Terbakar Api Birahi Berujung Persetubuhan

Terbakar Api Birahi Berujung Persetubuhan

Terbakar Api Birahi Berujung Persetubuhan
Terbakar Api Birahi Berujung Persetubuhan

kenangan.xyz – Cuaca ibu kota membuatku panas dikala menaiki angkutan umum bentar lagi sampai di kantor, dan saya berdiri di pintu untuk mendapat angin masuk kedalam angkot, pekerjaan di kantor aku Mengerjakan di rumah supaya cepat selesai dan tidak menumpuk, sambil ngalamun saya di bentak ama seseorang untuk menutup jendela yang ada disampingku,

“Dik.., jangan dibuka lebar. aku bisa masuk angin.” kata seorang wanita 1/2 baya di depanku pelan.

Aku tersentak. masih melongo.

“Itu jendelanya dirapetin dikit..,” katanya lagi.

“Ini..?” kataku.

“Ya itu.”

Ya ampun, saya membayangkan nada itu berbisik di telingaku di atas ranjang yang putih. Keringatnya meleleh layaknya yang kulihat saat ini Napasnya tersengal. layaknya kulihat kala ia baru naik tadi, sesudah mengejar angkot ini sekadar untuk bakal secuil sarana duduk.

“Terima kasih,” ujarnya ringan.

Aku sebenarnya ingin hadir sesuatu yang dapat diomongkan kembali agar tidak memerlukan curi-curi pandang melirik lehernya, dadanya yang terbuka lumayan lebar sehingga nampak garis bukitnya.

“Saya juga tidak suka angin kencang-kencang. tetapi saya gerah.” meloncat begitu saja kalimat itu.

Aku belum pernah berani bicara begini, di angkot bersama seorang wanita, separuh baya ulang andaikan kini saya berani pasti karena dadanya terbuka, tentu karena peluhnya yang membasahi leher, pasti gara-gara saya terlampau terbuai lamunan. Ia tambah melengos. Sial. selanjutnya asyik buka tabloid. Sial. saya tidak dapat kembali memandanginya.

Kantorku sudah terlewat. saya tetap di atas angkot. Perempuan paruh baya itu pun tetap duduk di depanku. tetap menutupi diri dengan tabloid. Tidak lama wanita itu mengetuk langit-langit mobil. Sopir menepikan kendaraan persis di depan sebuah salon.

Aku perhatikan ia sejak bangkit sampai turun. Mobil bergerak pelan, aku tetap menonton ke arahnya, untuk mengambil keputusan ke mana arah wanita yang berkeringat di lehernya itu. Ia tersenyum. Menantang bersama mata genit sambil mendekati pintu salon.

Ia kerja di sana? Atau mau gunting? Creambath? Atau apalah? Matanya dikerlingkan, seiring masuknya mobil lain di belakang angkot. Sial. Dadaku tiba-tiba berdegup-degup.

“Bang, Bang kiri Bang..!”

Semua penumpang menoleh ke arahku. Apakah suaraku mengganggu ketenangan mereka?

“Pelan-pelan suaranya kan bisa Dek,” sang supir menggerutu sambil perlihatkan kembalian.

Aku membalik arah lantas berjalan cepat, penuh semangat Satu dua, satu dua. Yes.., pada akhirnya tetapi tiba-tiba keberanianku hilang. Apa katanya nanti? Apa yang saya perlu bilang, lho tadi kedip-kedipin mata, maksudnya apa? Mendadak jari tanganku dingin semua.

Wajahku merah padam. Lho, salon kan tempat lazim seluruh orang bebas masuk asal milik duit Bodoh sangat Come on lets go! Langkahku dorongan kembali Pintu salon kubuka.

“Selamat siang Mas,” kata seorang penjaga salon, “Potong, creambath, facial atau massage (pijit)..?”

“Massage, boleh.” ujarku sekenanya.

Aku dibimbing ke sebuah ruangan. datang sekat-sekat, tidak tertutup seluruhnya tetapi sejak tadi aku tidak melihat wanita yang lehernya berkeringat yang tadi mengerlingkan mata ke arahku.

Ke mana ia? Atau jangan-jangan ia tidak masuk ke salon ini, cuman pura-pura masuk. Ah. Shit! saya tertipu. tapi tidak apa-apa toh tipuan ini membimbingku ke ‘alam’ lain.

Dulu aku paling anti masuk salon. andaikan potong rambut ya masuk ke tukang pangkas di pasar. Ah.., wanita yang lehernya berkeringat itu begitu besar merubah keberanianku.

“Buka bajunya, celananya juga,” ujar wanita tadi manja menggoda, “Nih pake celana ini..!”

Aku disodorkan celana pantai tetapi lebih pendek ulang Bahannya tipis tetapi baunya harum. Garis setrikaannya tetap kelihatan saya menurut saja. membuka celanaku dan bajuku lantas gantung di kapstok. hadir dipan kecil panjangnya dua mtr. lebarnya semata-mata muat tubuhku dan lebih sedikit.

Wanita muda itu sudah muncul sejak melempar celana pijit. aku tiduran sambil baca majalah yang tergeletak di rak samping tempat tidur kecil itu. Sekenanya saja kubuka halaman majalah.

“Tunggu ya..!” ujar wanita tadi berasal dari jauh, selanjutnya pergi ke balik ruangan ke meja depan dikala ia terima kedatanganku.

“Mbak Hawin.., telah hadir pasien tuh,” ujarnya berasal dari area sebelah. saya mengerti mendengarnya berasal dari sini.

Kembali ruangan sepi. cuman suara kebetan majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun berasal dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.

Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. makin lama lama makin menyadari Dadaku terasa berdegup kembali Wajahku jadi panas. Jari tangan mulai dingin. aku tambah membenamkan muka di atas postingan majalah.

“Halo..!” nada itu mengagetkanku. Hah..? suara itu kembali nada yang kukenal, itu kan nada yang berharap saya menutup kaca angkot. Dadaku berguncang. Haruskah kujawab sapaan itu?

Oh.., saya sekedar akan menunduk, saksikan kakinya yang bergerak ke sana ke mari di ruangan sempit itu. Betisnya mulus ditumbuhi bulu-bulu halus. saya masih ingat sepatunya tadi di angkot. Hitam. aku tidak ingat motifnya, hanyalah ingat warnanya.

“Mau dipijat atau ingin baca,” ujarnya ramah mencuri majalah berasal dari hadapanku, “Ayo tengkurep..!”

Tangannya mulai mengoleskan cream ke atas punggungku. aku tersetrum. Tangannya halus. Dingin. aku kegelian nikmati tangannya yang menari di atas kulit punggung. selanjutnya pijitan turun ke bawah. Ia menurunkan sedikit tali kolor sehingga pinggulku tersentuh.

Ia menekan-nekan agak kuat. saya meringis menghambat sensasasi yang waow..! Kini ia ubah ke paha, agak berani ia masuk sedikit ke selangkangan. aku meringis merasai sentuhan kulit jarinya. namun belum begitu lama ia tukar ke betis.

“Balik badannya..!” pintanya.

Aku membalikkan badanku. lantas ia mengolesi dadaku bersama dengan cream. Pijitan turun ke perut. saya tidak berani menatap wajahnya. saya menyaksikan ke arah lain mengindari adu tatap. Ia tidak bercerita apa-apa. aku pun segan memulai cerita.

Dipijat layaknya ini lebih nikmat diam meresapi remasan, sentuhan kulitnya. Bagiku itu telah jauh lebih nikmat daripada bercerita. berasal dari perut turun ke paha. Ah.., selangkanganku disentuh kembali diremas, lalu ia menjamah betisku, dan selesai.

Ia berlalu ke ruangan sebelah sehabis membereskan cream. aku sebatas ditinggali handuk kecil hangat. Kuusap sisa cream. Dan kubuka celana pantai. Astaga. hadir cairan putih di celana dalamku.

Di kantor, aku masih terbayang-bayang wanita yang di lehernya datang keringat. tetap terasa tangannya di punggung, dada, perut, paha. aku tidak tahan. Esoknya, dari rumah kuitung-itung selagi sehingga perihal kemarin terulang.

Jam berapa saya berangkat. Jam berapa perlu hingga di Ciledug, jam berapa perlu naik angkot yang penuh gelora itu. Ah sial. saya terlambat setengah jam.

Padahal, muka wanita setengah baya yang di lehernya ada keringat telah terbayang. Ini dikarenakan ibuku menyuruh pergi ke tempat tinggal Tante Wanti. Bayar arisan. Tidak apalah hari ini tidak ketemu. Toh masih datang hari esok.

Aku bergegas naik angkot yang melintas. Toh, si setengah baya itu pasti sudah lebih pernah tiba di salonnya. aku duduk di belakang, sarana favorit. Jendela kubuka. Mobil melaju. Angin menerobos kencang hingga seseorang yang membaca tabloid menutupi wajahnya terganggu.

“Mas Tut..” hah..? suara itu lagi suara wanita 1/2 baya yang kali ini karena mendung tidak lagi ada keringat di lehernya. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku tersenyum. Ia tidak membalas tetapi lebih ramah. Tidak pasang wajah perangnya.

“Kayak kemarinlah..,” ujarnya sambil mengangkat tabloid menutupi wajahnya.

Begitu kebetulankah ini? Keberuntungankah? Atau kesialan, dikarenakan ia masih mengangkat tabloid menutupi muka saya kira saya telah terlambat untuk dapat satu angkot dengannya. Atau jangan-jangan ia juga disuruh ibunya bayar arisan. aku menyesal mengutuk ibu saat pergi. Paling tidak datang untungnya terhitung ibu menyuruh bayar arisan.

“Mbak Hawin..,” gumamku didalam hati.

Perlu tidak ya kutegur? lantas ngomong apa? Lha wong Mbak Hawin menutupi wajahnya begitu. Itu artinya ia tidak harap diganggu. Mbak Hawin telah turun. saya masih termangu. Turun tidak, turun tidak, saya hitung kancing.

Dari atas: Turun. Ke bawah: Tidak. Ke bawah lagi Turun. Ke bawah lagi Tidak. Ke bawah lagi Turun. Ke bawah lagi Tidak. Ke bawah kembali Hah habis kancingku habis. Mengapa kancing busana hanya tujuh?

Hah, aku hadir ide toh masih ada kancing di proporsi lengan, apabila belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku termasuk bisa Begini saja daripada repot-repot. Anggap saja tiap-tiap pakaian persis dengan jumlah kancing bajuku: Tujuh.

Sekarang kalkulasi penumpang angkot dan supir. Penumpang lima lantas supir, lantas enam kali tujuh, 42 hore saya turun. tetapi eh.., seorang penumpang memakai kaos oblong, mati aku Ah masa bodo. Pokoknya turun.

“Kiri Bang..!”

Aku lalu menuju salon. Alamak.., jauhnya. aku lupa kelamaan mengkalkulasi kancing. Ya tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga. Hap. Hap.

“Mau pijit lagi..?” ujar suara wanita muda yang kemarin menuntunku menuju area pijat.

“Ya.”

Lalu aku menuju area yang kemarin sekarang telah lebih lancar. saya mengetahui di mana ruangannya. Tidak memerlukan diantar. Wanita muda itu mengikuti di belakang. sesudah itu menyerahkan celana pantai.

“Mbak Hawin, pasien menunggu,” katanya.

Majalah lagi ah tidak saya mesti berkata padanya. berkata apa? Ah apa saja. masak tidak ada yang bisa dibicarakan. nada pletak-pletok mendekat.

“Ayo tengkurap..!” kata wanita 1/2 baya itu.

Aku tengkurap. Ia memulai pijitan. Kali ini lebih bertenaga dan saya benar-benar benar-benar pegal, agar terbuai pijitannya.

“Telentang..!” katanya.

Kuputuskan untuk berani menatap wajahnya. Paling tidak aku akan menonton leher yang basah keringat gara-gara kepayahan memijat. Ia lumayan lama bermain-main di perut. Sesekali tangannya nakal menelusup ke jatah tepi celana dalam.

Tapi belum tersentuh kepala juniorku. Sekali. ke-2 kali ia memasukkan jari tangannya. Ia menyenggol kepala juniorku. Ia masih dingin tanpa ekspresi. selanjutnya tukar ke pangkal paha. Ah mengapa begitu cepat.

Jarinya mengelus tiap mili pahaku. Si Junior udah mengeras. benar-benar keras. saya masih penasaran, ia seperti tanpa ekspresi. namun eh.., diam-diam ia mengambil pandang ke arah juniorku. Lama sekali ia memijati pangkal pahaku.

Seakan sengaja memainkan Si Junior. saat Si Junior melemah ia layaknya mengerti bagaimana menghidupkannya, memijat tepat di jatah pangkal paha. selanjutnya ia memijat lutut. Si Junior melemah. lantas ia kembali memijat pangkal pahaku. Ah sialan. saya dipermainkan seperti anak bayi.

Selesai dipijat ia tidak meninggalkan saya namun mengelap bersama handuk hangat sisa-sisa cream pijit yang tetap menempel di tubuhku. saya duduk di tepi dipan. Ia membasuh punggungku dengan handuk hangat. dikala menjangkau pantatku ia agak mendekat.

Bau tubuhnya tercium. Bau tubuh wanita setengah baya yang yang meleleh oleh keringat. saya pertegas bahwa saya mengendus kuat-kuat aroma itu. Ia tersenyum ramah. Eh bisa termasuk wanita setengah baya ini ramah kepadaku.

Lalu ia mencuci pahaku sebelah kiri, ke pangkal paha. Junior berdenyut-denyut. Sengaja kuperlihatkan supaya ia dapat melihatnya. Di balik kain tidak tebal celana pantai ini ia sebetulnya dapat lihat arah turun naik Si Junior. Kini geser ke paha sebelah kanan.

Ia pas berada di tengah-tengah. saya tidak menjepit tubuhnya. tapi kakiku saja yang seperti memagari tubuhnya. aku memikirkan dapat menjepitnya di sini. tetapi bayangan itu terganggu. Terganggu wanita muda yang di area sebelah yang kadangkala tanpa target mengetahui bolak-balik ke area pijat.

Dari jarak yang begitu dekat ini, aku mengerti lihat wajahnya. Tidak terlampau ayu. Hidungnya tidak mancung tetapi terhitung tidak pesek. Bibirnya namun tidak terlampau sensual. Nafasnya tercium hidungku. Ah segar Payudara itu berasal dari jarak yang lumayan dekat tahu membayang.

Cukuplah apabila tanganku menyergapnya. Ia tetap mengelap pahaku. berasal dari jarak yang dekat ini udara panas tubuhnya jadi tapi ia dingin sekali. Membuatku tidak berani. Ciut. Si Junior tiba-tiba termasuk ikut-ikutan ciut. sedangkan aku kudu berani. Toh ia telah seperti pasrah berada di dekapan kakiku.

Aku kudu wajib perlu Apakah butuh menhitung kancing. saya tidak memakai pakaian kini. lagi pula sia-sia tadi saja di angkot saya kalah lawan kancing. aku kudu memulai Lihatlah, matang ia begitu berani tadi menyentuh kepala Junior disaat memijat perut.

Ah, kini ia tambah berlutut layaknya menunggu satu kata saja dariku. Ia berlutut mengelap paha proporsi belakang. Kaki kusandarkan di tembok yang membuat ia bebas berlama-lama membersihkan bagian belakang pahaku. Mulutnya identik di depan Junior sekedar beberapa jari. Inilah kesempatan itu. peluang tidak akan datang dua kali. Ayo. tunggu apa ulang Ayo cepat ia hampir selesai mencuci belakang paha. Ayo..!

Aku masih diam saja. hingga ia selesai mengelap bagian belakang pahaku dan berdiri. Ah bodoh. Benarkan kesempatan itu lewat Ia udah membereskan peralatan pijat. tetapi sebelum akan berlalu masih sempat melihatku sekilas.

Betulkan, ia tidak akan hadir begitu saja. Badannya berbalik selanjutnya melangkah. Pletak, pletok, sepatunya berbunyi memecah sunyi. makin lama nada sepatu itu seperti mengutukku bukan berbunyi pletak pelok ulang tetapi bodoh, bodoh, bodoh sampai suara itu hilang.

Aku hanya mendengus. buang napas. Sudahlah. masih hadir esok. sedangkan tidak lama, suara pletak-pletok terdengar makin nyaring. berasal dari iramanya bukan sedangkan jalan tetapi berlari. Bodoh, bodoh, bodoh.

Eh.., kesempatan kesempatan kesempatan saya tetap mematung. Duduk di pinggir dipan. Kaki disandarkan di dinding. Ia tersenyum melihatku.

“Maaf Mas, sapu tangan saya ketinggalan,” katanya.

Ia mencari-cari. Di mana? saya tetap mematung. Kulihat di bawahku hadir kain, ya layaknya saputangan.

“Itu kali Mbak,” kataku datar dan tanpa tekanan.

Ia berjongkok identik di depanku, seperti disaat ia mencuci paha bagian bawah. Ini kesempatan ke-2 Tidak akan hadir kesempatan ketiga. Lihatlah ia tadi begitu detail membenahi seluruh perlatannya.

Apalagi yang akan tertinggal? dapat saja sapu tangan ini saja suatu kealpaan. Ya, seseorang toh bakal saja lupa pada suatu hal juga pada sapu tangan. sebab itulah, tidak dapat datang kesempatan ketiga. Ayo..!

“Mbak.., pahaku masih sakit nih..!” kataku memelas, ya sebagai alasan juga mengapa aku masih bertahan duduk di tepi dipan.

Ia berjongkok mencuri sapu tangan. selanjutnya memegang pahaku, “Yang mana..?”

Yes..! saya berhasil “Ini..,” kutunjuk pangkal pahaku.

“Besok saja Sayang..!” ujarnya.

Ia hanya mengelus tanpa tenaga. namun ia masih berjongkok di bawahku.

“Yang ini atau yang itu..?” katanya menggoda, menunjuk Juniorku.

Darahku mendesir. Juniorku tegang layaknya mainan anak-anak yang dituip melembung. Keras sekali.

“Jangan cuma ditunjuk dong, dipegang boleh.”

Ia berdiri. selanjutnya menyentuh Junior bersama segi luar jari tangannya. Yes. saya dapat dapatkan ia, wanita setengah baya yang meleleh keringatnya di angkot karena kepanasan. Ia menyentuhnya. Kali ini bersama telapak tangan. akan tetapi tetap terhambat kain celana. Hangatnya, biar begitu, tetap merasa aku menggelepar.

“Sst..! Jangan di sini..!” katanya.

Kini ia tidak malu-malu lagi menyelinapkan jemarinya ke di dalam celana dalamku. selanjutnya dikocok-kocok sebentar. saya memegang teteknya. Bibirku melumat bibirnya.

“Jangan di sini Sayang..!” katanya manja lantas membiarkan sergapanku.

“Masih sepi ini..!” kataku jadi berani.

Kemudian aku merangkulnya lagi menyiuminya kembali Ia menikmati tangannya mengocok Junior.

“Besar ya..?” ujarnya.

Aku makin lama bersemangat, semakin membara, semakin terbakar. Wanita setengah baya itu merenggangkan bibirnya, ia terengah-engah, ia nikmati bersama mata terpejam.

“Mbak Hawin telepon..,” nada wanita muda berasal dari Ruang sebelah menyalak, layaknya bel dalam pertarungan tinju.

Mbak Hawin merapihkan pakaiannya lalu pergi menjawab telepon.

“Ngapaian sih di situ..?” katanya ulang seperti iri antara Hawin.

Aku mencuri pakaianku. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Hawin menghampiriku sambil berkata “Telepon aku ya..!”

Ia menyerahkan nomer telpon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. tentu terburu-buru aku langsung memasukkan ke saku pakaian tanpa menyimak nomor-nomornya. terlihat ada perubahan besar pada Hawin. Ia tidak lagi dingin dan ketus.

Kalau saja, tidak keburu wanita yang mempertahankan telpon datang ia telah melumat Si Junior. melihat saja ia telah separuh berlutut mengarah pada Junior. mujur hadir tissue yang tercecer, agar hadir alasan buat Hawin.

Ia mengambil tissue itu, sambil mendengar kabar gembira berasal dari wanita yang menunggu telpon Ia hanyalah menampakkan diri separuh badan.

“Mbak Hawin.., aku ingin makan dulu Jagain sebentar ya..!”

Ya itulah kabar gembira, karena Hawin selanjutnya mengangguk.

Setelah mengunci salon, Hawin kembali ke tempatku. Hari itu memang tetap pagi, baru pukul 11.00 siang, belum datang yang hadir baru saya saja.

Aku menunggu bersama debaran jantung yang membuncah-buncah. Hawin ada kita seperti tidak ingin membuang saat melepaskan baju masing-masing lalu mengawali pergumulan.

Hawin menjilatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki. aku menikmati kelincahan lidah wanita setengah baya yang mengetahui di mana titik-titik yang kudu dituju. aku terpejam menahan air mani yang telah di ujung. Bergantian Hawin kini telentang.

“Pijit saya Mas..!” katanya melenguh.

Kujilati payudaranya, ia melenguh. selanjutnya vaginanya, basah sekali. Ia membuncah ketika aku melumat klitorisnya. lalu mengangkang.

“Aku telah tak tahan, ayo dong..!” ujarnya merajuk.

Saat kusorongkan Junior menuju vaginanya, ia melenguh lagi.

“Ah.. udah tiga tahun benda ini tak kurasakan Sayang. aku hanyalah main bersama dengan tangan. terkadang ketimun. Jangan dimasukkan dulu Sayang, aku belum siap. Ya sekarang..!” pintanya penuh manja.

Tetapi mendadak bunyi telephone di area depan berdering. Kring..! saya mengurungkan niatku. Kring..!

“Mbak Hawin, telepon.” kataku.

Ia jalan menuju Ruang telephone di sebelah. aku mengikutinya. Sambil menjawab telepon di kursi ia menunggingkan pantatnya.
“Ya sekarang Sayang..!” katanya.

“Halo..?” katanya sedikit terengah.

“Oh ya. Ya nggak apa-apa,” katanya menjawab telepon.

“Siapa Mbak..?” kataku sambil menancapkan Junior amblas seluruhnya.

“Si Nina, yang tadi. Dia ingin pulang dulu ngeliat orang tuanya sakit katanya sih begitu,” kata Hawin.

Setelah sebagian lama menyodoknya, “Terus dong Yang. Auhh aku mau muncul ah.., Yang tolloong..!” dia mendesah keras.

Lalu ia bangkit dan pergi secepatnya.

“Yang.., cepat-cepat berkemas. Sebantar ulang Mbak Mona yang punya salon ini ada beberapa jam segini dia datang.”

Aku segera beres-beres dan pulang.

CeritaDewasa