memakai kauskaki tidak tebal kini melenggang enjoy hanya kenakan daster kutung (daster tanpa lengan) sekedar dengkul. Cerita Perkosaan
“Gapapalah Din, sekali-kali ini. Lagian didalem tempat tinggal termasuk ga hadir yang lihat Yang liat juga kan anda aja ga ada orang lain.” Hibur Astri ulang sambil tersenyum lembut.
Setelah itu Astri dan Udin pun makan dengan khidmat bersama lauk seadanya di meja makan. Pelan-pelan Udin bisa sesuaikan diri lagi dan merekapun berdua asyik mengobrol layaknya biasanya Di luar hujan tetap terus menggelegar, Astri mengintip keluar berasal dari balik jendela mengamati air yang tercurah begitu banyaknya dari langit.
“Untung aja tadi ya Din, ibu ngeliat kamu coba lihat nih, ujannya masi ga berenti juga tambah semakin deres. bisa banjir ni komplek.. ckck” Ujar Astri sambil memijat-mijat tengkuknya sendiri.
“Iya bu..” Jawab Udin pelan.
“Duh kayanya ibu masuk angin deh, tengkuk ibu berat banget ini rasanya. anda dapat ngerok ga din?” Keluh Astri.
Udin cuman menggeleng pelan.
“Tapi jangan dikerok juga sih, nanti heran ulang suami saya kok dapat hadir yang ngerok? bisa berabe.. hahaha. Ibu minta tolong pijitin aja ya din?” Pinta Astri ulang sembari beranjak kedalam kamar melacak minyak urut. “Sini aja Din, masuk nggapapa..” Panggil astri kembali berasal dari dalam kamar.
Udin melangkah dengan lambat, tetap curiga sebab terasa tidak sedap untuk pertama kalinya ia masuk kedalam kamar tidur orang lain tentu saja mengakibatkan rasa canggung.
“Nih minyak urut din, kamu olesin aja nih ke pundak persis leher belakang ibu. Tolong yah?” Ujar astri sembari bersendawa sendiri yang kini sudah duduk di tepi kasur.
Udin mau tidak mau memerhatikan permintaan Astri. dengan hati-hati udin menumpahkan sedikit minyak angin ke permukaan tangannya dan mengusap tengkuk astri pelan.
“Hmm.. anget. Iya gitu din, agak dipencet-pencet Din.”
Dengan patuh Udin menuruti komando astri. Sempat terpesona udin oleh halus lembutnya kulit astri yang sepanjang ini senantiasa terbalut kerudung. tetapi dientaskannya asumsi itu jauh-jauh. Astri mengangguk-angguk terpejam nikmati kronologis Udin.
“Din, sambil tiduran dapat ngga din? Ibu pegel termasuk duduk nyamping gini.” Tukas astri cepat. bersama dengan santainya astri melengos dan menelungkupkan muka berbaring tengkurap diatas kasur.
Udin lagi-lagi tercekat menelan ludah menonton Astri dalam posisi seperti itu. masih bersama dengan takut-takut udin bergerak turut naik keatas kasur. Astri sesudah itu melebarkan ke dua kakinya memperlihatkan Ruang bagi Udin untuk bersimpuh diantara kakinya. Sekelebat putih halusnya paha didalam astri buat jantung udin berdegup kencang. Udin mulai meraba pelan punggung astri dan mulai memijitnya perlahan.
“Hmm iya din gitu din.. kuat terhitung ya pijitan kamu..” ujar astri sembari masih telungkup dan memejamkan mata. “Atasan kembali din di pundak kaya tadi.” Pinta astri lagi.
Udin dengan agak susah mencondongkan diri semakin kedepan berusaha memperoleh pundak astri. Meski astri udah melebarkan kakinya tetap saja udin susah dikarenakan mau tak mau udin perlu tambah merapat satu diantara sela kaki astri. Dan benar saja, baru saat udin hendak memajukan badannya, tanpa sengaja tubuh bagian bawah udin menyenggol pantat astri.
“M-maap bu, p-permisi.” Tukas udin cepat-cepat. Astri sebatas terkekeh kecil karena canggungnya udin. “Iya gapapa, cepet pijit lagi.” Jawab astri tak sabar.
Udin lagi memijat sambil mengusahakan mencegah jatah bawahnya agar tidak menyenggol kembali sedangkan tentu saja percuma dikarenakan posisinya tidak terlalu mungkin sehingga udin berupaya sehingga tidak terlalu kerap melekat ke pantat astri. Diam-diam udin termasuk berupaya sekuat tenaga agar tidak terbangun dedek kecilnya, karena jujur saja lembutnya pantat astri harap tak mau merangsang kemaluannya jadi terbangun. Tiap kali melekat rasanya darah di didalam diri udin berdesir.
Astri terhitung sebetulnya mengenali udin yang berusaha keras mencegah diri dan masih sopan. Astri mengerti betul di usia segitu baik udin maupun anak tertuanya telah jadi merintis sistem jadi dewasa dan tertarik bersama dengan lawan gaya sehingga astri mengerti betul apa yang dialami udin saat ini. sedang astri diam-diam saja, malahan agak sedikit geli melihat udin seperti itu. selanjutnya astri menyuruh udin untuk enjoy saja.
“Udah din gapapa, nempel dikit terhitung gapapa kok.” Ujar astri sambil masih telungkup.
Udin tidak langsung menjawab dan semata-mata diam saja. pada akhirnya udin memberanikan diri untuk mengiyakan perkataan astri.
