Mantan Penyanyi Yang Jadi Pelacur Ku
kenangan.xyz – Dengan sigap kumundurkan truk gandeng trailer ke daerah yang ditunjuk tukang parkir, saya turun dari kabin sopir, terhubung pasak roda kelima, melewatkan saluran hawa dan koneksi listrik, dan turunkan roda penyangga gandengan.
“Sialan,” gumamku, menyaksikan langit gelap, “Mudah-mudahan gak hujan!”
Naik lagi ke kabin, kuambil unit radio SSB/CB yang digunakan untuk berkomunikasi bersama dengan perusahaan.
“Lagi markir di derah Indramayu, over”, saya kisiki mereka. “Aku berkenan out dari jam ini, dan berkenan mandi dan makan malam disik. Ada yg isa tak kerjakno besok?, ganti”
Aku terasa baca-baca pos kota yang kubeli di jalan dari Jakarta tadi. Kuletakkan koran ke bawah, melewatkan rem dan masukkan gigi truk gandeng buah-buahan.
“Berangkat dan makan malam,” kataku penjaga di pintu gerbang, “Sampe nanti yo!”
Aku berbelok ke jalan raya menuju arah Cirebon, dan di dalam lima belas menit saya masuk parkiran truk. Aku mendapatkan daerah parkir di barisan tengah, dan matikan mesin. Kulemparkan kemeja bersih, alat mandi, dan sebagian kaus bersih dan baju ke di dalam tas plastik. Melongok keluar jendela, kulihat awan makin tebal, dan pasti hujan sebentar lagi. Menuju restoran yg sedia kan kamar mandi, dan mandi bersama dengan cepat. Setelah membersihkan diri, makan malam – Nasi ikan sayur lagi – dan memeriksa ruang TV. Tidak ada acara tv yang layak ditonton, lagi ke truk, dan mungkin berkenan main game di hape. Hujan telah terasa turun, cukup dingin. Ini malam enak banget buat pancal selimut dan tidur seperti mampus.
Menghindari hujan mlipir-mlipir diantara truk, kelanjutannya hingga ke truk. Aku ganti baju buat tidur – celana pendek katun longgar, dan T-shirt. Aku ambil hape buat main game, tapi saya telah mengalahkan hape berkali-kali, gak mengasyikkan lagi. Tiba-tiba, ada suara tok-tok-tok di pintu. Dikejutkan oleh suara, saya menyaksikan ke bawah, dan ada seorang gadis muda berdiri antara truk. “Ya?” saya bilang, sementara saya turunkan kaca jendela.
“Cari rekan pak-e?” sementara ia tersenyum padaku.
“Hmmm …” saya mikir sendiri, “Beberapa buat gituan yang enjoy aja?.”
“Masuk,” kataku, sementara saya terhubung pintu, “kita omong di dalem aja.”
Saat ia memanjat ke kabin sopir, saya masukkan hape ke laci dan dia menggeser ke kursi pengemudi. Bisa kulihat lebih mengerti bersama dengan diterangi lampu jalan, masih muda – mungkin belasan awal dua puluhan tahun – rambut cokelat gelap, mata gemerlap, dan terlalu cantik. Dia belum usang oleh kehidupan seperti sebagian perempuan yang dulu kulihat di pangkalan truk. Mungkin tingginya 165-an cm, basah kuyup.
“Sini,” Aku menyerahkan handuk. “Keringin sendiri.”
“Ma kasih om,” katanya berseri-seri. “Gimana om, berkenan ditemani malam ini?”
“Mungkin aja. Kau berkenan santai-santai aja khan?” Kutanya.
“Brapa?” Aku tanya.
“Tergantung apa maunya om,” jawabnya.
“Bagaimana kalau setengah-setengah?”
Dia menatapku heran. “Aku hamil ga bapak khan?”
“Tidak, saya suka wanita hamil, lembut dan licin.”
“Aku belum main ama siapa pun berbulan-bulan, gak ada yang berkenan kalo perut gendut om,” ucapnya. “Aku kebanyakan tiga ratus, tapi Om baik, biar dua 1/2 deh.” Dia menatapku tajam bersama dengan mata cokelatnya yang besar dan meneruskan, “Tapi perlu pelan-pelan!”
“Oke,” kataku tersenyum padanya. “Ga masalah.” Kujangkau kotak, kuambil sebotol pil, buka, dan telan satu “Vitamin V” biru kedalam mulutku.
“Apa itu? Viagra apa Ciallis?”
“Dulcolax,” saya berbohong. “Mulas. Aku makan banyak sambal sementara makan malam, buat mulas.” Kuletakkan botol pil kembali, dan beroleh sebagian lembar merah favoritku – menarik 3 lembar dari simpanan rahasia. ” saya miliki sekedar ini,” kataku. “Ada kembalian?”
“Gak ada om,” ia mengerutkan kening.
“Ah ayolah,” saya berpikir sendiri. “Kamu berkenan duwit khan, kau sanggup apaan?”
“Jika om berkenan mau, saya tambah sementara buat om, mungkin satu jam atau lebih. Keluar dua kali deh… Kalo om bisa!” katanya, tersenyum padaku.
Ngeledek! Namun lebih enteng daripada nepuk lalat terbang, pikirku. Tunjukin duit, mereka sendiri yang nawarin. Biar saya tua dan muka kayak badak, siapa yang gak berkenan duit?.
“Yah … Oke?” kataku. “Cukup khan?.”
“Ya deh om!” katanya, mengambil alih 3 lembar ratusan dan memasukkan ke di dalam tasnya. “Namaku Sheila, om namanya siapa?”
“Sheila? Yang bener, aslinya siapa?” sementara saya menarik tirai kaca jendela dan menutup kaca depan manfaatkan karton bekas bungkus buah. Sekarang gak nampak dari luar.
“Yanti om,” katanya. “Sheila saya pake kalo nyanyi.”
“Kau penyanyi?”
“Ya, dangdut dan tarling di Bar ‘Bunga Seroja’ ke arah Cirebon,” katanya.
“Di mana? Aku dulu menyaksikan papan namanya, tapi belum dulu ke sana,” kataku.
“Tempatnya cukup oke. Yanti sanggup duwit cukup om, tapi setelah terasa gendut, mereka gak kasih job lagi. Sayanya disuruh tungguin tamu jadi waitress, tapi manajer diajak berantem ama lakiku, maksudku ama pacar Yanti .. Kumpul kebo om.. Dasar pacar bajingan, dan manajernya bilang ama akunya untuk balik setelah Yanti lahirin bayi. Tapi khan sayanya perlu cari duwit biar bagaimana.” dia mengangkat bahu. Yanti menunjuk diri sendiri bersama dengan ‘aku-nya’ atau ‘saya-nya’. Bahasa Pantura anggota barat yang lucu.
“Jadi, siapa nama om?”
“‘Anjing laut’ adalah namaku di radio SSB/CB,” kataku. “Nama asli Ricky,” kuulurkan tanganku.
“Dari mana aslinya, om Ricky?” dia menanyakan sambil menggenggam tanganku.
“Surabaya,” Aku berbohong, saya mundur ke daerah tidur di belakang jok sopir dan melewatkan celana pendek dan T-shirt. “Kamu dari mana?”
“Aslinya dari Jepara om”, katanya sambil melewatkan jaketnya. “Aku meninggalkan sana usia 16, gak tahan nganggur. Belum dulu pulang. Sudah lebih dari lima tahun.” Dia mencopot celana jeans-nya, dan menarik baju dari kepalanya. Dia berdiri di depanku hamil bersama dengan perut buncit, tetek besar, dan sepasang celana di dalam berenda biru-biru dan bra masih melekat.
“Berapa lama lagi lahir?” kutanya, sementara dia melewatkan bra-nya.
“25 minggu lagi,” katanya, sambil melewatkan payudaranya berayun bebas. “tetek jadi kegedean om,” dia mengeluh. “ukurannya naik dua nomor. Awalnya 36-c sebelum akan hamil, saat ini 38-d!”
Aku menyaksikannya melewatkan celana dalam, dan meki-nya terbentang jelas. rimba subur, coklat gelap, dipangkas kayak Mohawk. Aku bersiul.
“Aku tetap begini kalo nyannyi pake mini, biar nggak jrawut keluar” dia tersenyum, diusapnya hutan diatas pintu surga itu. “Banyak yang suka ini lho om.”
“Aku terhitung suka, cantik sekali.” Kataku.
“Ma kasih!” sementara ia berlutut di antara kakiku, dan berbaring di sampingku. “shhhhh … Dengerin … Denger suara hujan?” hujan turun lebih deras, dan sebabkan suara berisik sementara kena atap kabin sopir. Suara yg buat santai, menghibur, dan nyaris romantis.
Aku jadi ingat bahwa saya telah tidak muda lagi, nyaris enam puluh, muka brewok berantakan bersama dengan jahitan di sana sini setelah kena ledakan mesiu dan pecahan logam di satu operasi laut sebagai marinir. Terpaksa pensiun dini dan jadi sopir, istri minggat bersama dengan Laki-laki lain, Untung belum miliki anak. Sejak itu saya dijauhi gadis ataupun STW baik-baik karena ngeri menyaksikan mukaku, inilah salah satu pelepasanku..
Tiba-tiba, ada suara dering – “briip-BIP-BIP-BIP”. Dia berdiri, dan meraih ponsel dari tasnya. “Ya,” katanya. “Akunya lagi sibuk, gua telephone lagi ntar.” Aku sanggup mendengar suara laki-laki di ujung yang lain, tapi saya tak sanggup dengar yang dia katakan. “Aku bilang berkenan nelepon lagi ntaar!” dan dia menutup telepon.
“Bajingan, anjing babi sialan! Tinggalin saya kenapa sih?”
“Coba tak tebak … Pacar?”
“Ya, Sejak saya dipukuli, dianya pikir saya miliki dia. Selalu meriksa aku! Ama siapa, kapan balik … Dasar ngentott, minggat deh sonoh! ”
Aku hanya nonton dan memberinya 1/2 senyum sedih. Tak sanggup bilang apa-apa padanya – hidup adalah apa yang kau lakukan.
“Yaahh,” dia mendesah sementara ia tempatkan hape kembali. “Si om bau wangi deh, om pake apa?”
“Mandom,” kataku. Banyak gadis suka laki-laki tua yang pake mandom, memang kuno tapi sebabkan mereka berpikir perihal bapak atau kakeknya, mengingatkan ketika dia masih kecil dan polos.
“Enak baunya om!” katanya sambil terasa mencium putingku. “Kakek dulu baunya begini.”
“Aku tahu,” pikirku. “kakek-kakek baunya seperti itu.”
Yanti menjilat dari puting turun ke pusar, paha, mencium, menggigit, dan menjilat, sambil hindari penis. Dia tetap menjilat mendekati penisku yang berdenyut-denyut dan bersama dengan lembut napasnya mengelus kepala penis. Napas dinginnya sebabkan kedutan di penis menunggu, sambil cairan terasa merembes keluar dari ujungnya. Aku meraih bahunya, tidak mendorongnya, hanya buat merasakan sentuhan kulitnya. Aku mengelus bawah lengannya, mengusap anggota depan, dan terasa membelai susu kirinya yang menggantung di atas kakiku. Kuusap payudara yang terjumbai, dan menyelipkan tanganku ke putingnya. Mulai kupermainkan putingnya bersama dengan lembut, penuh perasaan, puting itu mengeras karena sentuhanku.
“Pelan om, susu ibu hamil terlalu lembut,” bisiknya. Napas dingin sebabkan penisku berdenyut bersama dengan permintaan memuncak, dan menginginkan bibirnya menelan batang itu. Hampir seolah sanggup membaca pikiran, ia menjulurkan lidahnya, dan menjilati dari pangkal hingga ke ujung. “Suka yang gitu?”
“Oh, yaaah!” Aku terkesiap, kugosok bersama dengan lembut putingnya. “Ya begitu om, enakan!”
Lagi-lagi ia menjilati penisku, dari dasar ke ujung. Dan lagi, dan lagi, dan lagi, seperti batang permen yang besar. Mahluk ber ini seutuhnya mengerti apa yang dilaksanakan kepada saya, dan terlalu menyukainya. Akhirnya, dia melahap batangku ke di dalam mulutnya, dan terasa menganggukkan kepalanya ke atas dan ke bawah, lidahnya berputar-putar di kurang lebih ujung kepala penis. Rasanya luar biasa hingga jari-jari kakiku menekuk-nekuk!
“Ohhhhhh …” saya mengerang. “Begitu, enak banget …”
Dia tetap menggosok bersama dengan bibirnya ke atas dan ke bawah, keatas bawah, dan menggelitik ujungnya bersama dengan lidahnya. Seringkali ia berhenti dan menjilati batangnya hingga ke ujung seperti permen besar, dan terasa menghisapnya lagi. Enak sekali rasanya, kuingin itu berjalan tetap …
“Tunggu sebentar,” kataku, sementara saya berdiri. “Di sini, coba ini …”
Aku berdiri di samping daerah tidur di kabin, bersama dengan penisku menunjuk ke mulutnya. Yanti lagi melahap penis yang dia tinggalkan – menganggukkan kepalanya dan memputar-putar lidahnya di penisku. Aku mengulurkan tangan dan bersama dengan lembut terasa mengusap ke dua susunya, merasakan bobot susu itu di tangan. Aku menarik putingnya, dan merasakannya terasa mengeras. Satu tangannya yang lain menggenggam pangkal batang penisku yang berdenyut-denyut, dan terasa mengocoknya. Tangannya yang lain bersama dengan lembut menggeserkan kukunya di bola saya. Rasanya sungguh-sungguh menggetarkan, sehingga terasa kantung itu mengetat.
“Oohh, saya berkenan keluar, keluarrr, oh ya, yaah,!” sementara kurasa orgasmeku terasa datang.
“Ayolah di tetek Yanti om!” katanya sambil menarik bibirnya dari penisku. “Keluarkan di toket om!”
Tapi sebelum akan dia sanggup mengarahkan ke palkon (k’pala kontol) di payudaranya, mulut palkon itu telah memuncratkan isinya. Benih sperma mengalir dari bibirnya ke dagunya dan menetes ke payudaranya. Dia mengangkat teteknya bersama dengan tangan kiri, dan tetap mengocok batang penisku menggosokannya ke payudara bersama dengan tangan satunya.
“Keluarin!” ia menuntut bersama dengan mesum. “Ayo di tetekku om!”
Muncrat lagi, dan lagi, dan satu lagi tembakan seperti benang putih keluar dari penisku dan ke payudaranya yang besar.
“Engggggghhhh …” hanya itu yang sanggup keluar dari mulutku, sambil ia tetap memerah susu kental asin itu sebanyak yang ia bisa. Tangannya berlumas bersama dengan sperma, mengocok ke atas dan ke bawah tangkaiku yang ikut tetap berkedut-kedut. “Engggggghhhh …” mataku berputar terbeliak-beliak.
Akhirnya semprotanitu berhenti seiring bersama dengan berhentinya kocokan Yanti.
“Ohhh enak sekali Yanti!” saya melenguh.
Lututku jadi lemah, saya berdiri agak terhuyung. Mataku lagi fokus, saya menatapnya. Teteknya ditutupi air benih, dan dia menjilati bibirnya.
“Om keluar se ember,” katanya dan terasa menggosok cairan itu di payudaranya. Dia melihatku yang mungkin agak keluar bingung, dan bilang “Ini bagus buat kulit, biar garis-garis ilang,” sambil tetap mengusapkan cairan maniku ke teteknya.
“Lotion kulit alami buatan badan manusia, ya?” kataku sambil menyeringai. “aku gak ngira.”
Dia tak bilang apa-apa, hanya tetap memijat cairan itu ke payudaranya. Setelah itu seluruh habis, ia menatapku bersama dengan mata berwarna kecoklatan, “Ya, om telah siap lagi, atau masih lemes?”
“Beri sementara sebentar deh,” kataku, masih coba kudapatkan lagi tenagaku. “Aku gak sekuat dulu lagi.”
“Oke. Boleh ngrokok ga Om?”
“Kamu gak boleh merokok sementara tengah hamil. Sori, biar om buka jendela.”
“Ya bener,” katanya. “Bungkus terakhir, ntar saya berhenti om.”
Yanti meraih tasnya, meraba-raba di dalamnya, mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api. Dia menyalakan, mengisap dalam-dalam, dan menyimpan pak rokoknya lagi tas. Tiba-tiba ada benda berwarna keperakan jatuh ke lantai. Secara otomatis, saya mengambilnya dan menyerahkan kepadanya.
“Apaan nih?” Kataku sambil tersenyum.
Dia mengambil alih vibrator dari tanganku dan tersenyum ke arahku. “Itu yang sebabkan saya gak membunuh bajingan yang tinggal bersama dengan Yanti. Dia gak berkenan niduri karena Yanti hamil, kadang kala Yanti napsu banget jadi perlu ada pelepasan om. Dia gak berkenan mirip sekali!”
“Tunjukin,” kataku pelan. “Tunjukin anda sanggup apa.”
Yanti menarik satu lagi rokoknya, memberikannya kepadaku, mengidupkan vibrator, suara berdengung rendah terdengar di telingaku. Aku menghilangkan asap keluar jendela, dan nonton dia menggosok ujung kurang lebih putingnya. Dia menggosok payudaranya sepanjang satu menit lebih, tempatkan lagi dan menyimpan vibrator di antara selangkangannnya.
“Yanti sukanya di susu,” dia mendesah, “Tapi putingnya lembut banget Yanti gak tahan lama-lama.”
Dia terasa menggosokkan vibrator yang berdengung antara pahanya, menyentuh vaginanya tak terlalu mepet, hanya sedikit menggodanya. Perlahan-lahan dia mobilisasi vibrator di kurang lebih anggota luar pintu surga itu, hingga sanggup kulihat makin merah dan basah. Klitorisnya tegang menegak seperti penis kecil, dan bibir vaginanya terhubung seperti bunga. Kontolku yang telah mengempis terasa hidup kembali.
Yanti mobilisasi ujungnya ke vaginanya yang basah kuyup, mendapat sedikit pelumas di atasnya, dan sesudah itu mengusapkan ke klitorisnya. “Aaaaahhhhh …”
Matanya 1/2 terbuka, dan dia berkonsentrasi pada perasaannya, ia perlahan bermasturbasi. Dimasukkannya vibrator ke liang surganya, menggesek-gesek sebentar, sesudah itu lagi memijat klitorisnya yang tegak ngaceng. “Ohhhhh …” rintihnya, “Ummmmm …”
Dengan terhubung mata, dia menyaksikan saya menatapnya lekat bersama dengan burungku yang kini terlalu keras. “Sinih”, ia berbisik bersama dengan bernafsu, “Sini main ama Yanti sekarang.”
Dia mematikan vibrator, menaruhnya di daerah tidur di sampingnya, dan saya masuk di antara kakinya yang terkangkang lebar. Aku menggosok penisku naik dan turun, hingga pintu surga itu basah. Aku tidak terburu-buru – kunikmati perasaan bibir vaginanya yg basah, menggosokkan sepanjang penis, dan terasa berdenyut klitorisnya ketika saya menyentuhnya bersama dengan kepala penisku.
“Ngewe om,” dia memohon. “Jangan godain terus, ngentot yuk om!”
Aku posisikan kontolku yang membengkak di pintu masuk vaginanya yang berair, dan mendorong. Aku meluncur tepat di terowongan licin tanpa perlawanan, dan masuk di dalam ke liang nikmatnya. Ini lebih panas dari panggangan sate, dan kehangatan dan gairahnya membuatku makin liar. Liangnya tidak terlalu ketat, tapi terhitung tidak terlalu longgar.
“Ohhhh …” lenguhnya. “Ohhhhh … Udah lama banget …”
Perlahan-lahan terasa kugeser penisku masuk dan keluar mulut vagina yang mirip orang mengulum. Sangat panas dan basah di sana, saya tidak ingin keluar. Aku hanya ingin tetap penisku diemut vagina yang panas, dan berkubang jus birahinya. Kuhentikan sejenak dan kurasakan otot-ototnya meremas penisku, dari atas ke bawah batang penis. Perlahan kugerakkan masuk dan keluar di iang birahi yang menggembung itu perlahan, perlahan-lahan …
“Emmngghh …” dia melenguh. “Terus jangan brenti.”
Aku memompa bersama dengan lambat, bersama dengan irama stabil, memompa masuk dan keluar vaginanya yang lembut dan licin. Permainan cinta yang enjoy –pasti itu yang di idamkan Yanti, dan bakal kuberikan padanya. (cinta..? Bukannya perek?) Teteknya yang besar bergoyang-goyang sedikit karena saya tetap bererak di bawahnya. Kugerakkan tanganku, dan rasakan putingnya yang keras. Aku membungkuk ke depan, coba menangkap tidak benar satu puting bersama dengan bibir saya, tapi tidak sanggup – Badanku ternyata telah tidak lentur itu lagi. Kutegakkan tubuh, dan tetap bercinta dengannya, masuk dan keluar, masuk dan keluar, merasakan kehalusan vaginanya yang halus bagai beludru.
Dia menatapku bersama dengan melamun, mata 1/2 terbuka. “Oh iya om, gitu enakan.”
Aku tak bilang apa-apa, hanya tersenyum padanya, celah di dalam liangnya tetap membelai penisku masuk dan keluar. Terus kugesek batang milikku masuk dan keluar, dan melihat payudaranya yang bergoncang. Bisa kurasakan ‘jus tempik’nya terasa berkurang dan menetes ke bawah kantung bola. Otot-ototnya tetap berdenyut dan berdenyut menggenggam penisku, dan tetap kuayun masuk dan keluar, masuk dan keluar. Aku suka rasa yg sensitif, tapi lututku sakit dan saya perlu untuk turun dulu.
Kutarik penisku keluar dari vagina yang basah itu, dan berbaring di sampingnya. Dia menatapku aneh, tapi sebelum akan bilang apa-apa, saya bilang padanya “Aku risau bakal menyakitimu. Kamu di atas dulu sebentar.”
“Aku terlalu gendut ya om,” katanya. “Perutku terlalu besar.”
“Nggak bapak kok. Naik sini.” saya mendesak. “Lagian anda yang jadi joki, entotin om yang kenceng semau kamu.”
Omonganku memang tai kucing, tapi dia tampaknya setuju. Dia berguling ke samping, mengangkat kaki kirinya, dan nyeli keatas tubuh saya. Kugeser bantal sedikit, sehingga kepala dan bahu terganjal, ubah lagi ke tengah. Dia mengangkat pinggulnya, meraih penisku, dan ambil posisi di pintu masuk nona puki miliknya. Udara dingin terasa enak di penisku, dan saya sanggup rasakan panas yang memancar dari gunung berapi nya. Kurasakan basah sementara ia bergerak ke bawah bersama dengan tusukan palkon ke pintu masuk yang basah, dan bersama dengan perlahan-lahan memantek dirinya bersama dengan penisku.
“Emmmmmh …” dia melenguh. “Emmmmh …”
Dia terasa menggiling pinggulnya di penisku, goyang pinggulnya maju mundur, sebabkan tusukanku bergerak maju mundur di di dalam dirinya. Rasa gesekan liang panas dan licinnya luar biasa, dan kulihat dua susu tetek besar bergoyang di depan muka menambah rasa yang menyenangkan. Kuletakkan tanganku di ke dua payudaranya, kuangkat-angkat terasa antap. Kugosok tanganku dan menagkup serta menggenggam dua gundukan, selanjutnya kutarik perlahan anggota putingnya. Muncul dua puting yang indah, menimbulkan untuk disusui.
“Why not?” Kutanya diri sendiri.
Kubuka mulut, dan menangkap pentil susu kirinya di dalam mulutku. Mulai kujilati putingnya, dan bersama dengan lembut menarik-nariknya bersama dengan bibirku.
“Aaaaahhh …,” lenguhnya. “isap teteknya om.”
Kugesek lidahku di kurang lebih putingnya, seperti dia mainkan lidah penisku. Tangannya merangkul belakang kepala saya dan mengucek rambut bersama dengan jarinya, dia menarikku ke bola melonnya yang besar.
“Oh ya, gitu aja,” dia suara bergetar.
Tiba-tiba, ada kejutan yang tak terduga dan lezat. Ada aliran susu masuk ke tenggorokanku, dan segera kutelan. Kujilat dan kuisap pentil dot itu, dan saya sanggup air susu ibu yang hangat. Yanti tetap menggilas vaginanya yang panas pada penisku, dan membelai kepalaku.
“Enak banget om, ya gitu makin enak,” gumamnya bersama dengan puas.
Aku kira payudara kanannya jadi cemburu karena saya tidak memberikan perhatian, jadi Kutarik mulutku dari dada kirinya yang lezat, dan mobilisasi kepalaku untuk terasa berpesta di lain kendi susu yang penuh. Saat kutarik mulutku, aliran susu hangat mancur keluar dari pentil dan menyemprot pangkal leherku. Yanti terhubung matanya untuk menyaksikan mengapa saya tidak mengisap susu dia lagi, dan menyaksikan tetesan air susu mengalir di dadaku.
“Oh tuhan,” katanya tersipu. “Maafkan aku, saya tidak mengerti saya …”
“Jangan cemas perihal itu,” saya meyakinkannya. “Aku suka itu!” sementara saya tersenyum kepadanya.
Yanti tak bilang apa-apa, tapi dia berhenti mobilisasi vaginanya pada penisku, dan pasti dia malu.
“Kukira kau menyusui,” kataku. “Aku pasti terperanjat kalau tidak malahan. Itulah mengapa payudara anda sakit, dua-duanya penuh bersama dengan susu.”
Yanti tidak bilang apa-apa, dia hanya menatapku bersama dengan matanya yang berwarna gelap. Kugerakkan mulutku atas ke susu kanan, dan terasa mengisap puting di atasnya. Semakin sulit, dan mudah-mudahan ada aliran susu tiap-tiap saat.
“Mau saya berhenti?” Kutanya ketika kutarik bibirku dari payudaranya.
Dia tidak bilang apa-apa, tapi dia tidak harus, – tubuhnya tetap berbicara. Tangannya telah mendapatkan jalan ke anggota belakang kepala saya lagi, dan kurasa dia menghimpit wajahku ke susunya. Kulanjutkan menyusui, dan saya diberi aliran susu hangat yang manis. Yanti terasa menggesekkan vaginanya bolak-balik lagi, dan saya dihadiahi erangan yang pelan,
“ummmmmm …” saya tetap melindungi di payudara kanannya, hingga tak adalagi susu di dalamnya.
Kuberalih lagi ke susu kiri, dan menghisapnya. Beberapa semprotan susu, selanjutnya tidak ada lagi – saya telah terkuras hingga kering. Kuberbaring, dan melihat dia menggenjot pinggulnya sendiri di penisku. Dia hal keindahan, visi untuk dilihat. Matanya tertutup, rambut cokelat tua di kurang lebih wajahnya, dan teko susunya yang menyembul berayun malas ke sana kemari dan bersama dengan sengaja digoyangnya bolak-balik. Kugosok tanganku di atas tubuhnya, merasakan sentuhan sensual di kulitnya dan lapisan keringatnya yang mengambang. Kuusapkan ke dua tanganku di bahunya, turun ke tangannya, dan ke kakinya. Sampai di pahanya menjangkau semak tipis, di atas perut buncit itu teteknya berayun, dan naik turun. Saat kugerakkan tanganku di pahanya, kurasa tidak benar satu tangannya menyentuh batang penisku. Dengan lembut dia memindahkan tanganku ke daerah di mana tubuh kita menempel, dan mengangkat dirinya sedikit. Dia menyelipkan tanganku di bawah kelentitnya yang sekeras batu, turunkan badannya kembali, dan lagi bergoyang.
Segera kutahu apa yang di idamkan Yanti. Dia telah mencoba sebabkan dirinya keluar bersama dengan menggiling klitorisnya pada selangkanganku, dan saat ini dia ingin saya untuk merangsang sambil dia meniduriku. Aku terhubung telunjuk dan jari tengah sedikit, dan merasakan gesekan klitorisnya di antara jari-jariku. Saat ia menggosokkan klitorisnya ke jari-jariku, kurasa cairan basah berminyak terasa mengalir di dalam liang sepanas tungku miliknya.
“Oh ya, di sana!” lenguhnya. “oooooohhhhhh …”
Dia menggosok klitorisnya ke jari-jariku, dan kujentik-jentik lagi tonjolan kecil miliknya. “Ohhhhh yeeaaaahhh,” lenguhnya. “Unhhhhh …”
Sebuah ingatan berkelebat di kepalaku. Kurasa di kurang lebih daerah tidur, ia mencari mainan kecilnya.
“Dimana itu?” kupikir. “Dia taruh di sini di suatu daerah …” kurasakan suatu hal yang keras, dan saya telah menemukannya.
Aku memegang belakangnya, dan melihatnya. Cukup sederhana, putar bawahnya .. Nyala, dan makin diputar itu, makin kencang getarannya. Kuputar anggota bawahnya sedikit ke kanan, dan terasa bergetar di tanganku. Berani bertaruh dia bakal suka kejutan kecil ini untuk dia!
Kutarik tanganku keluar, tapi sebelum akan dia sanggup bilang apa-apa, saya telah menggantinya bersama dengan vibrator lembut yang berdenyut. Benda itu menggosok klitorisnya, dan kudengar dia megap-megap.
“aaaaaaahhhhh …”
Seperti seorang wanita kerasukan, Yanti terasa menggenjot penisku dan mendesakkan klitorisnya melawan vibrator bersama dengan tenaga baru. Seluruh tubuhnya berkonsentrasi pada rasa enak gesekan itu, dan dia menggigit bibirnya di dalam kenikmatan.
“Emmmmmh,” lenguhnya. “Emmmmm h…”
Kuputuskan untuk laksanakan seperti koki di TV bilang, dan ‘tambah bumbu tambah lezat.’ Ketika saya memutar anggota bawahnya sedikit lebih ke kanan, saya sanggup rasakan meningkatnya getaran, dan demikianlah pula Yanti.
“Ohhhhhhh lailahailallaaah,” ia meratap. “Jangan berhenti, jangan berhenti omm! Ohhhh … Biarin saya keluar, biarin saya keluar!”
Pinggulnya telah goyang sendiri. Dia gerakkan vaginanya di penisku yang begitu keras hingga saya heran, apa berkenan dipatahin pangkal kontilku ini?. Payudaranya yang berayun liar, dan memantul dari satu mirip lain bersama dengan suara menampar yang musik ke telinga saya.
“Aku berkenan keluar, kheluarrr, saya berkenan kheluar,” dia teriak sambil menggelengkan kepalanya ke kiri kanan, sebabkan rambutnya yang panjang terbang liar. “aku nyampe om! Ohhhhh …”
Kurasa vagina licinnya terasa kejang dan berdenyut di penisku. Seperti catok beludru, meremas penisku, mengepal dan membuka. “Mari kita menyaksikan apa yang dilakukan,” kukira.
Kuberbalik dasar vibrator kecil seluruh jalan ke kanan – kapabilitas penuh.
“Eiiiiih!” Sebuah jeritan suara tinggi keluar dari bibirnya, diikuti oleh megap-megapnya dia menarik nafas. Yanti tiba-tiba condong depan dan ambruk ke dadaku, kepalanya ditelungkupkan ke bantal di sampingku.
Kutarik tanganku, dan vibratornya sekalian. Kumatikan, dan menoleh ke samping untuk menyaksikan wajahnya. Pinggulnya telah berhenti bergerak, tapi vagina masih berkedut dan berdenyut menggenggam penisku yang tertanam dalam-dalam. Ketika kulihat wajahnya, kontraksi di dalam celah lembutnya berkurang. Matanya terbuka, tapi mata itu nampak berkaca-kaca.
“Hei,” bisikku, sambil membelai rambutnya yang panjang kecoklatan dari pipinya. “Kau baik-baik saja?”
Seperti yang kulihat, kelopak matanya berkedip, sekali … Dua kali … Saat ia terasa fokus, kehilangan bayangan berkaca-kacanya. “Lailah ya tuhan,” dia bergumam ketika tubuhnya bergetar dan menggigil. “Itu kebanyakan, terlalu enak.”
“Suka yang begitu?” Kutanya. “Ngerasa lebih enakan?”
“enak bangettss!” dia mengeluarkan bunyi sementara menghela napas.
“Bajingan tua ini masih sanggup muasin gadis muda,” pikirku. “setidaknya bersama dengan pemberian dikit.”
“Ma kasih om,” bisiknya sambil mengecup lembut pipiku. “Yanti terhitung butuh gituan, telah lama.”
“Sama-sama.”
Penisku berkedut di dalam dirinya, dan dia menanyakan apakah saya keluar.
“Belum, jangan dulu.”
“Aku perlu tidur siang,” kata Yanti melamun. “Kurasa saya yang terlalu kebelet ingin nyampe!”
Aku bergerak keluar dari bawah dari badannya, dan melewatkan dia telungkup pada perutnya. Berpindah ke belakangnya, kuselipkan tanganku di bawah pinggang, dan mengakat pinggulnya.
“Jangan di pantat ya, om? Apalagi saya lagi hamil.”
“Oke.”
Aku bersama dengan lembut menggeser penisku di di dalam liangnya yang masih basah bersama dengan juice, dan terasa menyelinap masuk dan keluar dari dirinya. Dia masih 1/2 sadar, dan saya perlu memeluknya bersama dengan satu tangan. Aku terasa perlahan piston penisku masuk dan keluar dari terowongan berminyak nya, menikmati basah indah dari vagina panas nya. Aku ubah keluar hingga ujung nyaris keluar, dan sesudah itu ubah lagi sejauh yang saya bisa. Bola saya berayun bolak-balik bersama dengan gerak, dan menampar melawan sementara kupompa terus. Kuturunkan pinggulnya sedikit, dan ada perasaan yang prima – Aku tidak menyentuh apa pun kalau vagina licin bersama dengan penisku, dan rasanya hebat. Sedikit lebih dari ini, dan saya berkenan keluar lagi.
Aku berkonsentrasi pada rasa gesekan penisku yang meluncur bolak-balik di dalam vagina ketatnya, dan kurasakan madu berminyak terasa mengalir keluar dari celah sempitnya dan melalui bola saya. Dia jadi makin basah dan makin basah karena tetap kupompa celah beruapnya. Aku mobilisasi jari saya ke klitorisnya, dan masih tetap memegang pinggulnya. Aku terasa menyentuh tombol kecil yang membengkak, dan merasakan vagina itu menggenggam penisku sementara kubermain bersama dengan klitorisnya.
“Mmmmmm,” katanya, mendorong memeknya ke arahku. “Di mana barangku?”
“Di sini,” kataku, meraih ke daerah tidur. kuhidupkan lagi lambat- lambat, dan kutempatkan bartang itu di klitorisnya.
“Oh yeah,” lenguhnya. “Di sana!”
Aku tetap memompa penisku masuk dan keluar dari liang basah itu, sambil memijat klitorisnya yang bengkak dan keras bersama dengan vibrator. Perlahan-lahan, kita mendekati puncak. Aku sanggup merasakan vaginanya menggenggam pada penisku sementara saya membelainya, dan saya merasakan kedutan yang akrab di kantung bolaku ketika saya mendekati orgasme lagi.
“Oh yeah!” saya mendesah. “Aku berkenan keluar.”
“Entotin yang kenceng om!” lenguhnya. “Masukin di dalam!”
Aku mengatur tempo untuk sebagian genjotan terakhir, membenamkan satu tusukan di dalam ke vaginanya yang hot dan basah. “Enngghhh” dia menjerit, sementara celah sempitnya terasa berkontraksi dan memerah penisku.
Aku terasa orgasmeku sendiri mendekat, dan berteriak seperti banteng mengamuk, saya membenamkan penisku sedalam-dalamnya. Sebuah semprotan keluar bersama dengan keras dari kepala penisku, diikuti oleh semprotan yang lain. Rasanya itu begitu kencang, membuatku pusing, dan saya secara naluriah lengan kananku memegang kabinet daerah tidur sehingga tidak terguling ke atas dirinya. Ketika kuletakkan tanganku, saya lupa bahwa itu adalah tidak benar satu pendukung pinggulnya, dia ambruk seperti boneka kain. Penisku meluncur keluar dari vaginanya, dan aliran sperma tunas keluar dari ujung penis, muncrat di bibir vaginanya. Aliran benih yang berikutnya keluar mendecit dari ujung penis, dan mendarat di rambutnya. Sebagian lain mendarat di mulut naga berapi yang di gambar berupa tatoo di punggungnya. Penisku menyelip antara pipi pantatnya, dan semburan paling akhir isikan celah pantatnya bersama dengan krim putih sperma.
Aku jatuh berjongkok kembali, terlalu total puas. Yanti tergeletak di sana, kaki mengangkang lebar, sementara spermaku perlahan menetes ke bawah celah pantatnya, di atas vagina meleleh ke seprai. Tiba-tiba, terasa sangat, terlalu pengap di sini. Aku maju, dan terhubung tidak benar satu ventilasi. Udara dingin dan lembab mengalir di atas tubuh kami, dan saya duduk di samping Yanti.
“Haus?” Kutanya dia. “Aku miliki jus jeruk di lemari es.”
“Ya, dong om. Pasti enak deh.”
Aku terhubung lemari es, dan ambil dua botol kecil Orange Jus. Kubuka satu, dan menyerahkan satunya kepadanya. Dia duduk dan mengambil alih minuman, sambil saya terhubung milikku dan meminumnya. Dia mengambil alih satu lagi, dan tanpa berkata-kata menyerahkan botol itu padaku. Kuletakkan minuman di stand samping daerah tidur, kuminum lagi, dan berbaring di sampingnya.
Dia merapat di samping saya, dan saya terasa lengannya membelai dadaku.
“Om baik mirip Yanti,” katanya “Mudah-mudahan saya sanggup seperti ini tetap …” dia tergagap.
“Ronny.”
“Maafkan aku, saya terlalu pelupa bersama dengan nama. Yanti ingin sanggup sanggup orang yang baik ama akunya seperti Om Ronny.”
Dia menatapku bersama dengan mata kelam yang besar, dan saya melingkarkan lenganku di tubuhnya, dan menariknya mendekat tubuhku. Aku hanya ingin tetap mewmeluk tubuh cantik indah, menggairahkan, dan berambut warna gelap-coklat di sebelah saya. Hujan menetes bersama dengan ritme staccato di atap truk, lilin memberikan sinar lembut, berkedip-kedip cahayanya, dan saya terlalu suka bersama dengan suasana itu. Dia begitu muda, begitu cantik, begitu … Yang tetap di idamkan seorang pria pada kekasihnya. Aku mencium keningnya, dan ia merapat lebih dekat. Aku bertanya-tanya apakah mungkin saya perlu jujur padanya??, mungkin bilang yang sebenarnya, ya mungkin …
“Breep-BIP-BIP-BIP” “breep-BIP-BIP-BIP”
“Sial!” katanya sambil meraih tasnya. Dia menyaksikan caller ID, membalik telephone dan bilang “Apa?”
Satu suara laki-laki di ujung sana kedengaran, tapi saya masih tidak sanggup menduga apa yang dia katakan. “Aku tengah di dalam perjalanan, on de wei, saya nyampe di sana bentar lagee.” “Kenapa sih kau tidak pergi ke toko?”
“Apa maksudnya motor kagak …”
“… Tapi hujan!” “Oke, oke, saya pegi.”
“Aku gak ingin debat, saya pulang bentaran,” katanya, menutup telepon.
Sebuah kesedihan keluar di wajahnya yang cantik, dan nampak seperti bakal menangis.
“Pacar lagi?”
“Ya, dia …” suaranya makin lirih. “Dengar, anda sanggup minta tolong? Bisa gak om anter Yanti pulang? Aku tinggal deketan situ, gak jauh dari Mart. Ayo dong om? Aku terima kasiiih banget deh om.”
“Tentu. Jadi anda diperlakukan kayak sampah ama dia?” Aku bertanya.
“Dia mencintai Yanti om, dia hanya lagi susah saat ini kali om.”
“Benar! Dia perlakukan anda tidak baik karena dia cinta kamu! Pikir deh bagaimana dia perlakukan anda kalo dia gak peduliin kamu!”
“Om gak ngerti,” katanya. “Om gak ngerti aja.”
“Yaa, rasanya Om gak paham.”
Aku menuangkan air di kain lap, serahkan padanya, dan ia terasa menyeka mani kering dari tubuhnya. Aku menyeka cairan itu dari rambutnya.
“Aduh, kita buat kacau.”
Dia benar. Seprai nampak seperti habis pesta orgy. Bintik-bintik dan noda basah di seluruh seprai, dan pasti perlu dicuci. Kami mengenakan pakaian tanpa bilang apa-apa, dan dia menjatuhkan diri di kursi penumpang bersama dengan botol jus jeruknya.
“Siap?” saya bilang, sementara saya lepaskan rem angin dan masukkan gigi. Aku keluar dari perhentian truk, ke jalan besar, dan ke arah Mini Mart. Aku mengemudi perlahan, sebagian karena hujan, sebagian karena saya tidak ingin malam ini segera berakhir.
Kami berkendara diam-diam, hingga saya tak tahan lagi.
“Dengar,” kataku, “ini bukan urusanku, tapi …”
“Tapi, ini dia,” katanya sinis.
“Tapi … Jika orang ini gak buat anda hepi, kalau ia bukan yang anda berkenan di dalam hidup, anda berutang kepada diri sendiri, tinggalkan dia, dan temukan orang lain yang bakal buat anda bahagia. Dan itu bukan bermakna hanya om aja, ada seribu, sejuta orang yang bakal suka bikn suka bagi seorang yang begini muda, cantik, pandai dan seksi seperti kamu,” kataku. “Satu hal yang saya pelajari adalah bahwa hidup ini terlalu singkat untuk jadi gak bahagia, khususnya bersama dengan seseorang yang semestinya cintai ama kamu.”
Yanti tak bilang apa-apa, tapi dari langkah dia menatapku bersama dengan mata warna mahoni yang besar, saya sanggup mengerti bahwa kata-kataku menghentak sarafnya.
Kami jalan bersama dengan di dalam keheningan, hanya suara suara wiper. Sebagai isyarat keluar dari jalan besar di hujan gerimis yang suram, saya nyalakan lampu sein, dan meperlambat jalannya di jalan raya.
“Kiri atau kanan?” Kataku.
“Hah? Oh, kiri,” katanya. “Maafkan aku, Yanti lagi mikir.”
“Gapapa.”
Lampu berubah hijau, dan saya laksanakan di sebelah kiri.
“Lihat itu mini-mart di lampu depan?” Yanti bertanya. “Di sana di sebelah kiri? Om sanggup turunkan Yanti di sana, Yanti perlu dapatkan sebagian macam, sekedar deket dari situ ke rumahku.”
Aku sebabkan kiri di lampu, dan tarik truk ke tepi jalan.
“Dengar, I. .. Aku terlalu menikmati diriku sendiri malam ini, dan saya miliki sementara yang tepat. Aku sanggup terjalin kurang lebih dua kali se bulan atau lebih, dan saya bakal suka berjumpa denganmu lagi. Tidak ada yang serius, mungkin hanya berteman, dan saya ingin tetap ketemu kamu. Apakah itu oke? ” saya bertanya. “Apakah anda miliki no telephone yang sanggup saya hubungi di sementara saya berkenan balik?”
“enggak terhitung om,” katanya. “Ponsel itu adalah miliknya, dan ia memeriksa caller ID untuk menyaksikan siapa yang nelpon yanti. Ponsel saya, dan telephone rumah saya diputus.”
“Pokoknya sanggup saya terjalin bersama dengan kamu?” Aku bertanya. “Pacar, ibu, adik, seseorang yang saya sanggup tinggalin pesan?”
“Tidak,” katanya. “Aku perlu lagi bekerja di Seroja setelah bayi lahir, saya mungkin bakal berada di setopan truk sekali atau dua kali seminggu, dengarin aja saya di CB Jangan lupa -.. ‘Sheila’”.
“Baiklah, saya bakal melakukannya. Ingat saya -..”Anjing Laut ‘, Randy dari Surabaya saya bakal mengingatkan anda di malam hujan deras, dan kita muncrat bersama dengan keras, oke? ” Kataku.
“Oke,” katanya sambil terhubung pintu. “Om jaga diri baik-baik, dan nyetir bersama dengan aman. Yanti ingin ketemu lagi.”
“Daaah, yanti.”
Saat ia turun dari truk mata kita berjumpa sepanjang sepersekian detik, dan percikan perasaan menyala di antara kami. Sebelum saya sanggup bilang apa-apa, dia telah di tanah dan menutup pintu. Aku menyaksikan sementara dia melintasi jalan dan menuju ke mini-mart.
“datang lagi dong,” pikirku pada diri sendiri. “kembalilah dan beritahu saya itu bukan duwit semata, bahwa antara kita ada suatu hal yang nyata – Jika hanya sesaat. Katakan kita tidak hanya main ngewek, kita bercinta. Kembalilah dan …”
Dia berjalan ke toko tanpa menyaksikan ke belakang.
“Daaa, Yanti,” kataku 1/2 keras, ada setetes air mata turun di pipiku. “Aku bakal tetap mengingat Yanti.”
Aku tarik truk-ku bersama dengan gigi satu lagi menuju jalan besar. Tidak ada gunanya lagi ke perhentian truk, daerah ngedrop barang hanya sebagian kilometer jauhnya dan saya sanggup tidur di di dalam truk di sana. Senyum sedih menghias wajahku karena mikirin Yanti. Aku terasa dekat dengannya, dan mudah-mudahan itu tidak berakhir seperti ini. Aku ingin lebih, dan mudah-mudahan dia sanggup memberikannya padaku. Aku mengerti itu tidak bakal dulu terjadi, tapi Kuharap saya sanggup melihatnya lagi.
“Paling hanya setengahnya dari kepinginnya dia ketemu aku!”
Aku tertawa terbahak-bahak. Kamu lihat, di komputerku di rumah saya miliki scanner, dan printer laser warna. Sungguh mengagumkan program foto-imaging yang baik, dan sedikit kerja sanggup bikin. 100ribuan, pasti dia kecewa ketika dia manfaatkan untuk membeli. Aku berhenti di daerah ngedrop barang, dan penjaga terhubung pintu jaga sementara kuturunkan jendela kaca.
“gimana makan malamnya?” dia bertanya.
“Lumayan,” kataku. “Nasi sayur sambalnya lumayan, tapi penutupnya terlalu hebat!”
“Makanan penutup tetap yang paling enak!” katanya, sambil tersenyum dan melambai padaku melalui pintu gerbang.
Aku memarkir truk, melipat seprai yang bernoda peju, dan melemparnya di keranjang cucian. Aku menarik selimut keluar dari lemari, dan memasangnya. Hari yang cukup panjang, saatnya anjing tua ini untuk tidur. Aku menyaksikan “pesan masuk” di SMS, tauk telah berapa lama. “Jemput besok ditempat ngedrop,” kata sms itu. “Kirim ke Surabaya, Jumat sebelum akan tengah malam.” Hampir 600 km di dalam satu 1/2 hari – enteng.
“Surabaya,” pikirku, karena saya tertidur. “Aku ingin mengerti apakah ‘si paus biru’ masih bekerja pada Maersk Line?”
Aku perlu cek dulu…
################################
Enam bulan telah berlalu, hujan datang dan pergi, dan hawa terasa memanas lagi. Perusahaan berikan saya sebuah truk baru, rambut saya yang telah lama, dan saya telah tumbuh jenggot – tumbuhnya berwarna abu-abu, karena usia tua kurasa – tapi tidak banyak yang berubah. Aku masuk parkiran truk yang telah kukenal baik, dan mendapatkan daerah di barisan belakang. Cukup enteng memutar trailer ini ke di dalam slot parkir, kutarik rem, dan terasa isikan dokumen yang dibutuhkan sehari-hari. “Jam 10:34,” sementara kulirik jam digital. “Waktu untuk istirahat,” kupikir. Tiba-tiba, ada suara di radio CB, “Ada yang berkenan cari teman, ke saluran 31, Sheila di tiga-satu ganti.” Gak mungkin, ah! Setelah sekian lama …
Aku masuk saluran 31, dan mendengar suara wanita berkata, “ada yang ngontak, ganti?”
“Ya,” saya ambil mikrofon, “Aku di sini.”
“Siapa ini?” suara bertanya.
“John,” jawabku. “Siapa ini?”
“Mereka panggil saya Sheila,” balas suara itu. “Apa anda berkenan cari temen?”
“Tampilan anda gimana?” Aku bertanya.
“Rambut coklat, toket besar, bibir manis, dan pinggul bulet. Tertarik?”
“Ya,” kataku. “Sangat!”
“Di mana kamu?” suara bertanya.
“Barisan belakang, bak putih, diujung.”
“Lampu kedipin.” saya kedipkan lampu depan, ada suara, “oke, saya menyaksikan kamu. Buka pintu penumpang, saya bakal datang.”
Aku lakukan, bersama dengan cemas menunggu. Satu sosok gelap bergerak cepat keluar entah dari mana di sisi kanan, terhubung pintu penumpang dan memanjat masuk.
“Ya ampun!” Seruku pada diri sendiri. “Itu si dia!”
“Sial!” katanya. “Patroli!”
Aku menyaksikan ke kiri, dan sebuah mobil patroli polisi perlahan memeriksa barisan truk, menyenteri tanah dan truk-2 yang diparkir.
“Nunduk ke bawah, dan sembunyi di kabin,” kataku. “Cepat!”
Dia melakukannya, sementara itu mobil polisi berhenti di depan truk. Petugas keluar, menyenter di kurang lebih truk di ke dua sisi, dan berjalan ke arahku.
“Malam, Pak,” kataku, sementara saya turunkan kaca jendela. “Ada apa?”
“Kami sanggup laporan ada pelacur beroperasi di daerah ini, dan kita coba mendapatkan dia. Bapak menyaksikan gak?”
“Tidak Pak tidak, saya barusan nyampe di sini. Tadinya saya berkenan ngisi kolom laporan sebelum akan tidur. Gitu pak, laporan antaran” kataku, tersenyum padanya.
“Ya, ngerti.” jawabnya. “Selalu banyak formulir yang perlu diisi.”
“Ya, pak, tetap ada sebagian dokumen yang perlu diisi.” “Yah,” kataku, menguap degan sengaja, “Ya udahlah, cukup hari ini. Perjalanan cukup dari Polsek.”
“Malem pak,” katanya. “Hati-hati.”
“Bapak juga, Selamat malam!”
Aku berdiri dan menarik tirai kaca depan hingga tertutup, halangi pandangan ke di dalam truk. Kuletakkan atlas menutupi jendela pintu kanan bawah, dan saat ini tidak ada yang sanggup menyaksikan ke dalam.
“Hampir aja!” katanya. “Sayanya gak jadi lagi ke penjara.”
Aku duduk lagi di kursi pengemudi dan berhadapan dengannya. Secercah kilauan mata seperti kenal denganku di matanya, dan dia bilang “Aku mengerti Om di satu daerah …”
“Ya, betul anda kenal.” Jawabku. “Hujan deras, dan kita muncrat keras.”
Matanya melebar sementara ia mengenalku, dan suaranya gemetar karena marah,
“Kau bajingan! Kamu manusia rendah bangsaaat! Anjing luh, Elu sialan taik anjing, babi, setaann!”
Yanti berdiri di ke dua kakinya sekarang, mengayun tangan ke arahku bersama dengan sekuat tenaga. Sebuah pukulan ke kepala, ke dada, tendangan ke tulang kering. “Plak, pak, plak, pak” pukulan cepat dia hajarkan ketubuhku. Aku mencoba untuk menangkis serangannya, tapi pukulannya tetap datang.
“Bajingan!” ia berteriak. “Anjiiing! Gue benci elo! KONTOLLLL!” Splakkk, tabokannya mendera bahuku.
“bajingan NGENTOTTT!” Splaak. “Ngeenntoott!” Jantungku berdebar keras.
“Gue benciiii!”
Aku mendorongnya lagi ke daerah tidur, dan duduk diatas tubuhnya. Dia mencoba untuk melemparkanku, tapi saya lebih besar daripada dia nyaris tigapuluh kilo lebih, jadi saya tidak bergeming. Dia tetap bergayut padaku, hingga kupegang pergelangan tangannya. Dia mencoba menggigit tangan saya, tapi saya tarik lengan ke bawah di samping tubuhnya.
Dia mencoba untuk menanduk saya, tapi karena dia tidak sanggup duduk sejauh itu, ia coba meludahi wajahku.
“Bangsat!” “KAMU makan tai, saya berkenan bunuh elo!” ia berteriak.
Kujepit lengan kirinya di bawah kaki kananku, dan taruh tangan kananku menjepit mulutnya. “shhhhhhh …” kataku. “kita berdua masuk penjara kalau anda tetap berteriak.”
Menggeram seperti anjing gila, ia menggigit anggota berdaging di telapak tanganku sekeras yang dia bisa, matanya terbakar bersama dengan kebencian. Jika saya tidak laksanakan suatu hal bersama dengan cepat, dia bakal menggigit tanganku!
Aku menarik tanganku dari mulutnya dan bersama dengan cepat menyaksikan kalau terluka. Tidak ada darah, tapi ada sebagian isyarat bekas gigitan yang dalam. Kupencet mulutnya di kiri kanan pipinya hingga tak sanggup menggigit.
“Yhu hiki aka’ang,” ia menggeram. “Angging ho!” Mungkin dia bilang “Lu pikir apaan, anjing loe”, tapi mulutnya masih kupencet.
“Hanya kalau anda janji berhenti teriak,” kataku. “Kita berdua bakal masuk penjara kalau anda tetap teriak. Ga bakal gua sakiti, gua hanya ingin omong. Oke?”
“Huuuhh,” dia mendengus.
Aku melewatkan pegangan Catok-klemku di wajahnya, perlahan-lahan mobilisasi tubuhnya dan duduk di tepi kursi penumpang, sambil menunggu pukulan yang berikutnya. Dia perlahan-lahan duduk tegak di tepi daerah tidur, mata hitamnya bercahaya seperti bara.
“Halo, Yanti,” kataku. “Bagaimana kabarmu?”
“Sialan kau! Kabarku kaya taik, brengsek!”
“Aku mengerti anda marah padaku, dan saya ga nyalahin kamu.”
“Marah? Ha, lu pikir apa?”
“Aku menyaksikan anda gak hamil lagi, bagaimana bayinya? Aku bertanya.
Splak! Sebuah hook kiri menghajar di sisi kanan wajahku.
“Dasar bajingan!” ia menjerit, karena saya mendorong punggungnya. “KAMU BUNUH dianya!”
“Apa maksudmu?” Kataku. “Jangan omong kosong luh.”
“Kamu bunuh bayi aku, bajingan biang anjing, dan saya perlu bunuh kamu!”
“Omong kosong! Keluar dari sini, gua engga bunuh bayimu.”
“Ya anda yang bunuh dia,” katanya, tiba-tiba dia diam.
“Bagaimana saya bunuh bayi kamu?” Aku bertanya.
“Ingat malam anda turunkan saya di mini market?” desisnya. “Aku pergi belanja dua belas-kaleng bir dan sebagian pak rokok buat Toni sebelum akan pulang.”
“Toni?”
“Ayah bayi itu, orang yang tinggal bareng sayanyaa,” katanya, tenang lagi. “Yanti ambil bir kaleng dan rokok, dan siap bayar. Yang Yanti dapet duwit palsu dari kamu, tapi Yanti gak mengerti itu palsu dan Yanti berikan ke kasir. Dia ngambil bolpen, anda mengerti , mereka manfaatkan itu buat periksa duwit palsu, dan ketahuan. Dia bilang itu palsu, dan Yanti beri cepekan lainnya. Dia chek dan bilang padaku itu terhitung palsu. Kemudian Yanti mengerti apa yang telah elu laksanakan ama Yanti, dan Yanti tinggalkan toko. ”
“Jadi bagaimana saya membunuh bayimu?”
“Diam, nanti terhitung tahu,” katanya. “Yanti pulang ke rumah dan Toni nanya di mana bir nya. Kukatakan padanya bahwa ada yang beri Yanti duwit palsu, dan Yanti tertangkap karena coba untuk belanja di mini-mart. Dia bilang Yanti pembohong. Yanti bicara ‘ Yanti tidak berbohong ‘, dan dia bilang kalau Yanti tidak berbohong, maka Yanti adalah perek terbodoh di dunia ini. Ia melemparkan gocapan ke Yanti dan bilang kepada Yanti untuk beliin bir dan rokok. Yanti bilang padanya untuk pergi aja sendiri – sementara itu hujan dan Yanti berkenan tidur. Dia menampar Yanti, dan Yanti bilang kepadanya sehingga keluar aja dari kos-kosan Yanti “!
“Ya, dan sesudah itu …?”
“Kami berantem berat. Dia berteriak dan berteriak pada Yanti, dan Yanti terhitung teriak-teriak. Dia buat Yanti marah banget, maka Yanti lemparin video game dia, gak kena di kepalanya. Dia kejar saya, dan Yanti lari keluar dari pintu depan. Ketika Yanti berkenan turun tangga, Yanti kepeleset karena hujan, dan jatuh ke tanah dari ketinggian 2 meter. ”
“Dan …?”
“Polisi baru aja muncul. Ada yang nelpon mereka, kukira karena kita buat bising. Mereka menyaksikan Yanti jatuh, dan Toni mengejarku menurunin tangga. Yanti gak mengerti ada pendarahan, sehingga mereka panggil Ambulan, nganterin Yanti ke rumah sakit. Yanti mengalami keguguran malam itu juga… ” sementara dia terasa tersedu.
“masyaallaah, maafin Om …”
“Polisi nangkep Toni, karena tidak cuman buat bising mereka temukan putau, ganja, ama senjata curian miliki Toni. Dia kena delapan tahun untuk itu. ”
“Jadi … Trus gimana?”
“Waktu Yanti di rumah sakit, dua orang datang menemui saya. Mereka nangkep Yanti karena narkoba dan senjata, dan terhitung duwit palsu. Tampaknya mini-market yang telah laporin bahwa ada yang pake duwit palsu, dan mereka foto Yanti rekam di video yang mereka miliki. Setelah Yanti keluar dari rumah sakit, Yanti dimasukin penjara Wanita. Karena Yanti gak miliki uang, Yanti gak sanggup dilepasin hari itu juga. Polisinya mintanya lima puluh juta. Yanti di penjara hingga sore tadi. ”
“Bagaimana kau sanggup keluar?” Aku bertanya.
“Para pembela bilang ke hakim dan ceritain kisah Yanti. Para jaksa sepakat untuk batalin tuntutan narkoba dan senjata, karena sidik jari Yanti tidak ada di senjata, dan karena Yanti lulus tes kencing, mereka mengerti Yanti tidak ngobat. Hakim bilang Yanti mungkin tidak nyadar bahwa duwit itu palsu, tapi mengingat bagaimana Yanti dapetin itu duit, ia menghukum Yanti sampe sore tasi dilepasin. ”
“Kau baru saja keluar dari penjara hari ini? Aku bertanya.
“Ya, belum sampe empat jam yang lalu,” Yanti menjawab. “Itulah sebabnya Yanti begitu gelisah sementara Yanti menyaksikan polisi, Yanti ga ingin balik ke penjara. Penjaranya di sana deket,” katanya, sambil menunjuk. “Jadi Yanti datang ke sini untuk cari duwit cepat sebelum akan Yanti pulang.”
“Jadi bagaimana saya membunuh bayimu?” Kataku. “Aku tidak buat anda jatuh menuruni tangga.”
“Tidak, tidak,” jawabnya. “Tapi Om yang terasa semuanya.”
“Bagaimana?”
“yang Om lakuin itulah sebabnya, dasar brengsek! Kalo Om gak kasih itu duwit palsu, Yanti sanggup beliin bir buat Toni sementara pulang, dan kita ga bakal berkelahi, dan Yanti ga bakal lari keluar dari pintu kos di tingkat 2 dan jatuh, dan bayinya mati, “katanya emosi, air matanya meleleh dipipinya. “Ini tidak benar Om!” dia meratap. “Ini seluruh tidak benar Om!”
Diam-diam kuserahkan kain lap bersih dan duduk kembali. Apa yang telah kulakukan terlalu memukulku, rasanya seperti peluru menembus ke jantung. “Dia benar,” kupikir, “Ini seluruh salahku.”
Aku meraih dan meraih tas kecil buat menyimpan kertas-2, kukeluarkan dari daerah rahasia. Aku membukanya, dan menyerahkan isinya.
“Taik!” dia terisak-isak. “Aku ga ingin duwit palsu sialan dari Om!” sambil melempar lembaran-2 itu ke arahku.
“Ini bukan palsu,” kataku, sementara saya mengambili lembaran-2 itu. “Aku ga bakal laksanakan itu lagi. Aku mungkin brengsek, tapi saya bukan penjahat bajingan.”
“Ambillah,” kuserahkan sebagian gepok. “Nih…. ini …”
Dia menatapku bersama dengan mata gelap yang besar, tidak bilang apa-apa, rasanya meremas-remas hatiku.
“Ini duwit beneran,” kataku. “Kita bakal masuk toko, dan anda sanggup manfaatkan pena mereka untuk ngecek kalau anda tidak percaya padaku. Aku bakal pergi ke sana bersama dengan kamu. Jika palsu, telephone polisi laporin saya, saya bakal tetap ada di sini. “.