Setubuhi Gadis Yang Masih Polos dan Lugu

Setubuhi Gadis Yang Masih Polos dan Lugu

Setubuhi
Setubuhi Gadis Yang Masih Polos dan Lugu

kenangan.xyz – Aku ingat Dhea waktu dia tetap kecil, Dia anak temanku yang paling kecil, Dhea terlalu sebabkan hatiku tidak karuan, bersama dengan rambut sebahu, hitam legam ikal. Umurnya kira-kira 15 atau 16 tahun sekarang, dan wajahnya yang baby face membuatnya layaknya tak berdosa. Ketika memandang Dhea untuk yang kesekian kalinya, aku bersumpah kecuali aku perlu berhasil tidur bersamanya sebelum akan aku pergi dari kota ini. Dan aku sudah menggerakkan rencanaku. Aku main ke tempat tinggal Dhea bekali-kali, sepanjang siang dan malam sampai aku telepon untuk jelas kapan Dhea tersedia sendirian dan kapan orang tuanya ada. Dan terhadap waktu malam aku memutuskan untuk masuk ke tempat tinggal Dhea aku sudah menegaskan bahwa orang tua Dhea sudah tidur dan Dhea tersedia di kamar tidurnya. Rencanaku akan kuperkosa Dhea waktu orang tuanya tidur di kamar mereka.

Tubuhku kaku dikarenakan tegang, waktu aku membuka jendela belakang rumahnya mengfungsikan linggis. Suara jendela yang terdongkel terdengar layaknya letusan membuatku perlu diam tidak bergerak sepanjang 1/2 jam menanti apakah tersedia penghuni tempat tinggal yang terbangun. Untung saja seluruhnya tetap dalam kondisi sunyi senyap, dan aku memutuskan untuk masuk. Tubuhku sekarang gemetar. Setiap langkahku layaknya sebabkan semua tempat tinggal berderit dan aku siap meloncat melarikan diri. Tapi waktu aku sampai di depan kamar tidur Dhea tempat tinggal itu tetap gelap dan sunyi senyap. Aku membuka pintu dan masuk sambil menutupnya kembali. Aku layaknya dapat mendengar jantungku yang berdetak keras sekali. Aku belum pernah setakut ini seumur hidupku. Tapi anggota yang paling ada problem sudah berhasil aku lampaui. Kamar tidur orang tua Dhea tersedia di lantai dasar. Aku berdiri di samping ranjang Dhea memilih langkah selanjutnya. Perlahan penisku terasa menegang sampai pada akhirnya besar dan tegang sampai ngilu. Mata Dhea terbuka menatapku tidak dapat bernafas. Aku tersedia di sebelah ranjangnya mencekik lehernya, waktu tangan kiriku mengcungkan belati di depan wajahnya.

“Diem. Jangan bergerak, jangan bersuara, atau lo mati.” aku dengar suara suaraku yang lain sekali dari biasa. Kedengarannya bengis dan kejam.
Dhea tetap nampak cantik. Umurnya lima belas tahun. Dia terbatuk-batuk.
“Kalau aku lepasin tanganku, lo berguling tengkurap dan jangan berisik atau aku potong leher lo.” Aku pasti tidak punya niat akan membunuh dia, tetapi paling tidak itu berhasil membuat Dhea ketakutan. Dhea langsung menurut dan langsung kuikat tubuhnya, menutup mulutnya bersama dengan plester, dan mengikat pergelangan tangannya di belakang.

Selimut yang menutupi tubuh Dhea sekarang sudah tersedia di lantai, dan aku dapat memandang jelas gadis yang kembali tengkurap di depanku. Tubuh Dhea langsing dan mungil, dan busana tidur yang dipakainya terangkat ke tas membuatku dapat memandang kakinya yang putih dan mulus. Ereksiku sudah maksimal dan aku sudah tidak tahan sakitnya, celanaku menyembul didorong oleh penisku yang besar, dan bersentuhan bersama dengan pantat Dhea yang mungil. Aku menindih Dhea dan bergoyang-goyang sebabkan penisku bergesekan bersama dengan pantat Dhea dan bersama dengan tanganku yang bebas kuraba anggota dada Dhea yang tetap ditutup oleh dasternya. Buah dada Dhea tetap kecil, yang membuatku semakin birahi. Mulutku bersentuhan bersama dengan telinga Dhea.
“Lo terlalu sempurna. Tetap diam dan aku akan pergi sebentar segera.”

Mata Dhea terpejam seakan-akan sudah tertidur kembali. Aku lepaskan celana trainingku dan celana dalamku sampai ke kakiku tetapi belum aku melepaskannya dari badanku, sambil menatap anggota belakang tubuh Dhea yang indah. Kakinya yang telanjang sebabkan nafasku berat, dan dasternya tidak dapat kembali menutupi pantatnya yang ditutupi celana dalam putih. Dan tangannya yang terikat erat terlalu sebabkan Dhea prima buatku. Aku membuka kaki Dhea tanpa perlawanan yang berarti, dan membenamkan wajahku, yang sebabkan Dhea mengeluarkan erangan untuk pertama kalinya. Aku benamkan wajahku ke selangkangan Dhea, nikmati wangi tubuh Dhea, yang konsisten mengerang ketakutan. Selanjutnya aku raba-raba vaginanya yang tertutup celana dalam dari belakang, meraba, dan pada akhirnya menusuk-nusuk bersama dengan jariku. Ini sebabkan erangan Dhea semakin keras supaya aku perlu mengancamnya kembali bersama dengan belatiku. Kemudian kulihat dia gemetar dan kelihatannya terasa menangis. Celana dalamnya lembab, dan aku menjadi berpikir bisa saja Dhea terasa terangsang oleh jariku.
“Lo puas Dhea? Hei, lao puas tidak?” Dhea hanya menangis. Aku konsisten meraba vaginanya, sampai aku tidak tahan lagi, dan langsung kutarik celana dalam Dhea sampai lepas.

Aku semakin mencium bau tubuh Dhea. Dan aku terasa gila. Aku balik kembali badannya, dikarenakan aku jelas aku lebih gampang ngerjain Dhea melalui depan. Dhea berbaring tidak nyaman, berbaring telentang bersama dengan tangan terikat ke belakang, dan telanjang terasa pinggang ke bawah, rambut kemaluannya yang tetap tipis nampak jelas. Ia menatap mataku, air mata sebabkan pipi Dhea berkilat tertimpa sinar lampu kamarnya. Aku tidak begitu puas memandang tatap mata Dhea, aku menjadi berpikir untuk membuat dia tengkurap kembali begitu penisku sudah masuk ke vaginanya. Aku menempatkan tubuhku, aku perlu memnyuruhnya lebih dari satu kali untuk mengakses kakinya lebih lebar, layaknya dokter gigi, “Ayo lebih lebar sayang, lho kok segitu, lebih lebar lagi, bagus anak manis..”, Aku inginkan jelas dia tetap perawan atau tidak. Dhea tidak meronta-ronta, soalnya aku tetap pegang belatiku, tetapi konsisten menangis tersedu-sedu, dan mengerang-erang, berupaya bicara sesuatu.
“Lo tetap perawan tidak Dhea? Masih? Masih apa tidak.”

Dhea konsisten menangis. Aku angkat dasternya ke atas lagi. Di depan Dhea agak rata, buah dadanya hanya sekepal bersama dengan puting susu yang mengeras. Aku pikir itu dikarenakan hawa dingin, tetapi bisa saja terhitung anggota dari tubuh Dhea yang emang terangsang.
“Bukan gitu sayang, lo musti membuka lebih lebar lagi..”

Aku tekan penisku di belahan vaginanya yang tetap mungil. Terasa basah. Kutarik kembali penisku dan kumasukkan jariku, dan merasakan jepitan vagina Dhea yang hangat yang sebabkan penisku inginkan merasakannya juga. Aku gerakkan penisku maju mundur lebih dari satu kali dan mengarahkan penisku lagi, tegang layaknya tongkat kayu.
“Buka kembali manis. Lo terlalu cantik. Aku hanya berkenan perkosa kamu konsisten pergi.”

Aku perlu mendorong, bergoyang, berputar, dan pada akhirnya mengangkat ke dua kaki Dhea ke atas sebelum akan aku berhasil mendorong kepala penisku masuk ke vagina Dhea. Aku memandang kembali buah dada Dhea bersama dengan putingnya yang mencuat ke atas, mata yang memohon dan meratap bersama dengan air mata dan aku dorong penisku masuk ke vagina mungil milik gadis berumur lima belas tahun itu bersama dengan semua tenagaku. Dhea menjerit, diredam oleh plester, membuatku semakin semangat. Vaginanya sempit sekali layaknya menggenggam penisku. Dia ternyata tidak basah mirip sekali. Aku perkosa dia bersama dengan kasar, seakan-akan aku inginkan membuatnya mati bersama dengan penisku, berupaya sebabkan Dhea menjerit dan juga aku menghentak masuk. Dhea semakin histeris sekarang.

Keadaanku sudah 100 prosen dikuasai birahi, dan sekarang aku memusatkan perhatian untuk menyakiti Dhea, dan aku tidak miliki kembali rasa kasihan membuat Dhea. Aku konsisten menghentak-hentak di atas tubuh Dhea, bersama dengan kecepatan yang brutal, dan tubuhnya yang mungil terbanting-banting dikarenakan gerakanku. Aku terasa aku layaknya merobek vagina Dhea bersama dengan penisku, dan membuatku semakin terangsang, mendorongku bergerak semakin brutal. Di sela-sela gerakanku, aku jatuhkan belatiku dan kulepaskan celanaku yang sebabkan tanganku bebas mengfungsikan tubuh Dhea. Aku kesetanan merasakan tubuh Dhea, aku meremas setiap anggota tubuh Dhea, meremas buah dadanya, menjepit puting susunya, dan mengfungsikan bahunya yang kecil membuat menopang tubuhku.

Aku nyaris tidak ingat apa aja yang aku melakukan mirip Dhea. Dhea lebih dari satu kali meronta terhadap awalnya, berupaya membebaskan tangannya, berupaya berguling, berupaya mengeluarkan penisku dari vaginanya. Wajah Dhea memancarkan rasa panik dan takut, dan aku konsisten memperkosanya sekuat tenagaku, seakan-akan itu masalah hidup dan matiku. Seaat sebelum akan aku mengalami orgasme aku menarik penisku nampak dan Dhea langsung berupaya untuk berguling. Aku jambak rambutnya dan menariknya.
“Brengsek, tidur ke lantai.”

Aku tarik kepalanya sampai menempel ke lantai. Sementara dia jatuh berlutut, tetapi Dhea mirip sekali tidak dapat mengangkat wajahnya bersama dengan tangan tetap terikat ke belakang. Kepala Dhea terbenam ke lantai. Dhea tetap menangis dan gemetar. Aku masukkan kembali penisku ke vagina Dhea tanpa kesulitan, dikarenakan penisku sudah seluruhnya dilumuri darah perawan Dhea. Aku masukkan dari belakang sebelum akan Dhea sempat meronta, aku pegangin pinggulnya waktu aku konsisten mendorong sekuat tenaga. Dengan pantat tetap nungging ke atas aku tekan punggung Dhea bersama dengan tanganku supaya kepala dan dada Dhea semakin terhimpit ke lantai, dan aku konsisten memperkosa dia bersama dengan jenis layaknya anjing. Dan Dhea sendiri sekarang mendengking-dengking layaknya anak anjing yang ketakutan. Sekarang kutarik kembali rambutnya, sebabkan kepala Dhea terangkat.

Dhea terlalu cantik dan tak berdaya, tangannya terikat di punggung. Aku konsisten menyetubuhinya bersama dengan keras dan tidak berirama, kadang brutal berhenti sedetik dan terasa kembali bersama dengan keras, dan bergatin menekan punggungnya ke lantai lantas menarik rambutnya sampai ia mendongak lagi, sampai aku merasakan gejala ejkulasi lagi. Aku inginkan sekali membebaskan plesternya dan memasukan penisku ke mulutnya yang mungil, tetapi untungkan saja aku tetap jelas kecuali itu dapat membuat aku ketahuan, menjadi aku tetap metahan penisku di liang kenikmatan Dhea sedalam-dalamnya dan membebaskan ejakulasiku. Aku pegangin belahan pantat Dhea dekat bersama dengan selangkanganku waktu aku menyemburkan spermaku ke rahim Dhea yang menerimanya bersama dengan tatapan mata panik.
“Oh Dhea, sayangku, oh, oh..”

Penisku bekerja keras memompa, berdenyut, menyemburkan sperma ke tubuh Dhea, dan aku belum pernah mengeluarkan sperma sebanyak ini sepanjang hidupku. Dhea tetap diam tidak bergerak, terengah-engah. Nafasku terhitung terputus-putus, dan bergidik sedikit saat aku mengejang kembali dan menyemprotkan sisa spermaku ke rahim Dhea. Aku menghentak dia lebih dari satu kali lagi, sekarang bersama dengan penuh perasaan layaknya sepasang kekasih. Dhea jelas bahwa aku sudah selesai, dan terima gerakanku yang terakhir ini tetap tak bergerak, bersama dengan kepala terbenam ke dalam karpet kamarnya yang tebal.

Aku tarik penisku keluar. Dan aku langsung terasa kuatir lagi. Aku langsung mengenakan pakaianku, dan secara ajaib tetap ingat untuk menyita belatiku dan membayangkan suatu hal untuk aku ucapkan terhadap Dhea.
“.. Makasih sayang”, aku berbisik lirih, dan langsung melarikan diri.

Dan kendati aku sempat kuatir saat aku sudah dalam perjalanan ke luar kota, lebih dari satu waktu kemudian aku kembali dipenuhi keinginan baru. Aku berpikir untuk kembali dan menculik Dhea dan juga mengajak lebih dari satu orang temanku untuk mencicipinya.

CeritaDewasa